Masjid Sunan Kalijaga ini berdiri di tengah-tengah masyarakat santri.
Beberapa meter di sebelah timur Kompleks Makam Sunan Kalijaga dan
keluarganya, di Kadilangu, Demak. Di situ terdapat madrasah dinniyah dan
TPA.
Sejauh ini, tidak diperoleh data akurat kapan persisnya
masjid kuno ini dibangun untuk pertama kali. Namun, berdasarkan cerita
mulut ke mulut, masjid itu dibangun Sunan Kalijaga pada suatu malam dan
selesai malam itu juga, sebelum dilaksanakan shalat Subuh berjamaah pada
tahun 1479 M. Wallahu ’alam.
Yang jelas, menurut prasasti yang
tersimpan di sana, masjid itu mengalami renovasi pertama kali pada 1564 M
oleh Pangeran Wijil. Namun, tidak pula terlacak Pangeran Wijil keberapa
di antara lima Pangeran Wijil yang tercatat dalam sejarah....
Sunan
Kalijaga hidup di zaman Kerajaan Islam Demak (sekitar abad ke-15).
Semasa kecil, ia bernama Raden Said. Menurut hikayat, ia juga memiliki
sejumlah nama penggilan, seperti Lokajaya, Syekh Malaya, Pangeran Tuban,
atau Raden Abdurrahman. Menurut beberapa kalangan, dialah wali yang,
karena memperoleh banyak julukan itu, namanya paling banyak disebut di
kalangan masyarakat Jawa. Namun demikian, ia lebih dikenal dengan
sebutan Kalijaga.
Memang terdapat beragam versi yang menyangkut
asal-usul nama Kalijaga yang disandangnya. Berbagai sumber menyebutnya
bahwa Sunan Kalijaga lahir sekitar tahun 1450 M. Kebanyakan masyarakat
Cirebon berpendapat, nama “Kalijaga” berasal dari Dusun Kalijaga di
Cirebon. Sunan Kalijaga memang pernah tinggal di Cirebon dan bersahabat
erat dengan Sunan Gunung Jati. Tapi kalangan masyarakat Jawa mengaitkan
asal-usul namanya dengan kegemaran wali ini berendam (kungkum) di sungai
(kali) atau “jaga kali”.
Pendapat lain menyebutkan, nama itu
tidak diambil secara asal-asalan saja. Dipercaya, istilah itu berasal
dari kata “qadli dzaqa”, yang menunjuk statusnya sebagai “penghulu suci”
kesultanan. Qadli, artinya pelaksana, penghulu; sedangkan dzaqa,
artinya membersihkan. Jadi qodli dzaqa, atau yang kemudian, menurut
lidah dan ejaan kita sekarang berubah menjadi Kalijaga, artinya ialah
pelaksana atau pemimpin yang menegakkan kebersihan atau kesucian dan
kebenaran agama Islam.
Ayahnya adalah Arya Wilatikta, adipati
Tuban, keturunan tokoh pemberontak Majapahit, Ranggalawe. Pada masa itu,
Arya Wilatikta, yang leluhurnya beragama Hindu, diperkirakan telah
memeluk Islam. Dalam riwayat dikatakan, Sunan Kalijaga menikah dengan
Dewi Saroh binti Maulana Ishak. Beliau dikaruniai tiga orang anak: R.
Umar Said (Sunan Muria), Dewi Rakayuh, dan Dewi Sofiah. -
Ketimpangan Sosial
Alkisah,
Sunan Kalijaga sebenarnya mengenal ajaran Islam sejak kecil. Ia belajar
dari seorang guru agama asal Kadipaten Tuban. Dari
pelajaran-pelajarannya inilah, dia mulai melihat dan merasakan beragam
kontradiksi kehidupan. Misalnya, ia menyadari bagaimana dirinya selama
ini hidup berkecukupan di lingkungan keraton, sementara di sekitarnya
kehidupan rakyat justru perih dan serba kekurangan.
Tak tahan
melihat kondisi itu, Raden Said memberanikan diri bertanya kepada
ayahnya mengenai hal-ihwal ketimpangan sosial tersebut. Sang ayah
menjawab bahwa semua merupakan kenyataan hidup. Dan itu wajar, terutama
saat Kerajaan Majapahit membutuhkan dana banyak guna meredam
pemberontakan.
Jawaban itu tidak memuaskan Raden Said. Sehingga,
ketika beranjak dewasa, secara diam-diam ia mulai bergaul dan menolong
rakyat jelata. Bahkan dia pun berani mengambil sebagian barang di gudang
milik ayahnya, dan membagikannya kepada rakyat yang membutuhkan.
Lama-kelamaan, ulahnya ini diketahui oleh orangtuanya, hingga ia dihukum
cambuk 200 kali dan disekap beberapa hari.
