1. Ayah kandung
2. Kakek, yaitu bapak ayah, atau bapak kakek, dan seterusnya
3. Saudara laki-laki kandung
4. Saudara laki-laki seayah, adapun saudara laki-laki seibu tidak berhak
5. Anak saudara laki-laki kandung (kemenakan)
6. Anak saudara laki-laki seayah dan seterusnya, adapun anak saudara laki-laki seibu tidak berhak
7. Paman atau saudara laki-laki ayah kandung
8. Paman atau saudara laki-laki ayah seayah, adapun paman saudara laki-laki seibu tidak berhak
9. Anak paman saudara laki-laki ayah kandung (sepupu)
10. Anak paman saudara laki-laki ayah seayah dan seterusnya
11. Paman ayah
12. Anak paman ayah (sepupu ayah)
13. Paman kakek, kemudian anaknya
14. Paman ayah kakek, kemudian anaknya, dan begitu seterusnya, dengan catatan yang kandung lebih didahulukan dari yang seayah, baik saudara maupun paman dan lain-lain
Mereka, para wali nikah, boleh melangsungkan aqad nikah sendiri atau diwakilkan kepada seseorang. Hanya saja perlu diperhatikan bahwasanya, jika wali nikahnya adalah ayah atau kakek, boleh mewakilkan walaupun tanpa minta izin kepada calon istri, dan selain mereka berdua boleh mewakilkan asalkan dengan izin dari calon istri.
Jika semuanya memang benar-benar tidak ada, yang menikahkan adalah wali hakim (petugas KUA). Nah, sekarang Saudari Ayu sudah tahu bukan siapa yang berhak menjadi Saudari Ayu?
Harap diingat pula, karena wali Anda bukan ayah maupun kakek, Anda harus memilih di antara mereka yang akan dijadikan wali nikah Anda. Kalau ada lebih dari satu orang, Anda harus mengizinkan kepadanya untuk menikahkan Anda. Kalau tidak begitu, tidak sah, misalnya dengan Anda mengatakan kepada wali nikah Anda, “Saya izinkan Anda menikahkan saya dengan laki-laki yang bernama Fulan bin Fulan dengan mahar sekian.” Adapun jika ayah dan kakek yang menjadi wali nikah, tidak diperlukan izin dari calon pengantin wanita.
Resep dari Al-Ghazali
Terkait pertanyaan Anda yang kedua, di sini saya rasa jawabannya yang tepat adalah dengan mengikuti kiat-kiat yang telah disebutkan oleh Imam Ghazali dalam kitab Al-Ihya’. Beliau berkata, “Bahwa jika pasangan suami istri melakukan sejumlah perkara ini niscaya akan langgeng rumah tangganya, harmonis serta bahagia, baik di dunia maupun di akhirat.” Adapun perkara-perkara itu adalah sebagai berikut:
1. Hendaknya pasangan suami-istri tersebut sebelum menikah mempelajari ilmu agama yang berhubungan dengan nikah, sehingga hak masing-masing dapat terlaksana, karena bagaimana ia dapat mengetahui hak masing-masing jika tanpa dasar ilmu agama. Dengan mengetahui ilmu agama, insya Allah keluarga akan terjaga dari api neraka. Oleh karenanya, Allah SWT berfirman:
“Jagalah diri kalian dan juga keluarga kalian dari neraka.” (QS At-Tahrim: 6).
Rasulullah SAW bersabda:
“Mencari ilmu itu wajib atas setiap orang muslim.” (HR Muslim).
2. Hendaknya seorang suami sabar menghadapi perlakuan maupun akhlaq istri yang tidak baik, karena bagaimanapun akal seorang wanita tidak sama dengan akal pria, sebagaimana sabda Nabi SAW:
“Aku tidak melihat seorang yang kurang akal dan agamanya yang menguasai akal laki-laki lebih dari perempuan.” (HR Al-Bukhari).
Allah SWT dan Rasul-Nya mewanti-wantikan hal itu, sebagaimana dalam firman Allah SWT:
“Dan gaulilah para istri itu dengan baik.” (QS An Nisaa’: 19).
Rasulullah juga bersabda:
“Awaslah kalian dari perbuatan yang tidak baik kepada istri-istri kalian, karena mereka bagaikan tawanan di tangan kalian, kalian telah mengambil mereka dengan amanat Allah dan menjadi halal bagi kalian kemaluannya dengan kalimat Allah.” (HR An-Nasa’i).
Seorang suami harus mengingat bahwa kebaikan istri kepada suaminya sangatlah banyak, seperti mencuci pakaiannya, memasak, menyiapkan makanan, menjaga rumah dan hartanya, serta yang paling penting dia memberikannya seorang anak dan mendidiknya, yang mana itu semua bukan kewajibannya akan tetapi semata-mata karena kebaikannya untuk sang suami, dan itu merupakan kebaikan yang membutuhkan balasan kebaikan pula dari sang suami, paling tidak dengan tidak menzhaliminya dan sabar terhadap perilakunya yang tidak baik.
