sumber referensi: http://agus82.wordpress.com
koleksi ilmu hikmah, kisahsufi,tasawuf,fengshui,maulid,desain grafis,batu akik,batu obsidian, paypal pay,za,pendanaan,RENTAL MOBIL proyek,investor,funder,kredit kpr,pinjaman multi guna ,pialang,wali amanat,SEWA MOBIL CIREBONtaxi online cirebondan lain-lain
koleksi ilmu-ilmu hikmah,kisah 2 tokoh sufi.teknologi tips n trik dll
Rabu, Mei 22, 2013
adiluhung
Bagi
masyarakat jawa, sastra merupakan karya yang tertata apik dalam bahasa
yang indah (basa rinengga). Tak heran jika sastra jawa klasik tak
hanya mengutamakan isi, tetapi keindahan bahasa juga menjadi perhatian
sang pujangga. Karya sastra Jawa yang terlahir melalui pengolahan rasa
dan laku tapa, disebut sebagai sastra adiluhung atau sastra yang
memiliki tingkat apresiasi tinggi.
Sastra
adiluhung ini tak pernah lapuk dimakan usia, sarat sejumlah nilai
simbolis, dan dikenang sepanjang masa lantaran sifat dulce et utile-nya
(menyenangkan dan bermanfaat) bagi peradaban umat manusia (Rene Wellek
(1955). Alam sadar manusia yang selalu haus siraman imaji, menjadi
ruang ideal muara sastra adiluhung.
Sejatinya,
produk sastra secara umum (puisi, syair, serat, novel, kitab dsb)
tercipta bukan dari ruang hampa. Juga bukan produk instan, masif dan
duplikatif. Penetrasi sosial budaya turut membangun karya sastra, Toh
pada muaranya realitas sosial juga kembali dipengaruhi sastra tersebut.
Alih-alih, meski sebagian besar karakternya mengambil bahasa, karya
sastra tetap merupakan analisis estetis dan sintesis sebuah realitas
tertentu (Gunoto Saparie, 2007).
Serat
dan suluk misalnya, merupakan penetrasi budaya yang berujud akulturasi
Islam dan Jawa. Jalinan dipererat dengan narasi ilmiah nilai Islam
dalam bentuk kepustakaan. Ini tampak pada Serat Wulangreh, Cibolek,
Wedhatama, dan Centhini, serta Suluk cipta waskitha dan Haspiya.
Bahasa Simbol
Sastra
adiluhung (jawa klasik) hadir melampaui sejarah (trans-historis),
ruang dan waktu. Demikian pula obyeknya adalah realitas kehidupan,
meskipun dalam menangkap realitas tersebut sang pujangga tidak
mengambilnya secara acak. Ia memilih dan menyusun bahan-bahan itu
dengan berpedoman pada asas dan tujuan tertentu. Serat Wedhatama karya
Mangkunegoro IV misalnya, bertujuan mengajak umat manusia pada
kemuliaan budi, dan larangan memperturutkan budi jahat. Mangkunegara
menangkap realitas sosial dan pandangan jawa bahwa gejala-gejala
lahiriyah, memiliki kekuatan kosmis nominus yang merupakan realitas
sebenarnya. Dan realitas itu adalah batin manusia yang berakar dalam
dunia nominus tersebut.
Berangkat
dari konsep tersebut, wedhatama tidak hanya murni karya sastra.
Tetapi, juga mengajarkan laku spiritual khususnya terkait proses
kebaktian kepada sang pencipta, atau dikenal dengan sembah raga, cipta,
rasa dan karsa. Tak salah jika Simuh (1995) menggolongkan wedhatama
sebagai sastra profetik (kenabian) lantaran tujuan utamanya pada
penghayatan sufistik tinggi.
Lain
lagi jika realitas sastra adiluhung itu sebuah peristiwa sejarah, maka
sang pujangga mencoba menerjemahkan peristiwa itu dalam bahasa imajiner
dengan maksud untuk memahami peristiwa sejarah menurut kadar kemampuan
pengarang. Kecuali itu, sastra adiluhung dapat menjadi sarana bagi
pengarangnya untuk menyampaikan pikiran, perasaan dan tanggapannya
mengenai peristiwa sejarah. Sebagaimana karya sejarah, sastra adiluhung
merupakan penciptaan kembali peristiwa sejarah dengan pengetahuan dan
daya imajinasi pengarang. Ini dapat dilihat dalam serat Babad baik
babad tanah jawa, babad Dipanegara, babad tanah sabrang dan sebagainya.
Tuntunan Budi Pekerti
Sastra
adiluhung adalah dunia yang bersifat dinamis, relatif, dan bukan
eksklusif. Nilai sastranya pasti terkait dengan kepribadian manusia.