Tetapi, hukuman
tersebut tidak menyurutkan niatnya untuk terus membantu rakyat kecil. Ia
kemudian pergi dari rumah tanpa pamit. Syahdan, kepada para
sahabat-sahabatnya, ia menyatakan tidak bisa menerima realitas
ketimpangan sosial yang ada di depan matanya. Maka ia pun lantas mencuri
barang milik orang kaya, yang dilakukannya dengan memakai topeng. Hasil
jarahannya dia bagikan kepada rakyat jelata.
Namun tak lama, ia
tertangkap dan terpaksa diusir oleh ayahnya dari kadipaten. Ia lantas
memilih tinggal di hutan Jatiwangi. Syahdan ia tetap melakukan kegiatan
yang sama: merampok harta orang kaya dan membagikannya kepada kalangan
fakir miskin. Masyarakat akhirnya menjulukinya “Brandal Lokajaya”.
Kegiatannya
ini berakhir tatkala, suatu hari, ia berjumpa dengan Sunan Bonang.
Dalam pertemuan tersebut ia memperoleh banyak pelajaran tentang filosofi
hidup. Dan, karena ketertarikannya pada pelajaran Sunan Bonang, ia ikut
ke Tuban untuk nyantri, memperdalam agama Islam.
Selepas
menuntut ilmu, Raden Said berubah seratus delapan puluh derajat: ia
menjadi pengembara untuk menyebarkan agama Islam di Jawa.
Kabarnya,
Sunan Kalijaga dikaruniai umur panjang, umurnya mencapai lebih dari 100
tahun. Dengan demikian, ia mengalami masa akhir kekuasaan Majapahit
(1478), Kesultanan Demak, Kesultanan Cirebon, Kesultanan Banten, bahkan
Kerajaan Pajang (1546), serta awal Kerajaan Mataram di bawah pimpinan
Panembahan Senopati.
Ia ikut pula merancang pembangunan Masjid
Agung Cirebon. Di samping tentu saja Masjid Agung Demak. Tiang “tatal”
(dari sisa kayu) yang merupakan salah satu dari empat tiang utama
(sakaguru) Masjid Demak adalah salah satu karamah Sunan Kalijaga.
-
Dai Kelana
Pola dakwahnya juga simpatik. Sejalan dengan gaya dakwah mentor, guru,
dan sekaligus sahabat dekatnya, Sunan Bonang, wali yang satu ini pun
memilih kesenian dan kebudayaan sebagai sarana untuk berdakwah.
Sunan
Kalijaga adalah wali yang sangat toleran pada budaya lokal. Beliau
yakin, masyarakat akan menjauh jika diserang pendiriannya secara
frontal. Karenanya, diperlukan pendekatan bertahap: mengikuti mereka
sambil mempengaruhinya.
Pada hemat Sunan Kalijaga, kebiasaan
lama akan hilang dengan sendirinya jika Islam sudah dipahami. Karenanya,
beliau kemudian menggunakan seni ukir, wayang, gamelan, serta seni
suara suluk sebagai sarana dakwah. Beliaulah pencipta berbagai tradisi,
seperti baju taqwa, Perayaan Sekatenan, Grebeg Maulud, bahkan berbagai
lakon wayang – di antaranya Layang Kalimasada.
Sunan Kalijaga
juga terkenal sebagai seorang wali yang sangat merakyat, sehingga sering
dijuluki sebagai muballigh keliling atau dai kelana. Tak cuma wong
cilik yang suka mendengar wejangannya, kaum bangsawan dan cendekiawan
pun amat simpati kepada beliau, karena caranya mensyiarkan agama Islam
yang disesuaikan dengan keadaan dan zaman. Namun, terlepas dari sikap
tolerannya, Sunan Kalijaga juga seorang wali yang kritis.
Metode
dakwah yang terkesan sinkretis tersebut kemudian terbukti sangat
efektif. Sebagian besar adipati di Jawa memeluk Islam melalui Sunan
Kalijaga. Di antaranya Adipati Pandanaran, Kartasura, Kebumen, Banyumas,
serta Pajang (sekarang Kotagede, Yogya).
Tahun wafat Sunan Kalijaga
tak tercatat. Beliau dimakamkan di Desa Kadilangu, termasuk daerah
Kabupaten Demak, yang terletak di sebelah timur laut kota Bintoro Demak.
koleksi ilmu hikmah, kisahsufi,tasawuf,fengshui,maulid,desain grafis,batu akik,batu obsidian, paypal pay,za,pendanaan,RENTAL MOBIL proyek,investor,funder,kredit kpr,pinjaman multi guna ,pialang,wali amanat,SEWA MOBIL CIREBONtaxi online cirebondan lain-lain
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
stroom09@gmail.com