KUMPULAN ASAL USUL DESA
ASAL-USUL DESA CUPANG
Asal
mula nama Cupang ( Desa Cupang ) sebagian orang mengatakan, berasal
dari suku kata Cu dan Pang, yang mangandung arti Cu berasal dari kata
Cukup dan Pang berasal dari kata Pangan. Jadi Cupang berasal atau
diambil dari nama ikan, yaitu ikan Cupang ( Ikan Tempele ).
Pada
zaman dahulu ditempat sekarang yang disebut Cantilan Desa Cupang hidup
sepasang suami – istri bernama kakek dan nenek Dawud yang berasal dari
Mesir yang lebih dikenal dengan sebutan Buyut Dawud. Buyut Dawud hidup
sehari dari hasil menangkap ikan dengan cara nyeser atau dengan cara
memasang bubu disungai. Dari hasil tangkapan itu Buyut Sawud hidup
berkecukupan.
Pada suatu hari kakek Dawud pergi kesungai untuk mengangkat bubu ( alat penangkap ikan ) bukan main tercengangnya karena tidak seperti biasanya, ketika bubunya diangkat ternyata didalamnya hanya seekor ikan kecil berwarna merah, yaitu ikan Tempele atau disebut juga ikan Cupang.
Pada suatu hari kakek Dawud pergi kesungai untuk mengangkat bubu ( alat penangkap ikan ) bukan main tercengangnya karena tidak seperti biasanya, ketika bubunya diangkat ternyata didalamnya hanya seekor ikan kecil berwarna merah, yaitu ikan Tempele atau disebut juga ikan Cupang.
Kakek
Dawud pulang, kemudian ikan kecil itu diserahkan kepada nenek Dawud,
oleh nenek Dawud ikan itu dimasukan kedalam kuali, anehnya dalam kuali
ikan itu membesar sehingga memenuhu kuali dan dalam keadaan sudah mati.
Melihat
kejadian itu kakek Dawud melarang ikan itu dimasak, oleh kakek Dawud
ikan itu selanjutnya dibungkus kain putih dan dikubur didekat pohon asam
sebelah barat balai Desa Cupang yang lama. Kuburan itu sekarang dikenal
dengan sebutan Ki Buyut Cupang.
Setelah
kakek dan nenek Dawud meninggal, mereka dikubur didekat kuburan itu dan
mulai saat itu kampong tersebut diberi nama kampung Cupang.
ASAL – USUL DESA BABAKAN
Ki
Gede Lamah Abang dari Indramayu yang terkenal dengan kesaktiannya,
sedang memanggul pohon jati yang sangat besar dari daerah Gunung
Galunggung untuk membantu pendirian masjid di Cirebon. Di tengah
perjalanan ia dihadang seekor macan putih yang langsung menyerangnya
untuk merebut pohon jati dari panggulannya. Melihat seekor macan putih
yang ingin merebut pohon jati dari panggulannya, Ki Gede Lemahabang
tidak tinggal diam. Dengan sekuat tenaga ia mempertahankan jati yang
dipanggulnya itu jangan sampai berpindah tangan.
Terjadilah
perebutan pohon jati antara Ki Gede Lemahabang dengan seekor macan
putih yang sebenarnya adalah jelmaan Ki Kuwu Cerbon. Tujuan Ki Kuwu
menghadang perjalanan Ki Gede Lemahabang, agar pohon jati tersebut
jangan terlalu cepat sampai ke Cirebon. Jika hal itu terjadi, maka ilmu
kewalian harus diajarkan kepada para santri yang belum memenuhi syarat
untuk menerima ilmu tersebut.
Perebutan
pohon jati itu membuat suasana di tempat itu sangat mengerikan. Kedua
makhluk itu saling mengeluarkan ilmu kesaktian, sehingga menimbulkan
prahara dan di sekelilingnya banyak pohon yang tumbang. Pepohonan yang
tumbang itu seperti terbabak benda tajam. Daerah tempat terjadinya
peristiwa itu kemudian dijadikan nama sebuah pedukuhan Babakan.
Waktu terus berlalu, rupanya kesaktian Ki Gede Lemahabang berada di bawah kesaktian Ki Kuwu Cerbon yang berwujud macan putih. Dia tidak sanggup lagi mempertahankan apa yang di panggulnya. Pohon jati itu hilang dalam panggulannya, bersamaan dengan hilangnya macan putih yang menghalang-halangi perjalanannya.
Waktu terus berlalu, rupanya kesaktian Ki Gede Lemahabang berada di bawah kesaktian Ki Kuwu Cerbon yang berwujud macan putih. Dia tidak sanggup lagi mempertahankan apa yang di panggulnya. Pohon jati itu hilang dalam panggulannya, bersamaan dengan hilangnya macan putih yang menghalang-halangi perjalanannya.
Kini
pedukuhan Babakan telah berubah menjadi Desa Babakan dalam wilayah
Kecamatan Ciwaringin. Desa Babakan terletak di ujung sebelah barat,
merupakan daerah perbatasan Kabupaten Cirebon dengan Kabupaten
Majalengka.
Menginjak tahun 1705, seorang pengembara yang selalu menyebarkan agama Islam bernama Syekh Hasanudin bin Abdul Latif berasal dari Kajen Kecamatan Plumbon Kabupaten Cirebon datang di pedukuhan Babakan. Di Pedukuhan Babakan Syekh Hasanudin membangun sebuah mushala kecil. Di depan mushalahnya ada dua pohon jati yang sangat besar. Untuk kehidupan sehari-harinya Syekh Hasanudin bertanam palawija di sekitar tempat itu.
Dalam menyiarkan agama Islam, Syekh Hasanudin banyak mendapat rintangan, ejekan, cercaan, dan tantangan dari beberapa daerah di sekitarnya seperti dari Desa Budur, Pedukuhan Jati Gentong, Pedukuhan Tangkil yang ada di bawah kekuasaan Ki Gede Brajanata yang tidak mau masuk Islam. Tantangan tersebut bahkan datang dari Pedukuhan Babakan itu sendiri, namun semua rintangan itu tidak menyurutkan tekad Syekh Hasanudin menyebarkan agama Islam.
Pada usianya yang telah tua, Ki Gede Brajanata meninggal dunia. Sepeninggal Ki Gede Brajanata, penyebaran agama Islam yang dilakukan Syekh Hasanudin mengalami kemajuan. Telah banyak masyarakat yang mau memeluk agama Islam dan memperdalam ilmu syariat Islam. Walau masih banyak pengikut-pengikut Ki Gede Brajanata yang terus menentangnya tidak menjadi pengahalang yang berarti bagi Syekh Hasanudin untuknterus berjuang. Mushala yang kecil itu sudah tidak bisa lagi menampung orang-orang yang ingin belajar ilmu. Para santri bersepakat untuk membangun lagi mushala yang lebih besar.
Menginjak tahun 1705, seorang pengembara yang selalu menyebarkan agama Islam bernama Syekh Hasanudin bin Abdul Latif berasal dari Kajen Kecamatan Plumbon Kabupaten Cirebon datang di pedukuhan Babakan. Di Pedukuhan Babakan Syekh Hasanudin membangun sebuah mushala kecil. Di depan mushalahnya ada dua pohon jati yang sangat besar. Untuk kehidupan sehari-harinya Syekh Hasanudin bertanam palawija di sekitar tempat itu.
Dalam menyiarkan agama Islam, Syekh Hasanudin banyak mendapat rintangan, ejekan, cercaan, dan tantangan dari beberapa daerah di sekitarnya seperti dari Desa Budur, Pedukuhan Jati Gentong, Pedukuhan Tangkil yang ada di bawah kekuasaan Ki Gede Brajanata yang tidak mau masuk Islam. Tantangan tersebut bahkan datang dari Pedukuhan Babakan itu sendiri, namun semua rintangan itu tidak menyurutkan tekad Syekh Hasanudin menyebarkan agama Islam.
Pada usianya yang telah tua, Ki Gede Brajanata meninggal dunia. Sepeninggal Ki Gede Brajanata, penyebaran agama Islam yang dilakukan Syekh Hasanudin mengalami kemajuan. Telah banyak masyarakat yang mau memeluk agama Islam dan memperdalam ilmu syariat Islam. Walau masih banyak pengikut-pengikut Ki Gede Brajanata yang terus menentangnya tidak menjadi pengahalang yang berarti bagi Syekh Hasanudin untuknterus berjuang. Mushala yang kecil itu sudah tidak bisa lagi menampung orang-orang yang ingin belajar ilmu. Para santri bersepakat untuk membangun lagi mushala yang lebih besar.
Pada
saat membangun mushala itulah para santri memberi julukan kepada Syekh
Hasanudin sebagai gurunya dengan panggilan Ki Jatira, karena kebiasaan
gurunya itu beristirahat di depan mushala di bawah dua pohon jati yang
besar. Jati = pohon jati, dan ra = loro (dua).
