Ilmu ma’ani mempelajari
hal-hal yang berkaitan dengan kalimat (jumlah) bahasa Arab dan kaitannya dengan
konteks. Dengan mengetahui hal-hal tersebut kita
bisa menyampaikan suatu gagasan atau ide kepada mukhathab sesuai dengan situasi dan kondisinya. Dengan
melihat objeknya mempelajari ilmu ini dapat
memberi manfaat sbb:
a.
Mengetahui kemukjizatan Alquran berupa segi kebagusan
penyampaian, keindahan deskripsinya, pemilihan diksi, dan penyatuan antara
sentuhan akan dan qalbu.
b.
Menguasai rahasia-rahasia ketinggian dan kefasîhan bahasa
Arab baik pada syi’ir maupun prosanya. Dengan mempelajari ilmu
ma’ani kita bias membedakan
mana ungkapan yang benar dan yang tidak, yang indah dan yang rendah, dan yang teratur dan yang
tidak.
D.
PERKEMBANGAN
1. Pra Turunnya
Al-Qur’an
Kelahiran
dan pertumbuhan Balaghah (termasuk Ilmu Ma’ani)
dikalangan masyarakat penggunanya bersifat arbitrer. Orang-orang Arab Jahiliyah
pra turunnya Al-Qur’an telah dikenal sebagai ahli sastra yang kompeten. Mereka
mampu menggubah lirik-lirik sya’ir atau bait-bait puisi yang mempesona yang
menunjukkan kesadaran dan keahlian mereka dalam bidang sastra yang bernilai
tinggi. Perhatikanlah misalnya apa yang diungkapkan oleh Umru al-Qais,
salah seorang pujangga Arab Jahiliyah pada saat malam gelap gulita dimana kedua
bola matanya sulit terpejam karena mendengar informasi tentang kematian sang
ayah yang sangat dicintainya :
فقلت
له لما تمطى بصلبه # وأردف أعجازا وناء بكلكل
“Maka kukatakan kepadanya
(malam) ketika ia menghimpitku dengan segenap tubuhnya dan menyesakkan dadaku
dengan perasaan sedih dan duka cita yang tak terucapkan”.
Duka nestapa dan kesedihan
yang begitu abstrak diekspresikan dalam bentuk gaya bahasa yang figuratif dan
indah sekali. Keindahan bahasa puisi tersebut jelas dan terasa sekali pada
kemampuan si penggubahnya dalam menggambarkan hal-hal yang bersifat abstrak
menjadi kongkrit, hingga seakan-akan dapat diraba keberadaannya.
Dan resapi serta
renungkanlah betapa indahnya gubahan beberapa lirik syai’r yang begitu puitis
dalam menggambarkan keadaan yang dialami oleh penyair tatkala ia merasa begitu
tersiksa secara psikis dan mental akibat rindu yang begitu mendalam terhadap
sang kekasih yang sangat dicintainya. Namun
karena adanya jarak yang menghalangi, maka mereka tidak pernah bisa bersua
untuk mengobati kerinduannya. Akhirnya keluarlah dari mulut salah seorang
diantara mereka lirik-lirik bait syair yang begitu indah untuk menggambarkan
keadaan tersebut.
بكيت على سرب
القطا إذ مررن بـي # فقلت ومـثـلي بالبكاء جـديـر
أ سرب القطا
هل من يـعـير جناحه # لـعلي إلـى من قد هـويت أطـير
فـجاوبـنـي من
فوق غصن أراكة # ألا كلـنـا يا مستـعـير نـعـير
فأي قـطاة لم
تـعـرك جـنـاحـه # تـعـيـش بذل والجـنـاح كسـير
“Aku menangisi sekawanan burung merpati tatkala mereka melintas
dihadapanku, dan akupun bergumam: orang seperti diriku memang layak untuk
menangis. Wahai kawanan burung merpati, Adakah diantara kalian yang sudi untuk
meminjamkan sayapnya kepadaku, agar aku dapat terbang tuk menemui kekasih yang
kucintai. Merekapun nyeletuk menjawab permintaanku dari atas ranting pohon
arak, Hai orang yang bermaksud meminjam sayap kami, ketahuilah bahwa kami juga
sebenarnya sekedar dikasih pinjam. Maka tidak ada seekor burung merpatipun yang
rela tuk meminjamkan sayapnya, karena( jika itu terjadi) pasti ia akan hidup
dalam keadaan hina dan sayapnya akan patah”.
