koleksi ilmu hikmah, kisahsufi,tasawuf,fengshui,maulid,desain grafis,batu akik,batu obsidian, paypal pay,za,pendanaan,RENTAL MOBIL proyek,investor,funder,kredit kpr,pinjaman multi guna ,pialang,wali amanat,SEWA MOBIL CIREBONtaxi online cirebondan lain-lain
koleksi ilmu-ilmu hikmah,kisah 2 tokoh sufi.teknologi tips n trik dll
Senin, Juli 01, 2013
Dari Yaman Menuju Nusantara (Bagian 4/Tamat)
Di Cirebon, pada tahun 1845, Hadharim telah mencapai jumlah yang memerlukan seorang pemimpin koloni. Kampung Arab di Panjunan, Kolektoran, dan Pekarungan semula dihuni oleh keturunan Benggali, yang karena sudah terdesak sudah tidak banyak terlihat. Di sini berdiri sebuah masjid besar yang disebut Masjid Arab, nama lainnya Masjid Bayasut.
Di Indramayu, koloni Hadharim pada awalnya bergabung dengan koloni Cirebon. Namun karena jumlah penduduknya terus meningkat, pada tahun 1872 dipisah, lalu ditunjuk pemimpin Arab sendiri.
Di Purwakarta, mulai tercatat koloni Arab ketika Syaikh Hasan bin Ali Bajerei diangkat sebagai letnan Arab pada 1 Desember 1927.
Di Tegal, koloni Arab baru terbentuk sekitar tahun 1860, setelah banyak Hadharim dari kota lain pindah ke sana. Kepala koloni mulai ditunjuk pada tahun 1883. Sebagian besar penduduk koloni ini berasal dari nasab Nahdi, Al-Katsiri, dan Yafi’.
Pada waktu itu Hadharim menempati rumah yang dihuni secara bersama oleh dua atau tiga keluarga, sementara yang lainnya menghuni rumah-rumah sederhana. Mereka orang-orang yang taat beragama dan tidak begitu tertarik belajar ilmu umum.
Di Pekalongan, mereka datang pertama kali pada awal abad ke-18. Sebagian besar golongan Ba’alwi, yang kemudian menjadi inti koloni Hadharim di Pekalongan. Banyak di antara mereka yang kemudian menikah dengan putri pembesar Pekalongan. Di antara mereka adalah Raden Saleh, pelukis Indonesia bertaraf internasional yang memiliki nama asli Sayyid Saleh bin Husain Bin Yahya. Kakeknya, Sayyid Awadh Bin Yahya, adalah orang Hadhramaut yang menikah dengan putri Kiai Bustam, seorang wedana Lasem.
Anggota keluarga Bin Yahya yang lain, bernama Sayyid Thaher Bin Yahya, tiba di Penang pada permulaan abad ke-19. Ia menikah dengan seorang putri keluarga sultan Yogyakarta yang dibuang ke Penang tahun 1812-1816. Ketika kembali ke Jawa mereka menetap di Semarang.
Nama sebenarnya adalah Thaha, yang kemudian digelari “As-Sayyid Ath-Thahir”. Belakangan sejumlah catatan menuliskan namanya “Sayyid Thahir”.
Putranya yang ketiga, Ahmad bergelar Raden Sumodirjo, yang kemudian tinggal di Pekalongan, menikah dengan seorang syarifah dari keluarga Ba’abud.
Di Semarang, pada tahun 1819 penduduk Hadharim di kota ini sudah mempunyai pemimpin Arab. Mereka hidup sukses sebagai pedagang dan membaur dengan pribumi, termasuk dengan etnis Tionghoa.
Di Yogyakarta, koloni Arab dan Timur Asing non-Tionghoa dipimpin oleh orang Hadharim. Ini menunjukkan bahwa mereka pernah hidup membaur dan berdampingan. Tercatat seorang bernama Sayyid Ali bin Abdullah Al-Jufri yang pernah menjadi pemimpin golongan campuran ini pada 6 November 1889 M. Kondisi yang mirip di Yogyakarta ini ada juga di Solo, para Hadharim membaur dengan berbagai etnis.
Di Gresik, koloni ini mencapai puncak kejayaannya sekitar tahun 1845, ketika perusahaan pelayaran yang banyak mereka miliki maju pesat, karenanya sejak tahun 1832 sudah ditunjuk seorang pemimpin Arab.
Di Surabaya, pada tahun 1870 populasi Hadharim berkembang pesat, mereka berasal dari berbagai nasab dan berbagai tempat di Hadhramaut, termasuk juga golongan Ba’alwi. Mereka bermukim di sebelah timur laut kota. Di sini banyak toko dan rumah Hadharim yang besar dan kokoh menghadap jalan. Di daerah ini terdapat tujuh buah masjid, yang satu di antaranya Masjid Ampel. Masjid ini, sekalipun jama’ahnya kebanyakan Hadharim, dirawat oleh seorang pribumi.