Nama
Ki Jatira menjadi terkenal sampai ke pusat ajaran Islam yang ada di
Amparanjati, Gunung Sembung. Begitu pula nama Ki Jatira yang mengajarkan
ilmu agama Islam dan ilmu kanuragan terdengar oleh pihak Belanda, yang
dianggapanya akan membahayakan kekuasaanya di Cirebon.
Pada tahun 1718, serdadu belanda datang dan menyerang padepokan Ki Jatira di Pedukuhan Babakan. Serangan itu mendapat perlawanan yang sengit dari para santri. Karena peperangan itu tidak seimbang, akhirnya para santri dapat dikalahkan dan padepokan Ki Jatira dihancurkan dibakar habis. Peristiwa itu dikenal dengan nama Perang Ki Jatira, yang banyak mengorbankan para santri, tewas sebagai syuhada. Ki Jatira sendiri dapat diselamatkan oleh muridnya dan dibawa ke Desa Kajen.
Pada tahun 1718, serdadu belanda datang dan menyerang padepokan Ki Jatira di Pedukuhan Babakan. Serangan itu mendapat perlawanan yang sengit dari para santri. Karena peperangan itu tidak seimbang, akhirnya para santri dapat dikalahkan dan padepokan Ki Jatira dihancurkan dibakar habis. Peristiwa itu dikenal dengan nama Perang Ki Jatira, yang banyak mengorbankan para santri, tewas sebagai syuhada. Ki Jatira sendiri dapat diselamatkan oleh muridnya dan dibawa ke Desa Kajen.
Pada
tahun 1721, Ki Jatira datang lagi ke pedukuhan Babakan untuk meneruskan
syiar Islamnya. Kedatangannya itu disambut gembira oleh masyarakat,
kemudian tahun 1722 Ki Jatira bersama-sama masyarakat membangun kembali
padepokan yang telah hancur itu. Tempatnya dipindahkan ± 400 m ke
sebelah selatan dari padepokan yang lama.
Ketenaran
dan keharuman nama Ki Jatira yang mengajarkan ilmu agama Islam dan ilmu
kanuragan, tercium lagi oleh Belanda. Pada tahun 1751 serdadu Belanda
kembali menyerang padepokan Ki Jatira. Akan tetapi sebelumnya, rencana
Belanda tersebut sudah di ketahui oleh Ki Jatira. Sehingga sebelum
penjajah itu datang untuk menyerang padepokan, terlebih dahulu Ki Jatira
membubarkan para santrinya dan Ki Jatira sendiri mengungsi ke Desa
Kajen, menunggu situasi aman. Setibanya para serdadu Belanda di
padepokan Ki Jatira telah kosong tidak ada penghuninya. Untuk kedua
kalinya padepokan Ki Jatira dibakar oleh serdadu Belanda.
Dalam
pengungsiannya, Ki Jatira terserang penyakit pada usianya yang telah
uzur. Pada waktu sakit, beliau berpesan kepada keponakannya yang
sekaligus menantunya bernama Nawawi untuk datang ke Pedukuhan Babakan
meneruskan perjuangannya. Pada tahun 1753 Ki Jatira wafat dan dimakamkan
di Desa kelahirannya sendiri yaitu Desa Kajen Kecamatan Plumbon.
Tahun 1756, Ki Nawawi membangun sebuah mushala panggung yang sangat besar, bentuknya menyerupai masjid. Jaraknya ± 300 m ke arah selatan dari padepokan Ki Jatira yang kedua.
Tahun 1756, Ki Nawawi membangun sebuah mushala panggung yang sangat besar, bentuknya menyerupai masjid. Jaraknya ± 300 m ke arah selatan dari padepokan Ki Jatira yang kedua.
Tahun
1810, pada periode cucu Ki Nawawi bernama Ki Ismail, para santri mulai
membangun tempatnya masing-masing yang dikenal dengan nama Pondokgede.
Ki Ismail wafat tahun 1916, pengasuh Pondokgede diteruskan oleh
keponakannya yang juga menantunya bernama Kiai Muhamad Amin bin Irsyad,
yang dikenal dengan sebutan Ki Amin Sepuh berasal dari Desa Mijahan
Kecamatan Plumbon. Pada masa itu Pondokgede mencapai masa keemasan.
Mushala yang dibangun Ki Nawawi pada tahun 1769 resmi dijadikan masjid.
Pondokgede akhirnya dikenal dengan nama Pondok Pesantren
Raudlatultholibin.
Tahun 1952, pada masa agresi Belanda ke-2, Pondokgede saat diasuh Ki Amin Sepuh diserang kembali oleh Belanda. Kitab suci dan kitab-kitab lain diobrak-abrik serta dibakar. Para santri bersama Ki Amin Sepuh dan seluruh keluarganya mengungsi.
Tahun 1952, pada masa agresi Belanda ke-2, Pondokgede saat diasuh Ki Amin Sepuh diserang kembali oleh Belanda. Kitab suci dan kitab-kitab lain diobrak-abrik serta dibakar. Para santri bersama Ki Amin Sepuh dan seluruh keluarganya mengungsi.
Dua
tahun kemudian yaitu tahun 1954, Kiai Sanusi salah seorang santri Ki
Amin Sepuh datang ke Pondokgede dan menata kembali bangunan dan
sisa-sisa kitab yang dibakar, sehingga bangunan dan halaman Nampak rapih
kembali, tahun 1955 Ki Amin Sepuh datang kembali ke Pondokgede diikuti
oleh para santrinya untuk melanjutkan pembelajaran agama Islam, sampai
wafatnya pada tahun 1972.
Setelah
wafatnya Ki Sanusi pada tahun 1986, pengasuh pondok dilanjutkan oleh Ki
H. Fuad Amin sampai tahun 1997. Dilanjutkan oleh K.H. Abdullah Amin
sampai tahun 1999. Ki Bisri Amin mengasuh pondok hanya setahun yaitu
dari tahun 1999 – 2000. Kini Pondok Pesantren di asuh oleh K.H. Azhari
Amin dan K.H. Zuhri Affif Amin, keduanya adalah putra K.H. Amin Sepuh.
Beliau berdua bekerja keras untuk meningkatkan pendidikan agama Islam,
juga pendidikan umum lainnya diterapkan kepada para santrinya untuk
bekal hidupnya di dunia dan akhirat.
Semula
Babakan hanya daerah pedukuhan yang merupakan cantilan dari Desa Budur.
Atas kehendak masyarakat, pada tahun 1773 memisahkan diri dari Desa
Budur menjadi desa yang mandiri, yaitu Desa Babakan. Kuwu yang pertama
adalah Surmi dari tahun 1798 – 1830.
ASAL USUL DESA ARJAWINANGUN
Dalam
pengembaraannya untuk mencari dan memperdalam agama islam, dua orang
Padjajran Raden Walang Sungsang dan adiknya Nyi Rarasantang sampai ke
Mesir menunaikan ibadah haji. Raden Walang sungsang pulang ke Cirebon
dengan sebutan Haji Abdullah Iman, sedangkan Nyi Rarasantang tetap
berada di Mesir karena telah bersuamikan Syarif Abdullah seorang Raja
Mesir. Berputra dua oranng yaitu Syraif Hidayahtullah dan Syarif
Nurullah. Tidak lama kemudian setelah Syarif Hidayatullah dilahirakan,
ayahandanya wafat.
Menginjak
usia dewasa, Syarif Hidayahtullah berpamitan kepada ibunya pergi ke
Cirebon sambil mencari guru untuk memperdalam ajaran Agama Islam. Di
Cirebon bertemu dengan uwaknya H.Abdullah Iman atau disebut juga
Pangeran Cakra Buana yang telah memiliki seorang putri bernama nyi Mas
Pakung wati, dari prnikahannya dengan Nyai Endang Geulis. Syarif
hidayahtullah dinikahkan dengan Nyi Mas Pakung wati dan menduduki
Keraton Pakung Wati dengan gelar Sultan Syarif Hidayahtullah atas
pemberian nama uaknya P.Cakra Buana.
Belum
lama di Cirebon, Syarif Hidayahtullah pergi mengembara ke Negri Cina
untuk menuntut ilmu dan menyebarkan Agama Islam. Di Negeri Cina Syarif
hidayahtullah sangat dihormati oleh masyarakat yang didatangi dan banyak
pula yang menganut Agama Islam. Karena dianggap orang sakti dan sangat
ramah dengan penduduk.
Pada
suatu ketikas tejadi kebakaran di pembakaran keramik, di dalam rumah
yang menyala-nyala dilanda api, tak ada seorangpun yang berani
menyelamatkan bayi yang masih ada didalamnya. Dengan tenangnya Syarif
Hidayahtullah masuk untuk menyelamatkan bayi lewat kobaran api yang
menyala. Bayi dapat diselamatkan dengan keadaan segar bugar, begitu pula
dengan Syarif hidayahtullah, pakaiannya tidak terbakar sedikitpun.
Penduduk terkagum-kagum dan dianggapnya orang sakti.
