koleksi ilmu hikmah, kisahsufi,tasawuf,fengshui,maulid,desain grafis,batu akik,batu obsidian, paypal pay,za,pendanaan,RENTAL MOBIL proyek,investor,funder,kredit kpr,pinjaman multi guna ,pialang,wali amanat,SEWA MOBIL CIREBONtaxi online cirebondan lain-lain
koleksi ilmu-ilmu hikmah,kisah 2 tokoh sufi.teknologi tips n trik dll
Senin, Juli 01, 2013
Dari Yaman Menuju Nusantara (Bagian 3)
Sahabat lain yang diutus ke Yaman adalah Muadz bin Jabal RA, yang berdakwah di Sukun dan Kindah di daerah Taiz. Peninggalannya berupa sebuah masjid bernama Al-Janad yang dibangunnya sebagai pusat dakwah Islam. Dengan dakwah yang dilakukannya, penduduk Yaman pun berbondong-bondong berpindah agama, dari agama lama ke pelukan Islam.
Muadz bin Jabal dikenal sebagai sahabat agung yang pandai baca tulis, suatu pengetahuan yang langka waktu itu. Ia juga dikenal sebagai pribadi yang supel, ramah, dan akrab dengan semua kalangan.
Kedalaman ilmu dan ketaqwaannya menyebabkan banyak orang yang meriwayatkan hadits darinya.
Dakwah yang dilakukan para sahabat di Hadhramaut, selain menyebabkan pesatnya perkembangan Islam di sana dan Yaman secara keseluruhan, juga telah membangkitkan semangat menuntut ilmu keislaman yang luar biasa dari orang-orang Hadhramaut. Tidak mengherankan kalau mereka sangat menguasai cabang-cabang ilmu Islam, seperti ilmu tafsir, ilmu hadits, ilmu hukum, dan yang lainnya. Ilmu tersebut langsung mereka dapatkan dari para sahabat.
Pemahaman ilmu agama yang mendalam menghasilkan keimanan dan ketaqwaan yang luar biasa, terutama di kalangan pemudanya. Dengan keimanan dan ketaqwaan itu mereka mempunyai semangat pengorbanan yang luar biasa. Tidak kurang dari 20 ribu orang Hadhramaut dan Yaman yang ikut bergabung dalam ekspedisi peperangan ke berbagai kawasan untuk menegakkan panji-panji Islam.
Kelak orang-orang Hadhramaut ini menyebar ke berbagai pelosok, termasuk ke Nusantara, khususnya Indonesia. Mereka menyebarkan dakwah sambil berdagang, dan mereka disebut “Hadharim”.
Koloni Hadharim di Indonesia
Sebenarnya kedatangan Hadharim ke Indonesia sudah berlangsung sejak lama, sejak abad ke-12. Kehadiran mereka di masyarakat Nusantara diterima dengan tangan terbuka bahkan mendapat tempat yang khusus di hati masyarakat.
Pada awal abad ke-18 terjadi gelombang kedua kedatangan orang Hadhramaut ke Indonesia, yang kebanyakan terdiri dari marga Assegaf, Al-Habsyi, Al-Hadad, Alaydrus, Al-Jufri, Alatas, Bin Syihab, Jamalulail, Al-Qadri, Basyaiban, Bin Yahya.
Kalau gelombang pertama dan kedua yang datang adalah mayoritas golongan habaib atau sayyid, yang misi utamanya dakwah, menyebarluaskan ajaran Islam, kedatangan gelombang ketiga mayoritas non-habaib, yang disebut ghabili, yang di samping agama juga bertujuan sosial-ekonomi. Hadharim non-habaib mulai banyak menetap di Pulau Jawa, terutama sejak tahun 1820.
Para perantau yang berangkat dari tanah airnya dengan kapal layar biasanya berangkat dari pelabuhan Mukalla. Setelah singgah di pelabuhan Oman, Bombai, Sri Lanka, untuk mengisi air, menambah perbekalan, memuat penumpang dan barang, mereka singgah di Aceh. Dari sini biasanya para perantau ini menuju Palembang dan Pontianak, karena di kedua kota itu banyak kerabat dan kenalan yang sudah hidup mapan.
Bagi yang menggunakan kapal uap, yaitu sejak dibukanya Terusan Suez dan mulai beroperasinya kapal uap yang melayani trayek Eropa dan Timur Jauh, sejak tahun 1867 mereka berangkat dari Aden dan transit di Singapura. Dari kota jajahan Inggris ini mereka menuju Batavia untuk selanjutnya menyebar ke berbagai kota.
