|
||
Pada abad ke XV M. bumi nusantara
ini di bawah naungan kerajaan Majapahit, dan seluruh masyarakatnya
masih memeluk agama Hindu atau Budha. Begitu juga daerah Wengker selatan
atau di sebut juga Pesisir selatan ( Pacitan ) yang pada waktu itu
daerah tersebut masih di kuasai seorang sakti beragama Hindu yang
bernama Ki Ageng Buwana Keling, yang di kenal sebagai cikal bakal daerah
Pacitan.
Menurut silsilah, asal usul KI Ageng Buwana
Keling adalah putra Pejajaran yang di kawinkan dengan salah satu putri
Brawijaya V yang bernama putri Togati. setelah menjadi menantu Majapahit
maka KI Ageng Buwana Keling mendapat hadiah tanah di pesisir selatan
dan di haruskan tunduk di bawah kekuasaan Majapahit. KI Ageng Buwana
Keling berputra tunggal bernama Raden Purbengkoro yang setelah tua
bernama KI Ageng Bana Keling. Kegoncangan masyarakat KI Ageng Buwana
Keling di Pesisir selatan terjadi setelah datangnya Muballigh Islam dari
kerajaan Demak Bintara, yang di pimpin oleh KI Ageng Petung ( R. Jaka
Deleg / Kyai Geseng ), KI Ageng Posong ( R. Jaka Puring Mas / KI Ampok
Boyo ) dan sahabat mereka Syekh Maulana Maghribi. Yang meminta KI Ageng
Buwana Keling beserta semua rakyat di wengker selatan untuk mengikuti
atau memeluk ajaran Islam.
Namun setelah KI Ageng Buwana Keling menolak
dengan keras dan tetap tidak menganut agama baru yaitu agama Islam, maka
tanpa dapat dikendalikan lagi terjadilah peperangan antara kedua belah
pihak. Peperangan antara penganut agama Hindu yang dipimpin oleh Ki
Ageng Buwana Keling dengan penganut agama Islam yang dipimpin oleh Ki
Ageng Petung, Ki Ageng Posong dan Syeikh Maulana Maghribi memakan waktu
yang cukup lama , karena kedua belah pihak, memang terdiri dari
orang-orang sakti. Namun akhirnya dengan keuletan dan kepandaian serta
kesaktian para muballigh tersebut peperangan itu dapat dimenangkan Ki
Ageng Petung dan pengikut-pengikutnya setelah dibantu oleh prajurit dari
Adipati Ponorogo yang pada waktu itu bernama Raden Betoro Katong (
Putra Brawijaya V ).
Dari saat itulah maka daerah Wengker selatan
atau Pacitan dapat dikuasai oleh Ki Ageng Petung, Ki Ageng Posong dan
Syeikh Maulana Maghribi, sehingga dengan mudah dapat menyiarkan agama
Islam secara menyeluruh kepada rakyat hingga wafatnya, dan dimakamkan di
daerah Pacitan.
Demikianlah dari tahun ke tahun sampai Bupati
Jagakarya I berkuasa ( tahun 1826 ), perkembangan agama Islam di Pacitan
maju dengan pesatnya, bahkan tiga tahun kemudian putra dari Demang
Semanten yang bernama Bagus Darso kembali dari perantauannya mencari dan
mendalami ilmu agama Islam di pondok pesantren Tegalsari Ponorogo di
bawah asuhan Kyai Hasan Besari. Sekembalinya beliau dari pondok tersebut
di bawah bimbingan ayahnya R. Ngabehi Dipomenggolo mulai mendirikan
pondok di desa Semanten ( 2 Km arah utara kota Pacitan ). setelah kurang
lebih satu tahun kemudian pindah ke daerah Tremas, maka dari saat
itulah mulai berdiri Pondok Tremas.
Sebagaimana yang kita ketahui, bahwa KH. Abdul
Manan pada masa kecilnya bernama Bagus Darso. Sejak kecil beliau sudah
terkenal cerdas dan sangat tertarik terhadap masalah-masalah keagamaan.