Peristiwa
itu terdengar Kaisar Cina yang menjadikan dirinya gusar dan marah. Maka
dibuatlah tipu muslihat, diundanglah Syarif Hidayahtullah ke Istana
untuk menebak apakah putri An Liong Tien benar-benar mengandung atau
tidak. Dikatakannya oleh Syarif Hidayahtullah bahwa putri tuan besar
mengandung. Semula Syarif Hidayahtullah akan menerima hukuman yang berat
dari kaisar karena diperut Putri An Liong Tin hanyalah sebuah bantal
belaka yang diletakkan didalam perutnya, sehingga persis seprti orang
mengandung. Akan tetapi dalam keputren seorang emban menjerit-jerit
bahwa Putri An Liong tin benar-benar mengandung. Setelah dilihat oleh
kaisar benar juga adanya. Syarif hidayahtullah menyelinap keluar dari
istana dan kembali ke Cirebon.
Putri
An Liong Tin berpamitan kepada ayahnya untuk mencari calon suaminya di
Cirebon. Dalam pertemuannya di gunung jati putri An Liong tin dinikahi
oleh Syarif Hidayahtullah dan di tempatkan di daerah Luragung. Putri An
Liong Tin dikenal pula dengan sebutan Ratu Petis, karena gemar makan
petis.
Ketika
Putri An Liong Tin melahirkan, bayi yang baru dilahirkan meninggal
dunia. Karena merasa kehilangan, Putri An Liong Tin mengangkat putra Ki
Gede Luragung bernama Arya Kemuning, kemudian namanya menjadi Adipati
Arya Kemuning.
Pada
saat menginjak usia dewasa, Dipati Arya Kemuning yang telah ditinggal
ibunya wafat, pergi ke Gunung Jati untuk ayahandanya Sultan Syarif
Hidayahtullah. Sulatan Syarif Hidayatullah menerimanya dengan suka hati,
kemudian Dipati Arya kemuning ditugaskan untuk mengundang Suryadarma di
Indramayu agar datang ke Gunung Jati.
Sekembalinya
Arya Kemuning setelah melaksanakan amanat ayahandanya, karena
kelelahan, Dipati Arya Kemuning istirahat untuk melepaskan lelah.
Ditempat istirahat Dipati Arya Kemuning itulah sekarang disebutnya Desa
Arjawinangun.
Arjawinangun
terdiri dari dua kata yaitu ARJA dan WINANGUN. Arja artinya bahagia dan
Winangun artinya membangun atau telah selesai melaksanakan tugas.
ASAL USUL DESA BAKUNG
Dalam
penyamarannya Ki Kuwu Cirebon di Gunung Kumbang, tinggal di blok Ardi
Lawet bergelar Abujangkrek. Disitu Ki Kuwu memiliki dua orang putra
yaitu seorang laki-laki bernama Sela Rasa dan perempuan bernama Sela
Rasi.
Dijaman
itu Ki Kuwu memasuki daerah Telaga, bertemu dengan seorang bernama Ki
Wanajaya. Ki Wanajaya di telaga adalah seorang yang sakti mandraguna, di
Telaga itu belum ada tandingannya. Dalam pertemuannya dengan Ki Kuwu,
terjadilah selisih paham hingga terjadi perkelahian. Perkelahian dua
orang sakti itu terjadi lama sekali, masing-masing mencari kelemahan
lawannya. Tetapi belum seorangpun yang menunjukkan kelemahan untuk dapat
dirobohkan salah seorang diantaranya.
Pada
suatu saat diserangnya Ki Wanajaya dengan ajian Nini Badong yang
berkhasiat mengeluarkan hawa dingin luar biasa. Ki kuwu mengarahkan
ajian itu sangat tepat mengenai sasarannya,Ki Wanajaya menjadi tak
berdaya. Ki Kuwu yang memiliki jiwa ksatria, lalu menunggu lawannya yang
tak berdaya dan tidak berani menyerangnya sampai mati. Agaknya Ki
Wanajaya sendiri merasakan, perlakuan lawannya tidak mudah dapat
dilawannya. Ki Wanajaya menyerah minta ampun, dan Ki Kuwu dengan senang
hati mengampuninya. Kemudian Ki Wanajaya mengikuti faham Ki Kuwu
memasuki agama Islam.
Karena
pernyataan Ki Wanajaya, Ki Kuwu berniat baik kepada Ki Wanajaya agar
seterusnya tetap dalam Islam. Dimintakan kepada Ki Wanajaya agar
memperistri putrinya yang bernama Sela Rasi. Ki Wanajaya mengajukan
keberatan sehubungan usianya telah berjauhan dengan Sela Rasi. Ki Kuwu
memberikan ilmu kepada Ki Wanajaya. Setelah ilmu itu diterima,
berubahlah wajah Ki Wanajaya layaknya seorang perjaka. Ki Kuwu menyuruh
Ki Wanajaya berkaca ke permukaan air agar mengetahui perubahan dirinya.
Namun ditempat itu tidak ditemukan sebuah balong pun, segera Ki kuwu
ditempatnya duduk mencungkil tanah, dari tanah yang dicungkilnya
dikabulkan, timbullah sebuah balong yang airnya jernih sekali, Ki
Wanajaya segera berkaca di balong tersebut.
Ki
Wanajaya tersenyum melihat tampangnya seperti perjaka kembali. Ki Kuwu
menjelaskan, engkau telah kuberi Doa Janur Wenda yang telah engkau
hafalkan. Doa yang telah engkau baca dikabulkan Allah, dan raut mukamu
telah kembali seperti perjaka.
Ki
Kuwu menunjukkan adanya binatang-binatang kecil yang disebut “Remis”,
berada dipinggiran balong yang baru terjadi itu. Balong ini sebaiknya
diberi nama Telaga Remis, dan tanah cungkilannya bawalah. Ki Wanajaya
menurut kepada semua yang dikatakan Ki Kuwu. Ki Wanajaya kemudian
dijodohkan dengan Nyi Sela Rasi, di tempatkan agar berdiam di sebuah
daerah yang diberi nama Bakung. Ki Wanajaya hidup rukun bersama istrinya
Nyi Selarasi di Bakung. Tanah cungkilan Telaga Remis disimpannya
disebuah tempat yang diberi nama Tegal Angker. Tanah itu terletak di
tapal batas blok Pager Toya dan Desa Suranenggala Kulon sekarang.
Dikatakan pula oleh Ki Kuwu kelak dikemudian hari kalau tanah di Tegal
Angker dipertemukan dengan air yang berasal dari Telaga Remis, tanah
disana akan menjadi subur.
Berdasarkan
pada cerita itu, pada masa jabatan Kuwu Bakung yang dipegang oleh Muh.
Sidik, amanat itu telah dibuktikannya. Kuwu Muh. Sidik mencoba
mengusahakan terjadinya air dari sungai Jamblang dapat menembus sampai
ke Tegal Angker. Usahanya dibantu oleh rakyat setempat memperoleh hasil,
kurang lebih tahun 1970, air dari Telaga Remis sampai ke Tegal Angker.
Yang telah diamanatkan Ki Kuwu tersebut terbukti dan membuahkan hasil,
Tegal Angker merupakan tanah yang subur.
ASAL USUL DESA GEYONGAN
Sejarah
desa geyongan secara tertulis dan akedemis sampai saat ini belum ada
yang mendiskripsikan/meneliti, tulisan ini didasarkan atas pinuturan dan
cerita dari orang yang anggap dipercaya (H. Markina, Wa Mungkar dan
Suryadi, kini ketiganya telah Almarhum) serta bukti- bukti sejarah
peninggalan kebudayaan sosial ekonomi masyarakat geyongan yang sempat
penulis lihat. Tempat-tempat yang dianggap sebagai asal muasal nenek
moyang penduduk Desa Geyongan terdapat di 4 tempat masing -masing
Pedukuhan Warakas, Gembur, Mijasem dan Kidas.
1. Pedukuhan Warakas.
Bukti
sejarah bahwa awal mula peradaban desa geyongan berawal dari daerah
Warakas, Warakas itu merupakan bagian wilayah dari Desa Geyongan yang
kini letaknya sebelah timur jalan by pass Cirebon - Jakarta sebelah
selatan dukuh Sirnabaya dekat berbatasan dengan desa Sende. Dulu sekitar
pertengahan abad 18-an (17 ... M) di daerah Warakas terdapat suatu
komunitas santri (Pesantren) tidak diketahui siapa pimpinan
pesantrennya, lambat laun komunitas tersebut berkembang menjadi
pesantren yang ramai karena banyak orang yang menuntut ilmu (mengaji dan
ilmu agama).
Pada
suatu waktu di jalan (kini jalan by pass) terjadi peristiwa
pembegalan/perampokan yang mengakibatkan pembunuhan. Sejak peristiwa itu
kehidupan di komunitas warakas terganggu karena pihak Pemerintah
Kolonial Belanda menuduh bahwa pelaku perampokan itu adalah penduduk
Warakas bahkan pihak kolonial Belada melakukan penindasan dan intimidasi
kepada penduduk.