Perasaan rindu yang terpendam dan berkecamuk serta perasaan asmara
yang bergejolak melahirkan perasaan sedih yang mendalam yang diekspresikan
dengan cucuran airmata tertuang dalam gubahan syair tersebut dengan indah
sekali. Keadaan tersebut diadukan kepada kawanan burung-dalam bentuk dialog
personifikatif-yang dilihat oleh penyair sebagai kelompok makhluk yang beruntung
karena dilengkapi dengan sayap yang membuat mereka dapat terbang kemanapun
mereka suka. Tidak seperti diri penyair yang terisolir dan nasibnya yang
terpasung tidak dapat pergi menemui sang kekasih yang sudah lama didambakannya.
Perkembangan kesusastraan
Arab pada era jahiliyah diwarnai oleh adanya perkembangan berbagai bentuk
sastra, baik prosa maupun puisi yang dikembangkan oleh orang-orang Arab pada
masa itu. Perkembangan tersebut didukung juga oleh adanya berbagai kegiatan
yang berlangsung pada musim haji setiap tahunnya, dengan diadakannya berbagai
perlombaan pidato dan perlombaan membaca sya’ir, yang diadakan di berbagai
pusat kegiatan pada waktu itu, seperti di Suq ‘Ukkazh. Kegiatan-kegiatan
seperti itu memberi peluang yang besar bagi para ahli sya’ir untuk
mengembangkan bahasa dan gaya bahasa mereka dengan ungkapan-ungkapan yang
menarik, baik dari segi zahir lafal, keindahan kata yang digunakan, maupun
kandungan maknanya.
Selanjutnya Ahmad Thib
Raya mengutip pernyataan Syauqi Dheif menyatakan bahwa bangsa Arab pada masa
jahiliyah tersebut telah mencapai tingkat tinggi dalam menggunakan balaghah dan
bayan. Orang yang melakukan kajian yang serius dan mendalam terhadap sastra
Arab jahiliyah, baik prosa maupun puisinya akan berdecak kagum terhadap
produk-produk kesusastraan yang mereka miliki. Hal
tersebut tampak jelas dari kemampuan mereka untuk mengekspresikan
pikiran-pikiran mereka sampai ke tingkat yang lebih tinggi dalam dunia ke-fasih-an
dan ke-balaghah-an.
Prof. Dr. Abdul Fattah
Lasyin menyatakan bahwa sastra Arab klasik pra turunnya al-Qur’an ini lebih
banyak mengekspresikan sesuatu dalam bentuk tasybih, dan majaz saja, terutama
isti’arah.
2. Pasca Turunnya Al-Qur’an
Sebagaimana dilihat
sebelumnya bahwa keberadaan Balaghah pra turunnya al-Qur’an sudah demikian
berkembang, lebih-lebih setelah turunnya al-Qur’an. Keindahan dan kelembutan
berbahasa merupakan pokok kajian yang tak habis-habisnya, yang telah melahirkan
banyak ungkapan-ungkapan yang indah dan bermakna dalam kepustakaan sastra,
terutama setelah turunnya al-Qur’an yang merupakan salah satu inspirator dalam
melahirkan keindahan dan kelembutan berbahasa tersebut.
