koleksi ilmu hikmah, kisahsufi,tasawuf,fengshui,maulid,desain grafis,batu akik,batu obsidian, paypal pay,za,pendanaan,RENTAL MOBIL proyek,investor,funder,kredit kpr,pinjaman multi guna ,pialang,wali amanat,SEWA MOBIL CIREBONtaxi online cirebondan lain-lain
koleksi ilmu-ilmu hikmah,kisah 2 tokoh sufi.teknologi tips n trik dll
Minggu, Maret 09, 2014
Dimuliakan oleh Ilmu
Tak sedikit orang berpandangan bahwa kemuliaan itu hanya dapat dicapai dengan kekayaan materi. Namun, perjalanan hidup tamu kita ini membuktikan bahwa kemuliaan seseorang itu justru terletak pada iman dan ilmunya, yang dicapai melalui pendidikan.
Dr. K.H. Umay M Dja’far Shiddieq, atau yang juga akrab disapa ”Kiai Umay”, tamu kita ini, orang mengenalnya sebagai seorang ulama yang memiliki perhatian mendalam dalam dunia pendidikan.
Ia lahir pada 7 Juli 1954 di Jampangkulon, Sukabumi, dari keluarga yang tidak mampu. Ia pun menjalani hidup dengan susah payah. Masa lalunya itulah yang membuatnya ingin berbuat banyak untuk dunia pendidikan.
Masa kecil memang acap menjadi masa yang menentukan masa depan setiap orang, dan itu bisa menjadi cermin bagi yang lainnya.
Umay kecil dahulunya bernama Uyun. Belakangan ia baru tahu dari ibunya bahwa uwaknya (kakak alm. bapaknya) memberi nama “Mad Yunus”, yang terlanjur tertulis “Uyun” di catatan buku induk sekolah dasarnya. Nama itulah yang seterusnya digunakan di masa kecilnya.
Ia terlahir dari pasangan Bapak Odog dan Ibu Hj. Djuarsih, dalam keadaan yatim, karena ayahnya wafat ketika ia masih dalam kandungan. Dengan susah payah ibunya merawat dan membesarkan bungsu lima bersaudara ini. Tidak ada catatan resmi tentang tanggal tepat kelahirannya. Maklum, di kampung yang ia hirup udaranya belum ada bidan yang mencatat kelahirannya, hanya dalam ijazah SD-nya tertera tanggal 7 Juli 1954.
Kini, dengan mendirikan beberapa yayasan yang berorientasi pada pendidikan umum dan agama, ia membuka jalan bagi kaum dhuafa yang ingin menimba ilmu tanpa harus terlalu memikirkan biaya pendidikan. Inilah yang tercermin dari Yayasan Pendidikan dan Sosial Islam (Yapsi) Darul Amal, yang ia dirikan, dengan berbagai jenjang sekolahnya, mulai dari taman kanak-kanak, Madrasah Ibtidaiyah, Sekolah Menengah Pertama,, hingga Sekolah Menengah Umum.
“Carilah Ilmu, untuk Kemuliaanmu…”
Sudah dua bulan tahun pelajaran 1960-1961 berjalan, sepulang mengaji dan menginap di Masjid Bojongwaru, pagi itu ia merasakan hatinya perih tak terperi. Pikirannya melayang jauh, membayangkan suasana ketika tak lama lagi anak-anak seusianya beramai-ramai bergerombol berjalan kaki menuju sekolah SD Bojong Genteng, yang jaraknya sekitar dua kilometer dari rumahnya, sementara ia hanya bisa memandangi suasana itu. Umay kecil sampai mengurut dada, ia merasa sedih, keyatiman dan kemiskinan serasa telah membedakannya dari yang lainnya. Ibunya tak sanggup memasukkannya ke sekolah.
Entah kenapa, sore harinya sang ibu berpesan, “Nanti malam tidak usah tidur di masjid. Di rumah saja.”
Tanpa berpikir kenapa, ia menjawab, “Ya.”.
Kira-kira pukul tiga dini hari ia dibangunkan ibunya dan diajaknya ke tikar shalat. Rupanya sang ibu baru saja selesai shalat malam. Ternyata ibunya itu juga sedang menangis karena derita hati anaknya yang ingin sekolah.