Demi
untuk menghindari fitnah dan tuduhan pihak kolonial serta hal-hal tidak
diinginkan, maka komunitas Warakas berpindah tempat yaitu ke arah barat
tepatnya di tepian/bantaran Sungai Winong (Kali Wetan kata orang
Geyongan) yang dulu dikenal Pesantren Wetan itu. Bukti sejarah di
Warakas ada komunitas sampai saat ini masih terdapat sisa peningalannya
berupa kuburan, begitu juga yang ada di bantaran Kali Wetan juga
terdapat bekas peninggalannya. Setelah dibangunnya kali irigasi oleh
Pemerintah Kolonial Belanda pada tahun 1901 (implikasi dari politik
balas budi Belanda : Educasi, irigasi dan transmigrasi), maka secara
berangsur-angsur penduduk pesantren wetan yang berada bantaran sungai
winong/kali wetan berpindah ke tempat yang baru yang kini kita kenal
dengan Jatilawang dan ada juga yang pindah ke beberapa tempat di
pedukuhan Geyongan.
2. Pedukuhan Gembur, Mijasem dan Kidas.
Sepertihalnya
pedukuhan warakas, di pedukukan Gembur juga dulunya ada komunitas dan
akhirnya kosong karena penduduknya pidah ke Desa Geyongan yang mungkin
tanahnya lebih subur atau karena banyak penduduknya pindahan dari
pedukuhan sekitarnya. Pedukuhan gembur terletak disebelah selatan Ds.
Geyongan sekarang dekat blok Pace.
Demikian
pula pedukuhan Mijasem penduduknya banyak yang pindah mungkin ke desa
geyongan atau ke arjawinangun, jejak peninggalan pedukuhan mijasem masih
dapat dilihat sampai sekarang berupa kuburan. Letak dari pedukuhan
Mijasem sekarang masuk dalam desa Kebonturi dekat dengan Gedung Bioskop
Pahala. Dan untuk pedukuhan Kidas sekarang terletak di desa Kebonturi di
blok Kidas, pedukuhan ini juga ditinggalkan penduduknya hijrah ke desa
Geyongan peninggalan yang masih dapat dilihat berupa makam dan belik.
Dengan
semakin banyak penduduk dari pedukuhan yang berpindah ke Geyongan
semakin ramai dan berkembanglah Desa Geyongan hingga saat ini, sedang
pedukuhan semakin ditinggal pergi penduduknya. Setelah penduduknya
semakin ramai maka ditunjuklah seorang pemimpin atau yang kita kenal
Kuwu (Kepala Desa).
Tidak
ada cacatan yang pasti kapan geyongan itu berdiri sebagai Desa,
berdasarkan catatan silsilah Kuwu di desa Geyongan Kuwu pertama yang
memimpin Desa Geyongan adalah Ki Pandu sekitar pertengahan abad 19 (1850
M), dengan kedudukan desanya kalau sekarang ada di Tanahnya Man Wiat
(Kakeknya Saki), beberapa tahun kemudian pindah ke Tanahnya Man Jupri
(Bapaknya Majaji) dan pada Tahun 1923 pindah ke Balai Desa yang sekarang
digunakan, waktu itu Kuwunya Bapak Wasura Dipraja. Keadaan balai desa
Geyongan sekarang kondisi masih sangat baik cuman ada penambahan sedikit
yaitu pendopo dan jendela kaca.
ASAL USUL DESA GALAGAMBA
Pada
sekitar tahun 1400-an disebuah kaki Gunung Kromong. Ada sebuah hutan
belantara yang banyak dihuni oleh para dedemit dan berbagai binatang
yang buas seperti macan, celeng dan sebagainya.
Disuatu
tempat yang disebut Rajagaluh ada Kasatria bernama Kiwinata yang
mempunyai badan yang tegap dan penuh dengan sopan santun dan juga sangat
sakti. Ki Winata kemudian membangun sebuah gubug dan dijadikannya
sebagai tempat tinggal, tidak hanya itu beliau juga membuat balai dari
kayu jati yang sangat besar sekali untuk tempat menjamu tamu. Semakin
hari tempat tersebut menjadi sangat terkenal, kemudian semakin ramai.
Ramainya tempat tersebut akhirnya mengundang perhatian dan Raja
Pajajaran yang bernama Prabu Siliwangi. Akhirnya Raja Prabu Siliwangi
tersebut datan dengan rombongan untuk mengunjungi tempat tersebut.
Ketika tiba ditempat tersebut maka disambutlah sang raja.
Prabu
Siliwangi sangat terkagum dengan salah satu balai yang besar tersebut.
Prabu Siliwangi kemudian bertanya kepada Ki Winata apa nama pedukuhan
tersebut ? Maka dijawab oleh Ki Winata kalau pedukuhan tersebut belum
diberi nama. Maka kemudian Sang Prabu memberi nama pedukuhan tersebut
dengan nama “ GALAGAMBA ”. Gala artinya Balai sedangkan Amba adalah luas
jadi “ GALAGAMBA ” Artinya adalah Balai yang luas atau besar.
Selepas
kepergian sang prabu, Ki Winata meninggal dunia, yang kemudian
dikuburkan disuatu tempat yang bernama Raga Sawangan. Raga Sawangan
dulunya ketika masyarakat menebang jati maka keesokan harinya jati itu
tumbuh kembali. Maka Ki Winata merasa bertanggung jawab untuk
membersihkan masalah tersebut yang kemudian menghadap Sunan Jati Purba.
Maka
sang Sunan dan Ki Winata merencanakan untuk menebang pohon tersebut
dengan memulai berdoa. Maka dalam pandangan mata bathin beliau maka
dilihatnya ada raga yang bersandar dipohon tersebut. Maka setelah raga
tersebut diusir maka pohon tersebut dapat ditebang sehingga tempat
tersebut dikenal dengan “ RAGA SAWANGAN ”.
Tidak
hanya di Blok Ragasawangan, di Blok Dukumire ada yang disebut dengan
adanya Pustaka Lawang Gada yang banyak orang dapat memohon barokahnya.
Dan salah satu yang menjadi terkenal adalah di Blok Nagrog dengan adanya
Harimau Siliwangi Putih yang saat ini masih dipercaya dan masih terus
berkeliling sepanjang makam kompleks Masjid Al-Ikhlas yang pertama kali
dibangun oleh Almukaromah Kiai Marjuki sekitar tahun 1800-an. Sebagai
salah satu sesepuh para Kiai yang ada di Babakan dan Kempek. Yang
kemudian dipugar dengan bentuk modern oleh Kiai Tarmidi pada tahun
1930-an yang kala itu pada masa Jepang menjabat sebagai Kepala Kantor
Agama Wilayah Cirebon yang membawahi Kuningan, Majalengka dan Indramayu.
ASAL USUL DESA KALIWEDI
Ki
Surya angkasa adalah Putera dari istri selir Prabusiliwangi yang datang
merantau dari Garit (pajajaran) untuk mencari saudaranya Walang
sungusang (Ki Kuwu Sangkan) dan Nyimas Lara Santang sedang menuntut ilmu
di Cirebon ketika singgah di Astanya Pura, Ia mendapatkan ilmu aji
“Bandung Bandawoso” kemudian menuju kawasan hutan yang didalamnya
terdapat sebuah sungai yang penuh dengan pasir disebelah barat laut
untuk babat hutan dan dijadikan “KALIWEDI”. “Kali” artinya sebuah
sungai, “Wedi” dalam bahasa jawa pasir. Ia kemudian dikenal dengan nama
Ki GEDE kaliwedi.
Diisamping Gelar KI Gede Kaliwedi Ki Surya Angkasa banyak memiliki
gelar dan julukan, konon ia mempunyai sebutan hingga 101 nama seperti Ki
Tulus, Ki Jopak, Ki Agus, Ki Syeh mangku jati oleh karena ia saudara
paling tua. Ki Kuwu Sangken apabila mengadakan “Hajat Ngunjungan” selalu
lebih dahulu. Diawali dengan Astana Gunung Jati ketika dalam perjalanan
menunaikan ibadah Haji ke Mekah dengan menaiki “Mancung”. Ki Sureya
Angkasa mendapat serangan raksasa ombak selon dengan menggunakan “Bedama
Pusaka” (jimat). Tombak sigagak tutuskan tombak itu ke perut raksasa
hingga mati dan tombaknya tetap maenancap dipperut raksasa, sedangkan
warangkahnya (sarungnya) dapat dibawa pulang hingga sekarang.
Sebelum mati raksasa ombak selon itu sesambar akan membalas
dendamterhadap keturunan Ki Surya Ankasa yang menunaikan ibadah haji
melalui jalan laut dan melewati ombak selon, oleh karena itu orang-orang
Kaliwedi pantang menunuaikan ibadah haiji melewati dalan laut. Namun
sejak pemerintahan menggunakan angkutan jasa angkutan udara masyarakat
Kaliwedi banyak yang menunaikan ibadah haji. Setelah pertarungan yang
melelahkan itu Ki Surya menerusakan perjalanannya untuk menunaikan
ibadah haji di Mekah. Sekembalinya dari Mekah , Ia mendapatkan gelar
Syah Mangkujati setelah perjalanan ke Desa takut sempat melihat Putri
Heuleut uang sedang mandi dikolam tanpa sehelai benang pun yang terlihat
di tubuhnya. Melihat keadaan dedmikian timbullah dibirahi Ki Surya
Angkasa oleh karena itu Ia sorang sakti mandraguna nafsu birahinya dapat
direndam, namun akibat birahinya itu Putri takujt mejadi hamil
lama-kelamaan kandungan sang heuleut membesar hingga lahirnya seorang
anak laki-laki. Rasa malu pun menggeluti diri sang putri. Kini mempunyai
anak tidak berayah untuk menghilangkan rasa malu itu dengan penuh haru.