Dalam tradisi Islam,
al-Qur’an dipandang sebagai salah satu sumber keindahan atau ke-balaghah-an
bagi para penyair dan penulis prosa. Al-Qur’an, diakui oleh mereka sebagai
puncak balaghag (nahj al-balaghah) dan merupakan model utama (al-namuzaj
al-mitsli) dalam rujukan penggubahan syai’r.
Kedudukan al-Qur’an begitu
penting dan berpengaruh besar terhadap pola hidup, pola pikir, dan pola tutur
umat Islam. Seluruh umat sepakat bahwa salah
satu bentuk kemukjizatan al-Qur’an adalah keindahan bahasanya yang tak
tertandingi oleh ungkapan manapun. Gagasan tentang nilai keindahan dan
keluhuran tradisi sastra al-Qur’an tidak hanya diakui dalam diskursus
kesusastraan dan kebahasaan, namun hal tersebut telah menjadi doktrin agama
yang mendasar. Otentisitas al-Qur’an didasarkan atas ajaran ketidakmungkinan
al-Qur’an untuk dapat ditiru oleh siapapun, baik dari sisi kandungannya, maupun
sisi keindahannya. Itulah konsep I’jaz al-Qur’an, kemukjizatan al-Qur’an yang
tak tertandingi. Tidak seorangpun manusia yang bisa membuat ungkapan-ungkapan
yang serupa dengan al-Qur’an. Bahkan al-Qur’an sendiri selalu mengemukakan
tantangan (al-tahaddi) kepada siapa saja yang meragukan otentisitasnya untuk
mendatangkan ungkapan yang serupa dengannya walau hanya satu surat saja
sebagaimana pernyataan Allah dalam ayat 23 surat al-Baqarah:
bÎ)ur öNçFZà2 ’Îû 5=÷ƒu‘ $£JÏiB $uZø9¨“tR 4’n?tã $tRωö7tã (#qè?ù'sù ;ou‘qÝ¡Î/ `ÏiB ¾Ï&Î#÷VÏiB (#qãã÷Š$#ur Nä.uä!#y‰ygä© `ÏiB Èbrߊ «!$# cÎ) öNçFZä. tûüÏ%ω»|¹ ÇËÌÈ
Artinya: “Dan jika kalian
masih diselimuti keraguan tentang kebenaran apa (kitab) yang Kami turunkan
kepada hamba Kami (Muhammad), maka (coba) datangkanlah sekedar satu surat yang
mirip dengannya dan ajaklah para pembantu kalian selain Allah (yang kalian
anggap mampu) jika kalian benar-benar jujur”. (Q.S. Al-Bawarah: 23)
Dan sesungguhnya mereka
telah mengakui dan merasakan ketinggian dan keindahan bahasa al-Qur’an,
sehingga diantara mereka ada yang meninggalkan syai’r karena lebih tertarik
dengan keindahan bahasa al-Qur’an tersebut sebagaimana keterangan yang
diperoleh dari Lubaid dan al-Khansa’ dua orang sastrawan dan pujangga besar
masa tersebut.[14] Mereka juga berusaha keras untuk mencontoh bahasa Al-Qur’an
dan mengembangkan nilai-nilai keindahannya dalam pembicaraan dan penulisan. Bahkan sebagian pakar sastra mencoba dengan sadar dan sekasama
untuk menyamai bahkan melampaui keindahan al-Qur’an. Uapaya-upaya tersebut
mereka lakukan untuk meladeni tantangan al-Qur’an yang begitu menggugah
orang-orang yang memiliki keahlian dan keberanian di antara mereka, meski usaha
tersebut tidak pernah berhasil. Tantangan al-Qur’an itu semakin menarik
perhatian mereka disamping telah adanya rasa cinta terhadap keindahan dan
ketinggian bahasa yang melekat kuat dalam jiwa mereka sejak masa pra turunnya
al-Qur’an.