Kedua lutut ibunya dipertemukan dengan dua lututnya, kemudian sang ibu berujar lirih, “Nak, semua manusia lahir dengan rasa ingin mulia. Ada manusia mulia karena kekayaannya, sedangkan kita miskin. Orang mulia karena turunan raden, sedangkan kita rakyat jelata. Orang mulia karena kerupawanannya, kita biasa-biasa saja. Orang mulia karena kepintarannya…maka carilah ilmu, untuk kemuliaanmu…”
Sesaat setelah mengatakan itu, ibunya mencium kening si anak, lalu dipeluknya di sela-sela isak tangisnya. Ibunya mengakhiri pembicaraannya dengan, “Maafin Emak, nggak bisa nyekolahin.”
Umay kecil tak begitu paham apa yang dikatakan ibunya. Dengan terkantuk-kantuk ia kembali ke kamarnya, lalu tidur lagi sampai subuh tiba.
Selepas Umay shalat Subuh, teringat olehnya sebagian dari ungkapan ibunya tadi malam, “Carilah ilmu, untuk kemuliaanmu…”
Mengurus Diri Sendiri
Ia berpikir, mencari ilmu harus sekolah. Maka tanpa pamit kepada ibunya lagi ia pun segera berangkat ke SD Bojong Genteng III.
Ditemuinya guru Kelas 1 waktu itu, Pak Uton Bustoni. Sesudah bersalaman ia memberanikan diri untuk memperkenalkan diri.
“Pak, nama saya Uyun, saya anak yatim, tapi mau sekolah.”
Berkat keberaniannya yang didorong oleh keinginan kuatnya dalam menuntut ilmu, ia diterima di sekolah itu tanpa harus mengeluarkan biaya.
Menginjak ketika kelas enam, gurunya menganjurkan agar namanya ditambah supaya tidak terlalu pendek. “Siapa tahu nanti jadi orang penting,” kata Pak Obang Barnas, salah seorang gurunya, karena nama itu akan ditulis dalam ijazah.
Sore harinya ia bertanya ihwal nama yang cocok untuk dirinya ke Mu’allim Djamjuri di Masjid Bojongwaru.
Sang Mu’allim menawarkan tambahan nama “Maryunani”, maka jadilah nama dalam Ijazah SD-nya Uyun Maryunani, disingkat U. Maryunani.
Tentang namanya sekarang, itu terjadi saat di pengajian. Ia sering dilatih ceramah dalam berbagai acara keagamaan yang teksnya dibuatkan guru mengajinya, Ustadz Abdullah Mubarak. Oleh sang ustadz, namanya diberi tambahan lagi “U. Maryunani Dja’far Shiddieq”.
Beranjak remaja, rupanya ia termasuk penggemar karya-karya Hamka (Haji Abdul Malik Karim Amrullah), maka ia pun ikut-ikutan menyingkat namanya, Uyun Maryunani, menjadi Umay.
Saat memasuki PTIQ (Perguruan Tinggi Ilmu Al-Quran), Jakarta, dengan Ijazah U. Maryunani, ia memperkenalkan diri dengan menyebut dirinya Umay, maka bagian pengajar di PTIQ meyakini bahwa U itu artinya “Umay”, maka tertulislah di Ijazah PTIQ Umay Maryunani. Kelak setelah berkecimpung di masyarakat, nama pemberian guru mengajinya itu digunakan kembali, maka jadilah “Umay M. Dja’far Shiddieq”.
Dari sejarah namanya yang agak unik di atas, tampaknya sejak kecil ia memang telah banyak mengurus dirinya, sebagai orang yang tak pernah merasakan kasih sayang seorang bapak, yang meninggal saat ia masih empat bulan dalam kandungan ibunya. Itulah sebabnya, ia menjadikan ibunya sebagai sumber doa, sumber rahmat Allah, sumber ridha-Nya, serta sumber motivasi dan kekuatan. Ia pernah berujar, pengalaman yang paling berkesan adalah saat ia menggandeng tangan ibunya yang keriput saat thawaf mengitari Ka’bah tahun 1993.
Bebas Biaya
Umay kecil pun tamat SD Bojong Genteng tahun 1967. Ia merasa sangat berutang budi kepada Kepala SD, Pak Karta Soedarma, yang membebaskannya dari iuran sekolah.
