Sebagai tulisan penutup, Sabdalangit
berusaha memaparkan garis besar TAPA BRATA, agar supaya mudah diingat
dan gampang dicerna bagi para pembaca yang masih awam tentang ajaran
Kejawen.
Selain dipaparkan di atas, sejalan dengan bertambahnya usia, seyogyanya hidup itu sembari mencari ciptasasmita, “tuah” atau petunjuk yang tumbuh jiwa yang matang dan dari dalam lubuk budi yang suci. Pada dasarnya, tumbuhnya budipekerti (bebuden) yang luhur, berasal dari tumbuhnya rasa eling, tumbuhnya kebiasaan tapa, tumbuhnya sikap hati-hati, tumbuhnya “tidak punya rasa punya”, tumbuhnya kesentausaan, tumbuhnya kesadaran diri pribadi, tumbuhnya “lapang dada”, tumbuhnya ketenangan batin, tumbuhnya sikap manembah (tawadhu’). Pertumbuhan itu berkorelasi positif atau sejalan dengan usia seseorang.
Akan
tetapi, jika semakin lanjut usia seseorang akan tetapi perkembangannya
berbanding terbalik, mempunyai korelasi negatif, yakni justru memiliki
tabiat dan karakter seperti anak kecil, ia merupakan produk topobroto
yang gagal. Untuk mencegahnya tidak lain harus selalu mencegah hawa
nafsu, serta mengupayakan dengan sungguh-sungguh untuk meraih
kesempurnaan ilmu. Begitu pentingnya hingga adalah “wewarah” yang juga
merupakan nasehat yang hiperbolis, sbb;
“ageng-agenging
dosa punika tiyang ulah ilmu makripat ingkang magel. Awit saking dereng
kabuko ing pambudi, dados boten superep ing suraosipun”
Bagi yang sudah lulus, dapat menerima semua ilmu, tentu akan menemui kemuliaan “sangkan paran ing dumadi”.
Siapa yang sunguh-sungguh mengetahui Tuhannya, sesungguhnya dapat
mengetahui di dalam badanya sendiri. Siapa yang sungguh-sunggun
mengetahui badannya sendiri, sesungguhnya mengetahui Tuhannya. Artinya
siapa yang mengetahui Tuhannya, ia lah yang mengetahui semua ilmu kajaten
(makrifat). Siapa yang sunguh-sungguh mengetahui sejatinya badannya
sendiri, ia lah yang dapat mengetahui akan hidup jiwa raganya sendiri.
Kita harus selalu ingat bahwa hidup ini tidak akan menemui sejatinya
“ajal”, sebab kematian hanyalah terkelupasnya isi dari kulit. “Isi”
badan melepas “kulit” yang telah rusak, kemudian “isi” bertugas
melanjutkan perjalanan ke alam keabadian. Hanya raga yang
suci yang tidak akan rusak dan mampu menyertai perjalanan “isi”. Sebab
raga yang suci, berada dalam gelombang Dzat Illahi yang Maha Abadi.
Maka
dari itu, jangan terputus dalam lautan “manembah” kepada Gusti Pangeran
Ingkang Sinembah. Agar supaya menggapai “peleburan” tertinggi, lebur dening pangastuti; yakni raga dan jiwa melebur ke dalam Cahaya yang Suci; di sanalah manusia dan Dzat menyatu dalam irama yang sama; yakni manunggaling kawulo gusti.
Dengan sarana selalu mengosongkan panca indra, serta menyeiramakan diri
pada Sariraning Bathara, Dzat Yang Maha Agung, yang disebut sebagai
“PANGABEKTI INGKANG LANGGENG” (shalat dhaim) sujud, manembah (shalat)
tanpa kenal waktu, sambung-menyambung dalam irama nafas, selalu eling
dan menyebut Dzat Yang serba Maha. Adalah ungkapan;
“salat
ngiras nyambut damel, lenggah sinambi lumampah, lumajeng salebeting
kendel, ambisu kaliyan wicanten, kesahan kaliyan tilem, tilem kaliyan
melek.
(sembahyang
sambil bekerja, duduk sambil berjalan, berjalan di dalam diam, membisu
dengan bicara, bepergian dengan tidur, tidur sembari melek).
Jika ajaran ini dilaksanakan secara sungguh-sungguh, berkat Tuhan Yang Maha Wisesa, setiap orang dapat meraih kesempurnaan Waluyo Jati, Paworing Kawulo Gusti, TIDAK TERGANTUNG APA AGAMANYA.
referensi:sabda langit.wordpress.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
stroom09@gmail.com