- 3. Hendaknya seorang suami berusaha sebisa mungkin untuk bersifat romantis kepada istrinya dengan mencandainya dan bermain dengannya sebagaimana hal itu dilakukan Rasulullah kepada istri-istri beliau, sehingga diriwayatkan bahwa Rasulullah bercanda dengan istri-istrinya dan Rasulullah berusaha mengikuti kemauan mereka dan bersenda gurau dengan mereka, sebagaimana diriwayatkan bahwa Rasulullah SAW pernah berlomba dalam mengendarai kuda, maka Rasulullah SAW memenangkan perlombaan itu tapi dalam kesempatan lain Rasulullah SAW kalah (mengalah) dari Sayyidatuna Aisyah RA. Maka Rasulullah SAW berkata kepadanya, “Itu adalah pembalasan dari kekalahan kamu yang lalu,” demikianlah salah satu gambaran saat Rasulullah SAW bersenda gurau dengan istrinya, Sayyidatuna Aisyah RA.
“Bahwasanya Rasulullah SAW adalah sosok manusia yang paling romantis dengan istrinya.” (H.R. Ath-Thabarani).
Berkata Sayyidina Umar bin Al-Khaththab RA, “Hendaknya bagi orang yang berakal menjadi seperti anak-anak terhadap istri-istrinya.”
Jelas sudah, bersenda gurau ataupun berhubungan baik dengan istri adalah sunnah, dengan catatan tidak sampai melewati batas, misalnya apa pun yang diingini istrinya diikuti padahal itu karena keinginan hawa nafsunya, sehingga suami tersebut tidak ada wibawa di depan istri dan tidak bisa melarang kemunkaran yang dilakukan sang istri.
Berkata Sayyidina Umar bin Al-Khaththab RA, “Bertolak belakanglah kalian dengan apa yang diingini oleh wanita, karena di situlah ada keberkahan.”
Berkata Imam Hasan Al-Basri, “Demi Allah, tidak ada seorang suami pun mengikuti istrinya dalam setiap apa pun yang diinginkannya kecuali Allah akan memasukkannya ke dalam neraka karenanya.”
Kesimpulannya, seorang suami dalam keluarga harus menjadi pemimpin yang disegani karena wibawanya sekaligus dicintai karena mengerti kemauan keluarga, baik ketika bersenda gurau maupun ketika dalam keadaan serius.
4. Hendaknya seorang suami tidak terlalu mencemburui istrinya sampai kelewat batas.
Sifat cemburu yang ada pada seorang suami memang merupakan sifat yang baik, sebagaimana sabda Rasulullah SAW:
”Sesungguhnya aku adalah seorang pencemburu dan tidak ada seorang pun yang tidak cemburu pada istrinya kecuali dia adalah pria yang terbalik hatinya.” (HR Abu Umar).
Akan tetapi harus dicatat bahwa cemburu boleh dilakukan atau bahkan merupakan sifat yang baik jika pada tempatnya. Misalnya dia keluar rumah tanpa seizin suaminya atau berbicara dengan laki-laki ajnabi (bukan mahram) dan lain-lain.
Adapun jika tanpa sebab sebelumnya, itu merupakan cemburu buta dan sifat yang tidak baik, karena berdasarkan prasangka tidak baik, dan itu dilarang oleh agama kita, sebagaimana sabda Nabi SAW:
”Sesungguhnya di antara sifat cemburu, ada yang dibenci oleh Allah, yaitu cemburu pada istri tanpa alasan atau hanya karena prasangka tidak baik.” (HR Abu Dawud).
Imam Ali KW berkata, “Janganlah kamu suka mencemburui istrimu tanpa sebab, karena hal itu akan menyebabkan istrimu dituduh yang bukan-bukan dan engkau penyebabnya.”
5. Hendaknya seorang suami dalam memberi nafkah mengambil jalan tengah, yaitu tidak terlalu kikir atau terlalu boros, karena keduanya dilarang oleh agama. Sebagaimana firman Allah SWT:
”Makan dan minumlah kalian akan tetapi jangan sampai boros.” – QS Al-A’raf: 31.
6. Hendaknya seorang istri mampu mempunyai sifat qana’ah (menerima apa adanya) terhadap pemberian sang suami, dan tidak meminta sesuatu yang di luar kemampuan suami, karena hal itu akan menyebabkan suaminya berbuat yang tidak diinginkan. Hendaknya mencontoh wanita-wanita shalihah dahulu, sebagaimana diriwayatkan, jika suami mereka akan keluar mencari rizqi, istri shalihah tersebut berkata kepada suaminya, “Wahai suamiku, carilah rizqi yang halal, karena aku tahan dengan lapar dan sengsara tapi tidak tahan terhadap siksa api neraka.”