Ia tamat PGA 4 Tahun Al-A’arif Jampang Kulon tahun 1971. Lagi-lagi ia berutang budi atas kebaikan Pak Dindin Saefudin, yang juga membebaskannya dari SPP.
Didorong oleh keinginan kuatnya untuk meneruskan sekolah, sekitar 86 km hutan Pasir Piring ia tempuh dengan jalan kaki, karena tak ada ongkos naik bus ke Sukabumi. Di kota ini, atas kemurahan hati K.H. E. Fachruddin Masthura, ia diterima di Pesantren Tipar dan tamat Madrasah ‘Aliyah Al-Masthuriyah, Tipar, Sukabumi tahun 1974. Sepanjang di Al-Masthuraiyah inilah ia sangat berutang budi atas perhatian dan kasih sayang keluarga besar K.H. Moh Sanusi (alm.).
Ia lalu mondok di Pesantren Salafiyah Siqayaturrahmah, bimbingan K.H. M. Mudrikah Hanafi, di Selajambu, Sukabumi, 1975-1976.
Kemudian ia melanjutkan pendidikan ke PTIQ hingga tamat tahun 1983. Selama kuliah di PTIQ ia seperti mendapat orangtua angkat, yaitu keluarga Bapak Moh. Djubaedy Soelaiman. Setelah tamat, ia dipercaya menjadi dosen tafsir dan hadits ahkam (hukum) di almamaternya sampai tahun 1990.
Tahun 1984, ia kuliah lagi di IAIN Jakarta Fakultas Syari’ah, Jurusan Peradilan Agama, atas kebaikan keluarga Mayjen (Pol.) Drs. H Soedarto, selesai tahun 1987. Dan pada tahun 1996, atas kebaikan keluarga Mayjen Dr. H. Loet Affandi, ia pun dapat menyelesaikan S-2 Pendidikan Islam dari Pascasarjana UMJ (Universitas Muhammadiyah Jakarta).
Tahun 1999, dan atas saran guru tercintanya, Prof. Dr. M. Quraish Shihab, M.A., ia melanjutkan studi S-3-nya di PPs (Program Pascasarjana) Universitas Negeri Jakarta (UNJ) Jurusan Manajemen Pendidikan, juga atas kemurahan hati keluarga Dr. H. Loet Affandi.
Terjun di Tengah Masyarakat
Sejak masih kuliah di PTIQ tahun 1982 ia mulai merintis menyelenggarakan pengajian bulanan di kampungnya, dengan jumlah peserta pengajian pertama hanya delapan orang. Ia tekuni sebulan sekali naik-turun bus Jakarta-Sukabumi, mensosialisasikan idenya membangun desa.
Dalam masa sepuluh tahun, ia mengubah mushalla kecil ukuran 4 x 6 meter menjadi masjid dengan ukuran 12 x 18 meter.
Sepuluh tahun kemudian, tepatnya Januari 1982, dengan lima orang lainnya, ia mendirikan Yayasan Pendidikan dan Sosial Islam (Yapsi) Darul ‘Amal, yang pada tahun 2005 sudah memiliki luas tanah 54.000 meter (5,4 hektare), lengkap dengan bangunan masjid bernuansa warna biru berukuran 30 x 29 meter berdiri megah tiga lantai, sekolah SMP dan SMA tiga lantai dengan 18 lokal kelas, tiga unit asrama semuanya dua lantai, peserta didik hampir 500 anak, dari mulai TK, MI, SMP, hingga SMA dan pesantren, Toko Ribhi Barka, Unit Pertanian dan Peternakan, dan mudzakarah jama’ah bulanan yang rata-rata diikuti 300-400 jama’ah setiap Ahad pertama di bulan Miladiyah (Masehi).
Tahun 1979, tepatnya 1 Oktober 1979, ia menikahi tambatan hatinya sejak di PGA, Lily Yulifah, putri keenam Mu’allim E. Djuaeni, imam besar Masjid Kaum Jampang Kulon. Dari pernikahannya ia dikaruniai tiga putra dan seorang putri.