Anak yang baru dilahirkannya dibuang ke sungai Ciwaringin.
Disebuah Desa (sekarang di Desa Gegesik Kulon) sorang perempuan ketika
sedang menjadi ikan disungai Ciwaringin ini peempuan yang bernama Nyimas
Cupang itu tiba-tiba dikagetkan dengan benda terapung (kambang) yang
lewat dihadapandan semakin kaget setelah benda itu didalamnya berisi
seorang bayi laki-laki yang masih merah. Bayi merah yang kemudian diberi
nama Limbang artinya ditemukan di kali dan kambang itu dibawanya
ppulang dan dirawat sebaik-baiknya sebagai anugerah yang kuasa. Kini
telah cukup lama ia tinggal eorang diri setelah ditinggal oleh suaminya.
ASAL DESA GUWA, CIREBON
Ki
Baluran yang juga disebut Ki Arga Suta atau Syeh Madunjaya adalah salah
seorang putra Pangeran Gesang, demang dari kesultanan Cirebon. Dalam
pembagian tanah cakrahan milik orang tuannya yang terletak di sebelah
utara perbatasan wilayah Cirebon dan Indramayu, terjadi pertentangan
pendapat dengan ketiga saudaranya terutama dengan adiknya Nyi Mertasari.
Kedua saudara laki-laki termasuk dirinya berpendapat bahwa anak
perempuan cukup mendapat bagian tanah sebesar payung. Pendirian tersebut
ditentang Nyi Mertasari, karena menurutnya pembagian tanah harus sama
luas.
Untuk
menyelesaikan perselisihan tersebut, Ki Kutub (Sunan Gunung Jati)
mengurus Ki Panunggulan yang mengambil kebijakan dengan mengadakan
sayembara yang disetujui para putra Pangeran Gesang. “Barang siapa di
antara mereka dapat mendatangkan jenis-jenis hewan seisi hutan, maka
tanah cakrahan ayahnya menjadi miliknya.“Secara berturut-turut keempat
putra Pangeran Gesang itu mengeluarkan kesaktiannya mulai dari Ki
Jagabaya, Ki Sumerang, Ki Baluran, dan terakhir Nyi Mertasari.
Sebelum
dimulai adu kesaktian, Ki Baluran bersumpah tidak akan berperang dan
mengadu kesaktian dengan siapa pun, manakala tidak biasa menandingi
kesaktian Nyi Mertasari. Ki Baluran mengeluarkan kesaktian dengan
menancapkan tongkat di atas tanah, dan tongkat itu menjelma menjadi ular
yang bentuknya seperti kendang hingga dinamakan ular kendang. Nyi
Mertasari menunjukan tangannya ke kiri dank e kanan dan menyebutkan
jenis-jenis hewan seisi hutan, maka berdatanganlah hewan-hewan yang
disebutnya itu.
Sayembara akhirnya dimenangkan Nyi Mertasari, maka sesuai dengan bunyi sayembara seluruh tanah cakrahan menjadi milik Nyi Mertasari. Namun berkat musyawarah yang ditengahi Ki Warsiki dan atas restu ki Kutub, tanah cakrahan tersebut dibagi-bagi kepada putra-putri Ki Gesang, di nama yang menentukan letak dan luas pembagian tanah adalah Nyi Mertasari.
Sayembara akhirnya dimenangkan Nyi Mertasari, maka sesuai dengan bunyi sayembara seluruh tanah cakrahan menjadi milik Nyi Mertasari. Namun berkat musyawarah yang ditengahi Ki Warsiki dan atas restu ki Kutub, tanah cakrahan tersebut dibagi-bagi kepada putra-putri Ki Gesang, di nama yang menentukan letak dan luas pembagian tanah adalah Nyi Mertasari.
Ki
Baluran mendapat bagian tanah di sebelah barat. Mulailah Ki Baluran
membabad hutan dengan cara membakarnya, maka dengan sekejap hutan
menjadi lautan api, bahkan percikan apinya sampai ke tepi pantai wilayah
Indramayu, tepatnya di daerah Eretan, sehingga hutan di daerah itu
sebagian ikit terbakar. Lokasi tanah bekas pembakaran tersebut diakui
masyarakat termasuk tanah cakrahan Ki Baluran.
Ki
Baluran membangun pendukuhan dan hidup rukun damai beserta
masyarakatnya.Pada suatu waktu datanglah ke pedukuhannya segerombolan
perampok yang bermaksud menyatroni daerah itu. Oleh karena sumpahnya, Ki
Baluran tidak mau melayani para perampok, malahan menghindar pergi
beserta keluarganya di suatu tempat yang kelak disebut Desa Guwa, tanah
yang dilalui Ki Baluran beserta keluarganya tiba-tiba membelah (terbuka)
dan menutup / melindungi Ki Baluran beserta keluarganya, seperti
bersembunyi di dalam gua.
Keluar dari gua, Ki Baluran dikejar lagi namun terus menghindar kea rah utara hingga masuk wilayah Indramayu. Ia berteduh di bawah pohon asem, oleh karena itu tempat tersebut dinamakan Pondokasem.
Keluar dari gua, Ki Baluran dikejar lagi namun terus menghindar kea rah utara hingga masuk wilayah Indramayu. Ia berteduh di bawah pohon asem, oleh karena itu tempat tersebut dinamakan Pondokasem.
Gerombolan
pembegal masih penasaran ingin bertarung dengan Ki Baluran, namun Ki
Baluran tetap menghindari lalu bersama keluarganya pergi menuju barat
disana ia hidup rukun, damai dan sejahtera menemui ketenangan. Tempat
tersebut lalu dimakamkan Temuireng (ketemu pareng/menemukan sesuatu yang
di kehendaki).
Ketika
musim paceklik tiba, orang-orang yang akan pergi ke Pasar Darsen sering
melihat seorang tua yang tiada lain Ki Baluran berada di sebuah gubug
seperti sedang kelaparan. Oleh karena merasa iba, setiap pergi ke pasar
mereka memberikan jagung untuk makan, sehingga lama kelamaan daerah
tersebut terkenal dengan nama Tulungagung (di”tulung”dengan “jagung”).
Merasa tidak enak menjadi beban orang lain, Ki Baluran pergi menuju ke arah selatan wilaya Cirebon dan berhenti di pedukuhan Bunder. Ia mengolah sebidang tanah/sawah dan bercocok tanam, juga membuat sumur untuk sumber penghidupan. Setelah tinggal di Bunder, Ki Baluran terus memantau keadaan Guwa daerah asalnya, dengan mempergunakan tongkat yang menjelma menjadi ular kendang.
Merasa tidak enak menjadi beban orang lain, Ki Baluran pergi menuju ke arah selatan wilaya Cirebon dan berhenti di pedukuhan Bunder. Ia mengolah sebidang tanah/sawah dan bercocok tanam, juga membuat sumur untuk sumber penghidupan. Setelah tinggal di Bunder, Ki Baluran terus memantau keadaan Guwa daerah asalnya, dengan mempergunakan tongkat yang menjelma menjadi ular kendang.
Pada
zaman penjajahan Belanda, Desa Guwa pun tidak luput dari serangan
tentara Belanda dan sekutunya. Masyarakat Guwa seluruhnya melarikan diri
melewati sungai (kali) yang airnya sedang meluap banjir. Pada saat itu
ular kendang milik Ki Baluran menjelma menjadi WOT (jembatan) untuk
nambak air banjir. Tempat tersebut terkenal dengan sebutasan Tambakwot,
dan hingga sekarang meski air sungai meluap, airnya tidak pernah masuk
ke pekarangan penduduk.
Setelah
Desa Guwa kosong ditinggal penduduknya, Ki Gede Balerante mengutus
anaknya Ki Sumbang untuk menepati Guwa Keasaan itu membuat Ki Baluran
tetap tinggal di Desa Bunder, tidak kembali ke Desa Guwa. Menjelang
akhir hayatnya, Ki Baluran menetap di kaliwedi. Dengan demikian gingga
sekarang sebagaian keturunannya berada di Kaliwedi, sedangkan penduduk
Desa Guwa adalah keturunan Ki Sumbang. Desa Guwa dimekarkan pada tahun
1982 menjadi dua desa yakni Desa Guwa Kidul dan Desa Guwa Lor.