Sebelum diberlakukannya wijken stelsel (peraturan permukiman) oleh penjajah Belanda di awal abad ke-18, kaum muhajirin ini ditempatkan di permukiman yang sudah ditentukan Belanda. Di Batavia mereka ditempatkan di daerah pantai yang berawa-rawa dengan lingkungan yang tidak sehat, seperti di daerah Pasar Ikan dan Pekojan, bersama-sama dengan etnis Benggali atau Khoja, yang sudah lebih dahulu tinggal di sana.
Setelah peraturan permukiman dicabut pada akhir abad ke-19, mereka mulai mencari permukiman baru yang lebih sehat, seperti di daerah Krukut, Tanah Abang, Jatinegara, dan Kwitang. Mereka hidup mengelompok membentuk koloni yang sangat sejalan dengan tujuan penjajah Belanda, yaitu memisahkan mereka dengan penduduk pribumi.
Permukiman mereka yang mengelompok itu ditopang oleh peraturan kependudukan kolonial Belanda yang membagi penduduk Hindia Belanda menjadi tiga golongan, yaitu Eropa golongan pertama, Timur Asing, Arab, dan Cina golongan kedua, dan pribumi atau inlanders golongan ketiga.
Berdasarkan politik kependudukan tersebut, koloni yang sudah mencapai jumlah penduduk tertentu diangkat seorang pemimpin atau kepala Arab yang diberi pangkat kehormatan yang tinggi rendahnya tergantung populasi yang dipimpinnya. Mayor untuk populasi besar, kapiten untuk yang sedang, letnan untuk yang populasi sedikit.
Mereka tidak diberi gaji, fungsinya sebagai penghubung antara penduduk dan penjajah Belanda, terutama dalam pengendalian dan pengawasan orang-orang Arab sebagai etnis yang tidak disukai oleh penjajah Belanda karena berbeda agama. Selain itu mereka juga diberi tugas untuk melaporkan data penduduk secara periodik, melaporkan mutasinya, menyebarluaskan peraturan-peraturan baru, membantu petugas pajak.
Koloni yang sudah terbentuk menjelang abad ke-19 yaitu Batavia. Sekalipun Batavia baru tahun 1844 dihuni oleh orang Hadhramaut, karena pada waktu itu berubah menjadi kota transit di Indonesia, pupulasinya berkembang dengan cepat. Di daerah permukimannya yang baru di Krukut, Tanah Abang, Jatinegara, Kwitang, orang Hadhramaut membangun rumah bergaya Eropa, yang satu atau dua rumah di antaranya memiliki balkon tertutup.
Sebagai etnis yang sangat memuliakan tamu, orang Hadhramaut di dalam rumahnya selalu menyediakan satu ruang lengkap dengan kamar mandi untuk para tamunya yang baru datang dari Hadhramaut, agar mereka dapat tinggal dengan nyaman dan leluasa beberapa hari sebelum melanjutkan perjalanan ke tujuan masing-masing.
Di lingkungan permukiman orang Arab Yaman terdapat sebuah langgar dipimpin seorang Hadharim sekaligus juga menjadi pengajar ilmu agama yang diberikan di salah satu ruangan yang ada. Shalat Jum’at, mereka bergabung dengan muslim lainnya di masjid besar.
Sekalipun populasinya terus berkembang, di daerah permukiman mereka tidak banyak dijumpai toko, karena mereka lebih menyukai bisnis di dalam rumah sebagai pedagang perantara (distributor)
Hadharim di Batavia yang sudah kaya tinggal di rumah-rumah besar gaya Eropa. Kalaupun rumah mereka kecil, mereka membangunnya dengan gaya vila, seperti di Eropa.
Tahun 1880-an, Belanda mulai mengadakan pembatasan terhadap pendatang Hadharim dengan hanya mengizinkan 100 orang pendatang baru dalam setahun, dengan demikian perkembangan populasi Hadharim lebih banyak berasal dari perkawinannya dengan wanita pribumi. Orang Hadhramaut di Batavia pada waktu itu kurang memperhatikan pendidikan umum anak-anaknya, meraka lebih memperhatikan ilmu agama dan bahasa Arab, yang mereka gunakan sehari-hari.
Di Bandung, sebelum tahun 1930, hanya terdapat empat keluarga Hadharim. Yaitu keluarga Al-Katsiri, yang tinggal di Sulanjana, Hasan Wiratmanah, pemilik gedung Swarha di daerah Tegal Lega, Bahafdullah, di Jalan Cihampelas, dan keluarga Basalamah, di Sasakgantung.
Karena jumlahnya yang sedikit, di Bandung tidak ada kampung Arab. Langkanya Hadharim di Bandung karena penjajah Belanda sangat ketat menjaga kota Bandung, yang dijadikan Paris van Java.
(Bersambung)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
stroom09@gmail.com