Pengaruh al-Qur’an terhadap Balaghah ‘Arabiyyah tersebut begitu
nyata. Hal tersebut ditandai dengan dijadikannya al-Qur’an sebagai objek kajian
dalam diskursus-diskursus kebalaghahan yang melahirkan karya-karya besar
seperti Kitab Majaz Al-Qur’an karya Abu ‘Ubaidah (w. 207 H) yang ditulis karena
adanya ketidakpahaman Ibrahim bin Isma’il terhadap penggunaan tasybih dalam
penggambaran sifat syajarat al-Zaqqum (makanan penduduk neraka) dalam firman
Allah ayat 65 surat al-Shaffat :
$ygãèù=sÛ ¼çm¯Rr(x. â¨râäâ‘ ÈûüÏÜ»u‹¤±9$# ÇÏÎÈ
Artinya:
“Mayangnya seperti kepala syaitan-syaitan”
Sampai masa permulaan
Islam ini keberadaan ilmu Balaghah sebagai suatu disiplin ilmu yang utuh
seperti saat ini belum terkodifikasi, namun ia terus mengalami perkembangan
sedikit demi sedikit. Diawali dengan kajian sastra terhadap beberapa sya’ir dan
pidato-pidato orang Jahiliah, dilanjutkan dengan mengulas sya’ir dan sastra
pada masa awal Islam, sampai kepada masa pemerintahan Daulah Umaiyah, ia terus
mengalami perkembangan yang menggembirakan.
Perkembangan Balaghah yang
semakin baik tersebut ditandai dengan munculnya para tokoh yang kompeten dan
karya-karya besar mereka pada abad ke-III H, seperti Abu ‘Ubaidah (w. 211 H),
Ibnu Qutaibah (w. 276 H), Ibnu Hasan al-Rumani (w. 284 H), al-Farra’ (w.207 H),
dan Al-Jahizh (w. 255 H). Abu ‘Ubaidah
menyusun sebuah kitab tentang Majaz al-Qur’an yang bernama Ilmu Majazil Qur’an.
Ibnu Quthaibah menulis kitab Ta’wil Musykil al-Qur’an, dan Al-Farra’ menulis
kitab Ma’anil Qur’an yang meski kebanyakan berisi kajian ilmu Nahwu, tapi juga
menyinggung kajian ilmu Balaghah. Sedangkan al-Rumani menyusun kitab An-Naktu
Fi I’jazil Qur’an.[18] Dan Al-Jahizh dipandang sebagai tokoh yang sangat
berjasa dalam sejarah perkembangan ilmu Balaghah secara umum dan ilmu Bayan
secara khusus, lewat karya tulisnya yang berjudul al-Bayan wa al-Tabyin.
Ilmu Balaghah terus mengalami
perkembangan sehingga mencapai puncaknya pada abad ke-V H yang ditandai dengan
semakin utuhnya kajian-kajian didalamnya yang tertuang dalam dua kitab yang
disusun oleh Imam Abdul Qahir al-Jurjani (400-471 H). Kedua kitab tersebut
adalah : Pertama, kitab Asrarul Balaghah yang berisi soal-soal majaz,
isti’arah, tamtsil, tasybih dan lain-lain dari cabang Ilmu Ma’ani yang
merupakan bagian dari Balaghah. Kedua, kitab Dala’ilul I’jaz, yang berisi
tentang keindahan susunan kata dan konteksnya, dengan keindahan makna yang
merupakan keistimewaan uslub Al-Qur’an yang menunjukkan kemukjizatannya.
Kemudian disusul dengan
kemunculan Imam As-Sakaki pada abad ke-VII H yang semakin mematangkan
keberadaan Ilmu Balaghah sebagai disiplin Ilmu dengan memetakannya menjadi tiga
cabang ilmu sebagai komponennya, yaitu Ilmu Ma’ani, Ilmu Bayan, dan Ilmu Badi’.