ASAL USUL DESA GINTUNG TENGAH
Ketika
sebagian besar daerah Cirebon masih tertutup hutan belantara, dan
ajaran Hindu masih dianut oleh sebagian penduduk Cirebon. Maka pada saat
itu pulalah Mbah Kuwu Cirebon dengan dibantu teman dan kerabatnya
bersemangat menyebarkan ajaran Islam. Sambil menyebarkan agama tak lupa
pula membabat hutan dan membuka pedukuhan-pedukuhan baru.
Tersebutlah
nama Kyai Ageng Buyut Membah, seseorang dari Negeri Iraq, yang datang
ke Indonesia karena diutus oleh ayahandanya untuk menyebarkan Agama
Islam dan memperbaiki akhlaq serta aqidah Bangsa Indonesia khususnya
didaerah Cirebon.
Kyai
Ageng Buyut Membah, diutus oleh ayahandanya tidak langsung datang ke
Tataran Cirebon, melainkan ke Pesantren Sunan Muria, dan ia berguru
disana. Dipesantren itu Kyai Ageng Buyut Membah berkenalan dan
bersahabat dengan keturunan Sunan Muria yang bernama Raden Jaka Pendil.
Dipesantren itulah Kyai Ageng Buyut Membah mendapat nama baru yaitu
Raden Suminta.
Teringat
akan pesan ayahandanya yaitu untuk menyebarkan Agama Islam dan untuk
memperbaiki akhlaq serta moral penduduk didaerah Cirebon yang porak
poranda karena pertentangan Agama Hindu Budha dengan Agama Islam yang
diajarkan oleh Mbah Kuwu Cirebon dan kawan-kawan. Kyai Ageng Buyut
Membah minta izin kepada gurunya untuk pergi kedaerah Cirebon.
Bersama
Raden Jaka Pendil, Kyai Ageng Buyut Membah berangkat kedaerah Cirebon.
Sebelum mereka berdua berangkat, Sunan Muria memberi pesan agar keduanya
dalam perjalanan, maupun sesampainya ditujuan agar tetap ngaji Sufi
(Pewalian) yang ada enam macam adalah sebagai berikut : Diam, Jangan
sombong, Jangan ugal-ugalan, Melindungi orang yang lemah, Memperbanyak
membaca Al-Qur’an, Jangan berbicara sembarangan, dan harus menirukan
tingkah laku Sunan Muria yang tidak pernah batal wudlu.
Dalam
perjalanan mereka bertemu dengan Raden Jaga Bodoh (Raden Suralaya) yang
juga sedang diutus oleh ayahandanya yaitu Sunan Gunung Jati untuk
membabat Alas Roban. Namun tempat pertemuan tersebut sekarang wallahu
a’lam atau hilang ditelan zaman. Kemudian mereka bersama-sama
melanjutkan perjalanan.
Pada
tahun 1545 M mereka mulai membabat hutan disebelah barat Cirebon. Pada
saat itu Raden Jaka Pendil sedang mengamalkan doa Kanzil ‘Arasy, dari
do’a tersebut menjelma sebuah pusaka kayu yang berwujud keris, kayu
tersebut bernama Kayu Karas (yang kemudian terkenal dengan sebutan ki
Arasy ). Didalam pusaka Kayu Karas tadi terdapat qodam berupa jin
muslimah dan berwujud seorang wanita. Wanita ini diberi nama Larasati (
kemudian terkanal dengan sebutan Nyi Arasy ).
Sementara
itu Kyai Ageng Buyut Membah (Raden Suminta) mempunyai pusaka Weling
Barong, wujudnya tongkat berkepala naga, yang qodamnya berisi macan
putih yang diberi nama si Bujang, Ular Buntung, juga memiliki agem-agem
merah delima, zamrud unjaman dan burung banjar petung yang qodamnya
berada di telaga midang di Desa Bringin dan juga mempunyai peliharaan
berupa macan Blewuk. Kyai Ageng Buyut Membah, Raden Jaka Pendil dan
Raden Jaga bodoh bersama-sama membabat hutan, kayu-kayu yang
bergelimpangan dan semak-semak kering dibakar hingga kobaran api
menjalar kemana-mana.
Sehabis
hutan di tebang mereka membenahi tempat baru tersebut, termasuk membuat
sumur Pendawa. Nama pendawa hanyalah sebagai kiasan belaka tidak ada
hubungan dengan pendawa lima. Kemudian orang-orang berdatangan ikut
menetap didaerah baru tersebut, termasuk Ki Buyut Ipah dan Ki Buyut
Rinten yang masih bersaudara dari Kyai Ageng Buyut Membah dan juga
datang ikut menetap tinggal didaerah yang baru itu.
Pedukuhan
terbentuk Kyai Ageng Buyut Membahlah yang jadi pemimpin, baik pemimpin
agama maupun pemerintahan. Malah semakin berkembang ajaran islam setelah
kedatangan Kyai Sembung (Kyai Somadullah) datang membantu.
Kyai
Sembung adalah seorang tamu Kyai Ageng Buyut Membah yang datang dari
desa Luga Lugina dari negara Syam (Syiria) untuk menyebarkan agama
islam. Karena pada saat itu keadaan akhlak dan moral masih terlantar.
Disebuah
tempat ada sebuah pohon rindang yang bunganya berbau harum, penduduk
pedukuhan baru tersebut banyak dan sering menggunakan bunga harum
tersebut untuk acara kendurian misalnya : acara pernikahan, khitanan,
nujuh bulan dan acara-acara lainnya .
Awal
terbentuknya pedukuhan baru tersebut, sampai sekarang dikenal dengan
sebutan Bentuk, dan pohon yang digunakan bunganya oleh masyarakat tadi
diberi nama POHON GINTUNG. Istilah Gintung dapat diartikan sebagai
berikut: Gi=girang(suka,riang-gembira), In=Ingsun(saya), Tung=tungkul
(betah kerasan), jadi Gintung artinya Girang Ingsun Tungkul (saya senang
dan betah di daerah baru ) dan dari nama pohon inilah diabadikan
menjadi nama DESA GINTUNG, yaitu pada tahun 1554 M.
Selanjutnya
dibentuklah sebuah tempat pemerintahan baru yang berada ditengah-tengah
dari pedukuhan tersebut, diberi nama dusun atau DESA GINTUNG TENGAH.
Dengan Kyai Ageng Buyut Membah sebagai pemimpin/kuwu, dan sampai
sekarang ada daerah yang masih menggunakan istilah membah adalah membah
lor dan membah kidul yaitu daerah desa yang dijadikan tanah desa
(bengkok dan titisarah).
Setelah
pedukuhan baru terbentuk, pola-pola kehidupan ditata dan penyebaran
agama islampun berkembang. Kyai Sembung, Raden Jaka Pendil dan Raden
Jaga Bodoh tidak menetap di desa Gintung Tengah melainkan kembali
kedaerah asalnya Negara Syiria. Salah satu kenangan untuk diingat anak
cucu Gintung Tengah adalah Kyai Sembung dapat menahan petir agar warga
Gintung Tengah terhindar dari serangan petir.
Dalam
perkembangannya, Pohon Gintung tersebut bunganya semakin banyak yang
membutuhkan oleh karena itu Kyai Ageng Buyut Membah menanam pohon
gintung disebelah kidul (Cikal bakal desa Gintung Kidul ), dan disebelah
lor (Cikal bakal desa Gintung Lor). Agar penduduk merasa lebih dekat
untuk mengambil bunga pohon gintung tersebut.
Semakin
lama pedukuhan Gintung Tengah penduduknya makin bertambah dan
wilayahnya dibagi menjadi beberapa blok yaitu : Blok Bentuk yang
meliputi pendawa, Blok Pesantren, Blok Desa, Blok Sumur bata
Adapun
tanah-tanah yang berada diluar Desa Gintung tengah seperti tapak bima
yang berada di Desa Gintung Kidul, blok sepat (putat) yang berada di
Dukumire Desa Galagamba, tanah Silado di Desa Bakung, adalah tanah-tanah
yang diperoleh dari babat hutan disaat istirahat sambil memandang hasil
babat hutan-hutan tadi.
Sampai
sekarang masih ada tempat-tempat yang dianggap sakral / kramat oleh
desa Gintung Tengah adalah sumur pendawa dan sumur bata. Keduanya adalah
tempat yang katiban gaman / pusaka keris Kyai Ageng Buyut Membah kedua
tempat tersebut dapat membuat siapa saja yang berada dekat dengan sumur
tersebut akan merasa tenang, betah dan nyaman.
Apabila
keturunanku (warga Gintung Tengah) memiliki masalah lahir dan batin
Kyai Ageng Buyut Membah menganjurkan untuk mengamalkan do’a Kanjil Arays
kemudian mandi diantara dua sumur tersebut dan apabila ingin mempunyai
kelebihan lain(ekonomi dan lainnya) dianjurkan untuk keluar/merantau
dari Desa Gintung Tengah ini,karena tidak semua kebutuhan hidup tidak
semua ada disini.
Sedangkan
sumur Kroya dan sumur buk hanya merupakan kias atau lambang yang
berpungsi untuk peristirahatan para petani sambil berdiskusi tentang
pertanian dan lainnya.