Karena ketinggian tingkat apresisasinya, sastra adiluhung sangat
bermutu lantaran mampu menghaluskan rohaniah; mempertajam visi, misi
dan ruang imajinasi, membuat manusia santun jiwanya, bertambah
pengetahuannya, berkepribadian mulia, dan luas jiwanya. Misalnya dalam
Serat Wulang Reh Karya Pakubuwono IV tersirat ajaran menjadi orang
terhormat. Menurut wulang Reh, menjadi orang terhormat tidak mudah
karena mesti jauh dari sifat adigang, adigung dan adiguna, atau
membanggakan kelebihan yang dimilikinya. Wulang reh juga momot aturan
tingkah laku yang utama.
Apresiasi
pada sastra adiluhung, memang meniscayakan wawasan yang luas,
ketajaman pikiran dan kehalusan perasaan. Karena ia dikemas dalam
bentuk-bentuk simbol yang multi tafsir. Misalnya ajaran manunggaling
Kawula dan gusti, disimbolkan dalam lakon bima Suci. Tokoh Bima dalam
serat ini digambarkan sebagai kesatria perkasa dengan kekuatan yang
digdaya, dan seorang brahwana yang memiliki kearifan batin (waskita).
Bima sejatinya merupakan simbol tokoh mistik jawa (Haryanto, 1990),
yang bertemu dengan Tuhannya (Dewa ruci). Proses masuknya Bima ke tubuh
Dewa Ruci diartikan sebagai manunggalnya hamba dengan tuhannya.
Menurut
T. S. Eliot, mengukur kesastraan sebuah karya sastra adalah dengan
kriteria estetik, sedangkan mengukur kebesaran karya sastra adalah
dengan kriteria di luar estetik (Lubis, 1997: 15). Salah satu kriteria
estetik yang bisa dipakai adalah kriteria norma sastra. Rene Wellek
menyatakan bahwa norma sastra adalah tata nilai impilisit yang mesti
ditarik dari karya sastra dan menunjukkan karya sastra sebagai
keseluruhan. Norma karya sastra itu terdiri dari beberapa lapis; lapis
suara (berupa kata), lapis arti (berupa kalimat), dan lapis obyek
(berupa dunia sastrawan).
Serat
Wedhatama karya Sri Mangkunegara IV misalnya; lapis suara berbentuk
tembang gambuh. Lapis arti berisi pendidikan budi pekerti antara manusia
dengan sesama, lingkungan/makhluk hidup dan dengan tujannya. Sementara
untuk menjamin martabatnya, seseorang mesti menguasai 3 syarat wirya
(keberanian) yaitu: berani berkurban arta (harta), raga (badan jasmani)
dan rasa (jiwa). Sosok individu hasil tempaan tiga wirya ini, adalah
individu yang Tri winasis artinya cendekia yang cerdas, tangguh dan
arif memaknai kehidupan. Lapisan metafisika berupa ajaran penyembahan
kepada sang pencipta yang dikenal dengan
Selain
itu, sastra adiluhung menyajikan gambaran kehidupan, dan kehidupan itu
sendiri sebagian besar terdiri dari kenyataan sosial. Dalam pengertian
ini, kehidupan mencakup hubungan antarmasyarakat dengan orang-orang,
antarmanusia, antarperistiwa yang terjadi dalam batin seseorang. Maka
sastra adiluhung berusaha menggambarkan dunia dan kehidupan manusia
melalui kriteria utama yaitu “kebenaran” penggambaran, atau yang hendak
digambarkan.
Meski
demikian, Wellek dan Warren mengingatkan bahwa karya sastra memang
mengekspresikan kehidupan, tetapi keliru kalau dianggap mengekspresikan
selengkap-lengkapnya. Hal ini disebabkan fenomena kehidupan sosial yang
terdapat dalam karya sastra tersebut kadang tidak disengaja dituliskan
oleh pengarang, atau karena hakikat karya sastra itu sendiri yang
tidak pernah langsung mengungkapkan fenomena sosial, tetapi secara
tidak langsung, yang mungkin pengarangnya sendiri tidak tahu. Karya
sastra dapat juga mencerminkan dan menyatakan segi-segi yang
kadang-kadang kurang jelas dalam masyarakat.
Menelusuri
sastra adiluhung (jawa klasik) layaknya memasuki lautan makna. Pembaca
dituntut tidak gegabah menangkap apa yang nampak, tetapi menggali apa
yang ada di balik itu. Tetapi anehnya, nilai moral yang terkandung dalam
sastra adiluhung kurang tergali dan teraktualisasi pada masa kini.
Karya sastra besar yang pernah dihasilkan saat booming sastra dari
Keraton Surakarta maupun Yogyakarta saat ini kurang dikenal oleh
generasi muda, bahkan oleh penerus keluarga keraton sendiri. Fenomena
ini layaknya pepatah jawa sastra lungset ing sampiran. ***
sumber referensi: http://agus82.wordpress.com
sumber referensi: http://agus82.wordpress.com
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
stroom09@gmail.com