Namun antara ilmu Bayan dan Ilmu Badi’ masih beliau gabung dalam satu ilmu
dengan istilah Ilmu al-Mahasin yang terbagi ke dalam dua bagian, yaitu
Al-Mahasin al-Lafziyyah dan Ma’nawiyyah. Beliau
menyusun sebuah karya besar yang menguraikan ilmu tersebut disamping ilmu-ilmu
pengetahuan bahasa Arab lainnya. Kitab tersebut dikenal dengan nama Miftahul
‘Ulum.
Sedangkan pembagian ilmu
Balaghah ke dalam tiga istilah (Ilmu Ma’ani, Bayan, dan Badi’) seperti yang
dikenal sekarang dilakukan oleh Al-Khatib al-Qazwainy (w. 729 H) pada abad
ke-VII H dalam karyanya yang bernama Talkhisul Miftah yang merupakan ringkasan
dari kitab Miftahul ‘Ulum karya As-Sakaki.
E. TOKOH-TOKOH
Pada
awalnya struktur ilmu balâghah belumlah lengkap seperti yang kita kenal sekarang ini. Setelah mengalami
berbagai fase perkembangan dan penyempurnaan
akhirnya disepakati bahwa ilmu ini membahas tiga kajian utama, yaitu ilmu bayân, ma’âni dan badî’. Ilmu
bayân membahas prosedur pengungkapan
suatu ide fikiran atau perasaan ke dalam ungkapan yang bervariasi. Ilmu ma’ani membahas bagaimana kita mengungkapkan
sesuatu ide fikiran atau perasaan
ke dalam bahasa yang sesuai dengan konteksnya. Tokoh pertama yang mengarang
buku dalam bidang ilmu bayân adalah Abû
Ubaidah dengan kitabnya Majâz Alquran. Beliau adalah murid al-Khalil. Dalam bidang ilmu ma’âni, kitab I’jâz
Alquran yang dikarang oleh al-Jâhizh merupakan
kitab pertama yang membahas masalah ini. Sedangkan kitab pertama dalam ilmu badî’ adalah karangan Ibn
al-Mu’taz dan Qudâmah bin Ja’far. Pada fase berikutnya, munculah seorang ahli balâghah yang
termashur,beliau adalah Abd al-Qâhir al-Jurzâni yang mengarang kitab Dalâil
al-I‘jâz dalam ilmu ma’âni dan Asrâr al-Balâghah dalam ilmu bayân.
Setelah itu muncullah Sakkâki yang mengarang kitab Miftah al-Ulûm yang
mencakup segala masalah dalam ilmu balâghah. Selain tokoh-tokoh yang disebutkan
di atas, masih banyak lagi tokoh yang mempunyai andil dalam pengembangan ilmu
balâghah, yaitu:
1.
Hasan bin
Tsabit, beliau seorang penyair Rasullullah saw. Orang Arab sepakat bahwa ia adalah seorang tokoh penyair
dari kampung. Suatu pendapat menyatakan
bahwa ia hidup selama 120 tahun; 60 tahun dalam masa Jahiliyah dan 60 tahun dalam masa keislaman. Ia
meninggal pada tahun 54 H.
2.
Abu-Thayyib,
beliau adalah Muhammad bin al-Husain seorang penyair kondang. Ia mendalami kata-kata bahasa
Arab yang aneh. Syi’irnya sangat indah
dan memiliki keistimewaan, bercorak filosofis, banyak kata-kata kiasannya dan beliau mampu menguraikan
rahasia jiwa. Ia dilahirkan di Kufah,
tepatnya di sebuah tempat bernama Kindah pada tahun 303 H, dan wafat tahun 354 H.
3.
Umru’ al-Qais, ia tokoh penyair Jahiliyah yang merintis
pembagian bab-bab dan macam-macam syi’ir. Ia dilahirkan pada tahun 130 sebelum
Hijriyah. Nenek moyangnya adalah para raja dan bangsawan Kindah. Ia wafat pada tahun
80 sebelum Hijriyah. Syi’ir-syi’irnya yang pernah tergantung di Ka’bah sangat
masyhur.