Selain dihuni Hadharim, daerah ini juga ditempati golongan pribumi, suku Khoja, dan sedikit Tionghoa. Tahun 1932 ditunjuk seorang Hadharim untuk memimpin koloni Surabaya dan Bangkalan.
Sekarang sebagian besar mereka bermukim di Kelurahan Ampel, Nyamplungan, Jln. K.H. Mas Mansur, Jln. Panggung, Jln. Sasak, Kampung Margi, dan Ketapang.
Di Palembang, pada waktu pemerintahan Sultan Mahmud Badaruddin II (1767-1862) orang Hadhramaut diberi peluang seluas-luasnya untuk bermukim dan berusaha di wilayahnya. Akibat kebijakan ini, Sultan Mahmud ditangkap penjajah Belanda dan diasingkan ke Ternate pada tahun 1821.
Pada waktu itu jumlah Hadharim sudah mencapai ribuan orang dan sejak itu ditunjuk seorang kepala koloni. Berpuluh-puluh tahun kemudian jumlah Hadharim semakin banyak, bisnisnya pun semakin berkembang.
Kemajuan bisnis Hadharim di Palembang sejalan dengan pesatnya perkembangan pelayaran di Nusantara.
Selain sukses di bidang bisnis, orang Hadhramaut, yang umumnya golongan Alawiyyin, juga sukses di bidang politik.
Keluarga Ba’alwi yang menjadi orang terkemuka di Palembang antara lain Bin Syaikh Abu Bakar, Al-Habsyi, Bin Syihab, As-Seggaf, Baraqbah, Al-Kaff, Al-Munawwar, Al-Jufri.
Di Palembang banyak juga keluarga Alawi yang berasimilasi dengan bangsawan.
Di Aceh, awalnya ini merupakan permukiman terbesar di Nusantara. Di Bumi Serambi Makkah ini mereka tidak pernah membentuk koloni, karena lebih memilih hidup membaur dengan pribumi.
Mereka sudah memiliki darah campuran, sehingga sulit dibedakan dengan pribumi. Hanya bisa dibedakan dari cara berpakaian ketika hadir dalam suatu upacara, atau nama marga yang masih melekat.
Di Padang, walaupun keberadaan Hadharim tidak terlalu terlihat, dalam catatan sejarah pada tahun 1875 terdapat seorang kepala koloni. Adanya kepala koloni ini mengindikasikan bahwa jumlah Hadharim di Padang pernah mencapai jumlah yang besar.
Di Padang Pariaman, banyak pula terdapat keturunan Hadharim. Masyarakat Pariaman memberi gelar “Sidi” untuk mereka, yang berasal dari kata “Sayidi”. Di antara kepala koloni yang pernah memimpin di Padang adalah Sayyid Abdurrahman Al-Hamid dengan pangkat letnan, pada 29 Mei 1900.
Sedang Pontianak adalah kota tujuan para perantau Hadharim, di samping Palembang, karena di kedua kota ini banyak Hadharim yang sukses. Yang di Palembang sukses di bidang bisnis, dan yang di Pontianak sukses di bidang politik. Terbukti dengan adanya Kesultanan Pontianak, yang didirikan oleh Syarif Abdurrahman Al-Qadri, pada 23 Oktober 1771, di sebuah delta antara Sungai Kapuas Kecil dan Sungai Landak.
Kesultanan Pontianak maju sampai pemerintahan Sultan Muhammad II, yang sangat mendukung kehadiran Hadharim di sana dan memberikan peluang sebesar-besarnya bagi mereka untuk menjalankan bisnisnya ke pedalaman. Kesultanan ini mulai terpuruk ketika tentara Jepang datang merampas harta kekayaan dan sekaligus membunuh sultan pada tahun 1943.
Hadharim yang pernah bermukim di sini kebanyakan dari golongan Alawiyyin, terutama nasab Al-Qadri. Nasab lainnya adalah Alaydrus, Al-Muthahar, Al-Hinduan, Assegaf, Ba’Agil, Bin Syahab. Lalu At-Tamimi, Bin Syaiban, Al-Falugha, Bansyir, Syawik, dan Bajandokh.
Di daerah Kubu di selatan Pontianak terdapat Kesultanan Kubu, yang didirikan oleh nasab Alaydrus. Koloni Hadharim di Pontianak pernah dikepalai oleh Syaikh Muzahamam bin Salim Bawazir.
Demikianlah, Islam telah mempersatukan pribumi dan Hadharim. Allah SWT berfirman dalam surah Al-Hujarat ayat 13, “Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku, supaya kamu saling kenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertaqwa. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.”
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
stroom09@gmail.com