Tahun 1990 ia dipercaya menjadi direktur Masjid Jami’ Yarsi (Yayasan Rumah Sakit Islam). Dikelolanya masjid itu dengan manajemen modern, sehingga tahun 1994 terpilih menjadi masjid teladan tingkat DKI. Ia emban amanah Allah mengurus rumah-Nya itu sampai tahun 1996, dan pada bulan Oktober tahun itu juga ia mendirikan Yayasan Da’wah dan Sosial Islam Al-‘Urwatul Wutsqa (Yadsi UW), yang bergerak dalam penyelenggaraan Kursus Tafhim Al-Quran, kini terdapat 24 kelas, yang tersebar di Jakarta.
Bersama rekannya di PTIQ, Drs. Mustari, ia membuka cabang yayasan di Tegal Mulyo, Klaten, Jawa Tengah, yang menyelenggarakan Madrasah Diniyah, TPQ Nurul Akbar, dan Pesantren Tahfizhul Quran. Dan kemudian, melalui salah satu anak asuh kepercayaannya, Ustadz H. Hafidzi, tahun 1997, ia membuka cabang Yadsi UW yang kedua di Dusun Ngantirejo, Desa Beruk, Karang Anyar, dengan memberdayakan 13 ustadz, yang tersebar di sekitar Kecamatan Jatiyoso dan Tawangmangu, mengelola 11 TPQ dan beberapa majlis ta’lim. Direncanakan di tempat itu akan dibangun pesantren terpadu.
Tahun 1998 keluarga ayah angkatnya, Dr. Loet Affandi, mendirikan Yayasan Al-Ma’shum Mardiyah di Desa Galudra, Cugenang, Cianjur. Di tempat itulah kemudian ia menyelenggarakan Pesantren Terpadu Al-Ma’shum Mardiyah, yang kini santrinya mencapai 360 orang, terdiri dari putra dan putri.
Pada tahun 2000, tepatnya 26 Juni 2000, masyarakat Rawasari secara aklamasi mempercayainya menjadi ketua umum Masjid Jami’ Rawasari, sebuah masjid tua di kawasan Rawasari, Jakarta Pusat, dan pada tahun itu pula ia membentuk Badan Hukum Yayasan Masjid Jami’ Rawasari. Kini yayasan itu membangun Masjid Al-Nizham 24 x 26 meter tiga lantai, menyelenggarakan TPQ & TK Islam Al-Rawdhah, dan memiliki Toko Al-Barka.
Ia merasakan betapa besar peran jama’ah pengajian Kursus Tafhim Al-Quran, baik untuk pembangunan proyek-proyek fisiknya maupun sebagai donatur tetap bagi anak-anak asuhnya. Tanpa melebihkan yang satu atas yang lainnya, ia merasa tak dapat melupakan para munfiqin-munfiqat (donatur) berikut: keluarga Deddy Brahim, keluarga Ismaildin Wahab, keluarga Ismail Akbar, keluarga Salman Harahap, keluarga Dr. Loet Affandi, keluarga Muchtar Purbaya, keluarga Saeful Amir, keluarga Soni Dwi Harsono, keluarga Saleh Gunawan, keluarga Vence Raharjo, keluarga Amril Adnan, keluarga Sudarmadi, keluarga besar putri-putri dan para menantu Anas Latif, keluarga Bennyman Saus, dan yang lain-lainnya.
Selain sering menjadi pengisi mimbar agama Islam di beberapa stasiun televisi, serta memberikan ceramah-ceramah agama di berbagai kesempatan, pada tahun 2005 dengan beberapa koleganya ia mendirikan CV Al-Ghuraba, yang bergerak di bidang penerbitan buku. Ia juga punya niatan akan mengisi sisa umurnya dengan menulis buku-buku agama sebagai kelanjutan dari pembinaan pengajian-pengajian yang selama ini ia jalani.
Sosok Kiai Umay dengan perjalanan hidupnya yang penuh liku bahkan sampai menjadi inspirasi bagi seorang mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah Jakarta saat menyusun skripsinya. Dalam skripsinya, Khoirudin, demikian nama mahasiswa itu, mengangkat peranan Kiai Umay dalam mengembangkan Islam di Jampangkulon, Sukabumi, tanah kelahirannya.
sumber: majalah alkisah
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
stroom09@gmail.com