7. Hendaknya istri menjaga harta suami, dan tidak menafkahkannya kecuali dengan seizinnya. Berdasarkan hadits Rasulullah SAW:
”Tidak boleh bagi seorang istri bersedekah dari harta suami kecuali dengan seizinnya, kecuali seperti ruthab (kurma muda), yang ditakutkan rusak jika tidak dimakan. Dan jika bersedekah dengan kerelaan suami, dia juga dapat pahalanya; dan jika tanpa seizinnya, pahala sedekahnya untuk sang suami dan dia berdosa karenanya.” (HR Abu Dawud dan Al-Baihaqi).
8. Hendaknya seorang istri selalu tinggal dalam rumah suaminya dan tidak keluar darinya kecuali dengan izin dari suami, dan jika diberi izin oleh suaminya hendaknya dia keluar rumah dengan pakaian muslimah, menghindari keramaian, berusaha menyamarkan dirinya, terutama kepada teman-teman suaminya, dan yang demikian itu hendaknya dilakukan istri supaya tidak terjadi fitnah yang akan mengganggu hubungan dengan suaminya.
9. Hendaknya seorang istri tidak banyak mengobrol dengan tetangganya kecuali untuk hal yang perlu saja, karena biasanya jika berkumpul antara tetangga kalau tidak ngerumpi ya membicarakan kekurangan atau kelebihan suami, sehingga membuat yang mendengar marah, iri, dengki, dan lain-lain, yang pada akhirnya menjengkelkan suaminya dan membuat retak hubungan keduanya.
10. Hendaknya seorang istri lebih mengutamakan kemauan suaminya daripada kemauannya atau keluarganya.
11. Hendaknya seorang istri selalu tampil cantik mempesona di depan suaminya, siap kapan pun jika sewaktu-waktu diajak berhubungan intim oleh sang suami.
12. Hendaknya seorang istri bersabar dalam mendidik anak-anaknya dan tidak gampang mengumpat mereka jika melanggar perintahnya, karena umpatan seorang ibu dapat menjadi kenyataan.
13. Hendaknya seorang istri tidak congkak terhadap suaminya, baik dengan kecantikan maupun hartanya.
Jadilah seperti Sayyidatuna Khadijah RA, istri tercinta Rasulullah SAW, yang pada mulanya adalah seorang wanita yang kaya, kemudian, setelah Rasulullah SAW diangkat menjadi seorang nabi, beliau berikan semua hartanya demi kepentingan dakwah sang suami. Begitulah, beliau utamakan suaminya dengan hartanya.
Begitu pula, jangan merasa congkak dengan kecantikannya, contohlah wanita yang diceritakan Imam Asma’i RA. Ia pernah masuk suatu desa, di sana ia bertemu pasangan suami-istri yang istrinya sangat cantik dan suaminya sangat buruk rupa, maka sekali waktu Imam Asma’i berkata kepada perempuan tersebut, “Kenapa kamu mau menikah dengannya padahal engkau adalah wanita yang cantik?”
Wanita itu menjawab, “Diamlah, wahai Fulan, ketahuilah bahwa engkau telah berbuat tidak baik dengan perkataanmu karena mungkin saja suamiku orang yang taat kepada Tuhannya, maka Allah menjadikanku sebagai balasannya, dan aku termasuk orang yang tidak baik terhadap Tuhanku, maka Allah menjadikan suamiku sebagai balasannya, lalu akankah aku tidak rela dengan kehendak Allah?”
Maka berkata Imam Asma’i, “Jawabannya telah membuatku tertegun dan merasa berdosa.”
14. Hendaknya seorang istri melayani suaminya dengan semampunya, apakah itu pekerjaan rumah maupun pekerjaan lainnya yang diperintahkannya, asalkan tidak mengandung kemaksiatan, sebagaimana diriwayatkan Sayyidatuna Asma’ binti Abu Bakar Ash-Shiddiq RA, istri sahabat Zubair bin Awwam, yang berkata, “Aku dinikahi sahabat Zubair dalam keadaan tidak punya apa-apa, baik itu tanah, harta, maupun budak, selain kuda dan unta perangnya, maka aku yang mengurus kuda dan unta tersebut, aku yang memeras susunya, menyiapkan makan dan minum binatang tersebut, walaupun hal itu aku lakukan dengan susah payah”.
Begitulah istri-istri yang shalihah melayani suami mereka, yang pada gilirannya nyatalah dalam kehidupan mereka, rumah tangga yang harmonis dan bahagia serta anak-anak yang shalih dan shalihah.
Itulah sekelumit kiat-kiat mendapatkan dan menjaga keharmonisan rumah tangga, semoga kita bisa melaksanakan kiat-kiat tersebut. Amin ya rabbal ’alamin.
Fiqhun-Nissa’ majalah alkisah
Diasuh oleh: Ustadz Segaf bin Hasan Baharun, M.H.I.
Pengasuh Pondok Puteri Pesantren Darul Lughah wad Da’wah, Bangil, Jawa Timur
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
stroom09@gmail.com