Dalam masa remajanya beliau dikirim oleh ayahnya ke Pondok Pesantren
Tegalsari Ponorogo untuk mempelajari dan memperdalam pengetahua agama
Islam di bawah bimbingan Kyai Hasan Besari. Selama disana Bagus Darso
selalu belajar dengan rajin dan tekun. Karena ketekunannya, kerajinannya
serta kecerdasan yang dibawanya semenjak kecil itulah maka kepandaian
Bagus Darso didalam menguasai dan memahami ilmu yang dipelajarinya
melebihi kawan-kawan sebayanya, sehingga tersebutlah sampai sekarang
kisah-kisah tentang kelebihan beliau. Diantara kisah tersebut adalah
sebagai berikut :
Pada suatu malam yang dingin dimana waktu itu
para santri Pondok Tegalsari sedang tidur pulas, sebagaimana biasasnya
Kyai Hasasn Besari keluar untuk sekedar menjengu anak-anak didiknya yang
sedang tidur di asrama maupun di serambi masjid. Pada waktu beliau
memeriksa serambi masjid yang penuh ditiduri oleh para santri itu,
tiba-tiba pandangan Kyai tertumbuk pada suatu pemandangan aneh berupa
cahaya yang bersinar, dalam hati beliau bertanya, apakah gerangan cahaya
aneh itu. Kalau cahaya kunang tentu tidak demikian, apalagi cahaya api
tentu tidak mungkin, sebab cahaya ini mempunyai kelainan. kemudian
dengan hati-hati, agar tidak sampai para santri yang sedang tidur, Kyai
mendekati cahaya aneh itu. Makin dekat dengan cahaya aneh tersebut
keheranan Kyai bertambah, sebab cahaya itu semakin menunjukkan
tanda-tanda yang aneh. Dan kemudian apa yang disaksikan Kyai adalah
suatu pemandangan yang sungguh luar biasa, ssebab cahaya itu keluar dari
ubun-ubun salah satu santrinya. Kemudian diperiksanya siapakah
sesungguhnya santri yang mendapat anugerah itu.Tetapi kegelapan malam
dan pandangan mata yang sudah kabur terbawa usia lanjut menyebabkan
usaha beliau gagal. Namun Kyai Hasan Ali tidak kehilangan akal, dengan
hati-hati sekali ujung ikat kepala santri itu diikat sebagai tanda untuk
mengetahui besok pagi kalau hari sudah mulai terang. Esoknya sehabis
sembahyang Subuh, para santri yang tidur di serambi masjid disuruh
menghadap beliau. Setelah mereka menghadap, dipandangnya satu demi satu
santri tersebut dengan tidak lupa memperhatikan ikat kepala
masing-masing. Disinilah beliau mengetahui bahwa sinar aneh yang semalam
keluar dari ubun-ubun salah satu santri nya berasal dari salah satu
santri muda pantai selatan ( Pacitan ) yang tidak lain adalah Bagus
Darso. Dan semenjak itu perhatian Kyai Hasan Ali dalam mendidik Bagus
Darso semakin bertambah, sebab beliau merasa mendapat amanat untuk
mendidik seorang anak yang kelak kemudian hari akan menjadi pemuka dan
pemimpin umat.
Demikianlah salah satu kisah KH. Abdul Manan
pada waktu mudanya di Pondok Tegalsari dalam cerita. Dan setelah Bagus
Darso dianggap cukup ilmuyang diperolehnya di Pondok Pesantren
Tegalsari, beliau kembali pulang ke Semanten. Di desa inilah beliau
kemudian menyelenggarakan pengajian yang sudah barang tentu bermula
dengan sangat sederhana. Dankarena semenjak di Pondok Tegalsari beliau
sudah terkenal sebagai seorang santri yang tinggi ilmunya, maka
banyaklah orang Pacitan yang mengaji pada beliau. Dari sinilah kemudian
di sekitar masjid didirikan pondok untuk para santri yang datang dari
jauh. Namun beberapa waktu kemudian pondok tersebut pindah ke daerah
Tremas setelah oleh ayahnya beliau dikawinkan dengan Putri Demang Tremas
R. Ngabehi Hongggowijoyo. Sedang R. Ngabehi Honggowijoyo itu sendiri
adalah kakak kandung R. Ngabehi Dipomenggolo.
Diantara faktor yang menjadi penyebab
perpindahan Kyai Abdul Manan dari daerah Semanten ke desa Tremas, yang
paling pokok adalah pertimbangan kekeluargaan yang dianggap lebih baik
beliu pindah ke daerah Tremas. Pertimbangan tersebut antara adalah,
karena mertua dan istri beliau menyediakan daerah yang jauh dari
keramaian atau pusat pemerintahan, sehingga merupakan daerah yang sangat
cocok bagi para santri yang ingin belajar dan memperdalam ilmu agama.
Berdasarkan pertimbangan itulah maka beliau
kemudian memutuskan pindah dari Semanten ke daerah Tremas, dan
mendirikan pondok pesantren yang kemudian disebut “ Pondok Tremas “.
Demikianlah sedikit sejarah berdirinya Pondok Tremas yang dipelopori
oleh beliau KH. Abdul Manan pada tahun 1830 M
|
koleksi ilmu hikmah, kisahsufi,tasawuf,fengshui,maulid,desain grafis,batu akik,batu obsidian, paypal pay,za,pendanaan,RENTAL MOBIL proyek,investor,funder,kredit kpr,pinjaman multi guna ,pialang,wali amanat,SEWA MOBIL CIREBONtaxi online cirebondan lain-lain
koleksi ilmu-ilmu hikmah,kisah 2 tokoh sufi.teknologi tips n trik dll
Sabtu, Mei 18, 2013
kisah hasan besari
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
stroom09@gmail.com