Kyai
Ageng Buyut Membah mempunyai seorang istri dari keturunan Kerajaan
Galuh Pakuan dan dikaruniai beberapa orang anak (yang keberadaanya tidak
boleh diceritakan). Karena usianya Kyai Ageng Buyut Membah tidak sempat
mempunyai seorang murid. Pada hari rabu tanggal 12 Rajab 1154 H / 1725 M
Beliau wafat dan dimakamkan di Blok Pendawa,sehingga pemerintahan desa
diturunkan kepada orang lain.
Sejalan
dengan perkembangan pedukuhan Gintung Tengah dan sepeninggalanya para
penerus dan pengganti Kyai Ageng Buyut Membah, Desa Gintung Tengah
pernah dipimpin oleh Kuwu Giwang, karena kuwu Giwang tidak bisa
mendengar/budeg, maka terkenal dengan sebutan Kuwu budeg, sehingga
tanah-tanah yang berada diluar Desa Gintung Tengah diminta oleh
masing-masing pemerintah desa setempat.
ASAL USUL DESA BRINGIN
Desa
Bringin adalah salah satu desa dalam wilayah kecamatan Ciwaringin,
kabupaten daerah tingka II Cirebon Luas wilayah desa Bringin 226,478 Ha.
Dengan mata pencaharian penduduk mayoritas petani, dan beragama islam.
Konon,
setelah perang kedongdong berakhir, 40 orang Ki Gede yang ikut
berperang akan kembali ke tempat asal masing-masing. Dalam perjalanan
pulang mereka beristirahat. Mereka bernaung di bawah pohon bringin yang
rindang, dan karena kelelahan mereka tertidur dengan lelapnya. Ketika
mereka bangun, ada aura tanpa ujud yang mengatakan bahwa orang yang
datang ke tempat itu disebut KI Gede Bringin. Orang yang pertama datang
adalah Ki Gede Srangin di kenal dengan sebutan Ki Gede Bringin.
Setelah
bangun dari tempat tidur itu, ke empat puluh Ki Gede merasa haus dan
ingin minum. Mereka akan mencari air untuk minum namun di cegah oleh Ki
Gede Srangin, kemudian ki Gede Serangin menancapkan golok jimatnya yang
bernama bandawasa ke tanah. Dari tancapan golok bandawasa, tanah itu
keluar air. Mereka minum untuk menghilangkan dahaganya. Tempat keluar
air itu akhirnya menjadi sebuah sumur yang disebut “sumur kedokan wungu”
· Kedokan artinya telaga
· Wungu artinya bangunan (tangi – Bhs. Jawa), yaitu para Ki Gede bangun dari tidurnya.
Sumur
kedokan wungu terletak di sebelah utara desa bringin yang sekarang, ±
100 meter, di dalam sumur tersebut dulunya terdapat belut putih, ikan
gabus pitak, ikan lele yang hanya ada kepalanya dan duri serta ekornya
saja (tanpa ada dagingnya), dan kadang-kadang muncul bulus putih yang
katanya bulus itu berasal dari Telaga Remis Cikarang,
Ke
empat puluh Ki Gede, yaitu Ki Gede Srangin beserta kawan-kawannya pergi
ke Kedongdong untuk membuat batas tanah. Batas tanah tersebut akhirnya
disebut Rajeg Kedongdong, yang sekarang membatasi wilayah Kabupaten
Cirebon, Kabupaten Majalengka, dan Kabupaten Indramayu.
Setelah
itu Ki Gede Bringin mengubur jimatnya yang bernama golok Bandawasa di
Kedongdong, tempat tersebut sekarang disebut Ki Buyut Bandawasa.
Kemudian ki Gede Srangin kembali ke tempat Sumur Kedokan Wungu dan
disana membangun padukuhan. Padukuhan itu sekarang adalah Desa Bringin.
ASAL USUL DESA SUSUKAN
Asal
mula Desa Susukan itu adalah di blok Reca yang sekarang tanahnya sudah
menjadi pesawahan. Karena mengikuti jejak Ki Gersik yang pada waktu itu
menjadi guru agama Islam maka berpindah tempat disuatu blok yaitu blok
Wana Iman yang sekarang disebut blok Pamijen.
Adapun
Ki Gresik nama aslinya ialah Kiyai Hasan Madari dan dapat julukan dari
Cirebon yaitu PANGERAN SELINGSINGAN (asal dari Gresik Surabaya) dan
jejaknya dikuburkan dipekuburan Wana Iman.
Adapun
kata Susukan terjadi pada waktu Ki Gresik membuat perkampungan Pamijen
dari hutan Iman mengatur/menggali bikin saluran air gempol yang mengalir
dari blok Girang.
Adapun
yang pertama kali membuka tanah adalah seorang perempuan yang bernama
Ny. Tosa dengan cara membakar hutan dimulai dari blok Pamijen dengan
pertolongan seorang Punakawan yang bernama Ki Angger Esa sehingga
menjalarnya api itu meluas sampai ke selatan yaitu di desa Nunuk yang
merupakan bagian daerah Majalengka (sekarang desa Garawangi).
Menurut
kisah orang tua dulu, pekuburan Nyi Tosa itu ada di daerah Garawangi
adapun yang di daerah Susukan hanya selendangnya saja.
Pada
waktu itu terjadi peperangan dengan Ratu Galuh, pahlawanya bernama Pati
Sumijang sehingga ratu Galuh terdesak kalah, putri dan anak ratunya
dapat ditahan dan di bawa ke Cirebon.
Tahanan
di angkut ke Cirebon oleh Ki Pati Suro dan tempat sekarang itu bernama
desa Tegalgubug, di buat kemah untuk istirahat sehingga diadakan
hubungan perkawinan tidak resmi antara putri Galuh dengan Ki Pati Suro
karena maklum antara laki-laki dan perempuan. Ahirnya melapor ke Cirebon
bahwa tahanan itu tidak pantas untuk di jadikan selir, melainkan supaya
dianggap sebagai tawanan yang tidak berfaedah.
Maka
oleh karena itu Ki Pati Sumijang mendengar peristiwa tersebut kemudia
melapor ke Cirebon bahwa Ki Pati Suro berbohong dan ketika itu juga
mendapat julukan Ki Pati Rusuh.
Kemudian
diadakan perang tanding antara Ki Pati Sumijang dengan Ki Pati Suro
bertempat di saluran air perbatasan antara desa Susukan dengan desa
Tegalgubug, sehingga terjadi perkelahian yang maha dasyat.
Pada
waktu itu Ki Pati Sumijang dapat menguasai peperangan tersebut sehingga
Ki Pati Suro dapat terpukul mundur dan lari terpontang panting sampai
kakinya terinjak binatang kiong sehingga tumitnya bengkak.
Nah….. jadu untuk tanda atau ciri-ciri yang husus, bahwa orang Tegalgubug yang asli itu pasti tumitnya besar.
Nah….. jadu untuk tanda atau ciri-ciri yang husus, bahwa orang Tegalgubug yang asli itu pasti tumitnya besar.
Adapun
kramat Ki Gresik setelah wafat, terjadi dimana waktu perang berandal di
desa Kedongdong yang diketuai oleh Ki Bagus serit melawan kompeni
tentara Belanda, ketika ada orang Susukan yang bernama Ki Remang yang
mengetahui keadaan di Kedongdong yang terjebak bertemu dengan Tuan Jonas
lantas terkena pukulan dibagian kepalanya. Oleh karena itu Ki Remang
lari pulang dan masuk ke pemakaman Ki Gresik sambil menahan rasa
sakitnya, tetapi apa hendak dikata oleh karena sakitnya itu agak berat
maka Ki Remang tersebut tak tahan lagi menahanya dan ahirnya ia
meninggal juga di pemakaman Ki Gresik.
Tuan
Jonas tidak sanggup meneruskan pencegatan di sebabkan karena takut
melihat ular besar di pemakaman Ki Gresik, sehingga Tuan Jonas kembali
lagi ke tempat asalnya.
ASAL USUL DESA TEGAL GUBUG
Setelah
perang antara Kerajaan Telaga (kerajaan cikijing,majalengka) dan
Kerajaan Galuh (kerajaan Jatiwangi,majalengka) melawan kesultanan
Cirebon, kerajaan Telaga dan Galuh dapat ditaklukan, akhirnya masyarakat
Telaga memeluk Islam
Kemudian
Sunan Gunung Jati dalam penyiaran Agama Islam di Negeri Talaga dan
Galuh mengutus beberapa orang Gegeden yang memiliki banyak ilmu dan
kesaktian tingggi, untuk memberikan pengawasan terhadap tanah taklukan
kesultanan Cirebon, kerana masih ada pepatih yang masih belum memeluk
Agama Islam. Diantara Gegede yang diutus itu adalah Syaikh Suropati / Ki
Suro. Seorang Gegede yang terkenal sakti mandraguna yang berasal dari
Negeri Arab (sumber lain mengatakan dari Mesir dan Baghdad). Yang nama
aslinya yaitu Syaikh Muhyiddin Waliyullah / Syaikh Abdurrahman, yang
sudah dua tahun tinggal di keraton Cirebon, sabagai santi (murid) Sunan
Gunung Jati, lalu setelah dianggap cukup ilmunya oleh Sunan Gunung Jati
beliau diutus untuk membantu menyebarkan Ajaran Islam keseluruh pelosok
penduduk Jawa Barat, dalam perjalanan penyebaran Ajaran Islam banyak
mendapat tanggapan baik dari rakyat, namun tak jarang pula rintangan
yang dihadapinya, beliau harus bertanding melawan penggedean pedukuhan
tersebut. Namun berkat kesaktian ilmuny ayng mandraguna mereka dapat
ditaklukan dan mereka mau memeluk Agama Islam.
Lalu
atas jasa dan ilmu kesaktianya, Syaikh Muhyiddin diangkat oleh Sunan
Gunung Jati menjadi pepatih unggulan / panglima tinggi (pengawal Sunan)
dinegeri Cirebon dengan gelar Ki Gede Suropati. Setelah pemberian gelar
tersebut Kanjeng Sunan memerintahkan Ki Suro bertandak ke pondok Ki
Pancawal (seorng pembesar kerajaan talaga) untuk membawakan kitab suci
Al-quran yang berjumlah banyak diperuntukan sebagai pedoman di Negeri
Talaga dan Galuh. Namun ditengah jalan perjalanan menuju negeri Talaga
Ki Suro menemui adegan sayembara merebutkan seorang putrid cantik,
barang siapa yang mampu mengalahkan Ki Wadaksi (pembesar kerajaan
talaga) akan dijodohkan / dikawinkan dengan putrinya yang bernama Nyi
Mas Wedara, lalu Ki Suro ikut dalam sayembara tersebut Ki Suro hanya
ingin mengetahui ilmu yang dimiliki oleh Ki Wadaksi, akhir Ki Suro dapat
mengalahkan Ki Wadaksi dan kemudian memeluk Agama Islam bersama-sama
muridnya. Tapi Ki Suro tidak menikahi Nyi Mas Wedara, namun Putri Ki
Wadaksi tersebut malah diserahkan kepada Raden Palayasa yang sebelunnya
mereka saling mencintai.
Kemudian
Ki Suro dibawa oleh Ki Pancawala di pondoknya, dan dijamunya dengan
jamuan istimewa sambil menyerakan kitab suci Al-quran. Dengan senang
hati Ki Pancawala didatangi Ki Suro, namun dalam jamuan itu Ki Suro
terpesona melihat putri Ki Pancawala yang bernama Nyi Mas Ratu Antra
Wulan, dalam hati Ki Suro punya keninginan untuk menjadikannya
pendamping hidupnya. Namun sebelum Ki Suro mengatakan keinginannya untuk
meminang Nyi Mas Ratu Antra Wulan, Ki Pancawala sudah mengatakan bahwa
putrinya akan diserahkan kepada Sunan Gunung Jati yang diharapkan
menjadi Istrinya, dan Ki Suro bersedia untuk mengatarkanya ke keraton
Cirebon.
Dalam
perjalanan menuju keraton Cirebon, sangatlah panjang dari masuk dan
keluar hutan sampai naik dan turun gunung. Dalam suatu perjalanan mereka
mendapati sebuah Gubug kecil ditengah-tengah hutan belantara, Ki Suro
meminta beristiharat sebentar untuk menghilangkan rasa letihnya. Setelah
itu mereka melanjutkan perlajalanannya menuju keraton Cirebon, namun
sebelum Ki Suro menlajutkan perjalanan tiba-tiba dikejutkan dengan
kedatngan Nyi Mas Rara Anten, yang meminta Nyi Mas Ratu Antra Wulan
untuk dijodohkan dengan putranya. Kemudian terjadilah perang tanding
yang seru pada akhirnya Nyi Mas Ratu Anten dapat dikalahkan.
Perjalanan
dilanjutkan kembali, setelah sampainya di keraton Cirebon, Ki Suro
menyerahkan Nyi Mas Ratu Antra Wulan dan menyampaikan amanat Ki
Pancawala kepada Sunun Gunung Jati. Namun amanat Ki Pancawal yang
menginginkan anaknya menikah dengan Sunan Gunung Jati tidak diterima
dengan cara halus, karena Sunan Gunung Jati sesungguhnya telah
mengetahui bahwa Ki Suro menyukai Nyi Mas Ratu Antra Wulan. Karena itu
Sunan Gunung Jati memerintahkan Ki Suro menikahi Nyi Mas Rtau Antra
Wulan.
Setelah
Ki Suro dan Nyi Mas Ratu Antra Wulan menjadi suami istri, mereka
membangun pedukuhan / perkampungan disebuah tegalan ditengah-tengah
hutan yang dahulu terdapat sebuah gubug kecil yang mereka pernah
singgahi sewaktu perjalanan dari kerajaan Talaga menuju keraton Cirebon.
Pedukuhan
itu atas izin dan restu dari Sunan Gunung Jati, dan diberi nama “Tegal
Gubug” yang mana nama tersebut terdiri dari dua suku kata yaitu :
· Tegal artinya : Tanah yang dicangkul untuk ditanami
· Gubug artinya : Rumah kecil yang terbuat dari bambu dan atapnya dari daun tebu
· Tegal
gubug : Sebuah rumah kecil yang sangat sederhana terbuat dari bamboo,
yang sekitarnya terdapat tegalan (galengan) yang siap ditanami.
Peristiwa
terbentuknya nama Tegal Gubug ini terjadi sekitar 1489 M. [ Sekitar
akhir abad ke 15 ] pada saat kesultanan Cirebon dipimpin oleh kanjeng
Syaikh Syarif Hidayatullah (Sunan Gunung Jati) Cirebon. Yang merupakan
salah satu Wali dari Walisongo, yang dituahkan ilmunya oleh
Rekan-rekannya.
Setelah
terbentuk sebuah nama pedukuhan / perkampungan Tegal Gubug, kemudian Ki
Suro melanjutkan misinya untuk terus menyebarkan Ajaran Islam. Terbukti
dengan pesatnya Agama Islam disekitar Masyaratnya, yang ketika itu
masih mempercayai (menganut, menyembah) Agama Nenek moyangnya yaitu :
Animisme (aliran/kepercayaan terhadap benda) dan Dinamisme
(aliran/kepercayaan terhadap Roh) dan Hindu, Budha.
Di
jaman kapungkur, sapanjang walungan Ciwaringin masih mirupa leuweung.
Dina hiji dinten dongkap dua jalmi sinatria di tanah wetan, anu namina
Tubagus Ismail Sakar Kedaton sareng Tubagus H. Duliman, kadua sinatria
eta teh katurunan kasultanan Cirebon di subang Khairudin.
Maksud tujuan kadua sinatria eta dongkap ti leuweung gongong si magongong eta kangge nebihkeun tekanan-tekanan pamarentahan Belanda nu waktos eta ka sultanan di cepeng ku Sultan Matangaji, teras kadua sinatria eta ngabukbak tatangklan di sapanjang walungan Ciwaringin sareng ngedamel sasaungan kangge tempat netep.
Tempat nyumput maranehannana enteu pernah di kayahakeun ku Belanda, teras dararongkak jalmi-jalmiti tempat-tempat nu sanes ka tempat maranehannana. Saterasna tempat eta mungkin loba nungieusianana teras desa eta di pasihan nami “Desa Ciwaringin” sakertos name walungan nu aya didinya.
Disebab Ciwaringin kusabab di tungtung walungan aya hiji tanggul Cairingin anu ageng, luhur sareng iyuh. Dina waktos ayeuna Tubagus Ismail sareng Tubagus H. Duriman naluaran tatangkalan di leuweung Ciwaringin, didinya aya tembok tebeng anu sampe ayeuna masih aya tilas-tilasna.
ASAL USUL CIWARINGIN
Maksud tujuan kadua sinatria eta dongkap ti leuweung gongong si magongong eta kangge nebihkeun tekanan-tekanan pamarentahan Belanda nu waktos eta ka sultanan di cepeng ku Sultan Matangaji, teras kadua sinatria eta ngabukbak tatangklan di sapanjang walungan Ciwaringin sareng ngedamel sasaungan kangge tempat netep.
Tempat nyumput maranehannana enteu pernah di kayahakeun ku Belanda, teras dararongkak jalmi-jalmiti tempat-tempat nu sanes ka tempat maranehannana. Saterasna tempat eta mungkin loba nungieusianana teras desa eta di pasihan nami “Desa Ciwaringin” sakertos name walungan nu aya didinya.
Disebab Ciwaringin kusabab di tungtung walungan aya hiji tanggul Cairingin anu ageng, luhur sareng iyuh. Dina waktos ayeuna Tubagus Ismail sareng Tubagus H. Duriman naluaran tatangkalan di leuweung Ciwaringin, didinya aya tembok tebeng anu sampe ayeuna masih aya tilas-tilasna.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
stroom09@gmail.com