4.
Abu Tammam (Habib bin Aus Ath-Tha’i), ia seorang penyair
yang masyhur, satu-satunya orang yang mendalam pengetahuannya tentang
maâni, fashahah al-syâir,
dan banyak hafalannya. Ia wafat di Mosul pada tahun 231 Hijriyah.
5.
Jarir bin
Athiyah al-Tamimi, ia seorang di antara tiga penyair terkemuka pada masa pemerintahan Bani Umayah. Mereka
adalah al-Akhthal, Jarir, dan al- Farazdaq.
Dalam beberapa segi ia melebihi kedua rekannya. Dia wafat pada tahun 110 H.
6.
Al-Buhturi, ia
seorang penyair Bani Abasiyah yang profesional. Ketika Abu al- ‘A’la al-Ma’arri ditanya tentang
al-Buhtury dia berkata, “Siapakah yang ahli syi’ir di antara tiga orang ini,
Abu Tammam, al-Buhturi, ataukah al- Mutanabbi?” Ia menjawab, “Abu Tamam dan
al-Mutanabbi keduanya adalah para pilosof; sedangkan
yang penyair adalah al-Buhturi”. Dia lahir di Manbaj dan wafat di sana pada tahun 284 H.”
7.
Saif al-Daulah,
ia adalah Abu al-Hasan Ali bin Abdullah bin Hamdan, raja Halab yang sangat cinta syi’ir. Lahir
tahun 303, wafat tahun 356.
8.
Ibnu Waki’, ia
seorang penyair ulung dari Baghdad. Lahir di Mesir dan wafat di sana pada tahun 393 H.
9.
Ibn Khayyath, ia
seorang penyair dari Damaskus. Ia telah menjelajahi beberapa negara dan banyak mendapatkan pujian
dari masyarakat yang mengenalnya. Ia sangat masyhur, karena karya-karyanya khususnya pada buku-buku
syi’ir yang sangat populer. Ia wafat pada tahun 517 H.
10. Al-Ma’arri,
ia adalah Abu al-‘Ala’ al-Ma’arri. Dia seorang sastrawan, pilosof dan penyair masyhur, lahir di Ma’arrah
(kota kecil di Syam). Matanya buta karena
sakit cacar ketika berusia empat tahun. Dia meninggal di Ma’arrah pada tahun 449 H.
11. Ibn
Ta’awidzi, ia adalah penyair dan sastrawan Sibth bin at-Ta’awidzi. Wafat di Baghdad pada tahun 584 H, dan
sebelumnya buta selama lima tahun.
12. Abu
Fath Kusyajin, ia seorang penyair profesional dan terbilang sebagai pakar sastra. Ia cukup lama menetap di Mesir
dan berhasil mengharumkan negeri itu.
Dia wafat pada tahun 330 H.
13. Ibn
Khafajah, ia seorang penyair dari Andalus. Ia tidak mengharapkan kemurahan para raja sekalipun mereka
menyukai sastra dan para sastrawan. Ia wafat
pada tahun 533 H.
14. Muslim
bin al-Walid, ia dijuluki dengan Shari’ al-Ghawani. Ia seorang penyair profesional dari dinasti
Abbasiyah. Ia adalah orang yang pertama kali menggantungkan
syi’irnya kepada Badî’. Dia wafat pada tahun 208 H.
15. Abu al-‘Atahiyah,
ia adalah Ishaq bin Ismail bin al-Qasim, lahir di Kufah pada tahun 130 H.
Syi’irnya mudah di pahami, padat dan tidak banyak mengada-ada. Kebanyakan
syi’irnya tentang zuhud dan peribahasa. Dia wafat pada tahun 211 H.
16. Ibn Nabih, ia
seorang penyair dan penulis dari Mesir. Ia memuji Ayyubiyyin dan menangani
sebuah karya sastra berbentuk prosa buat Raja al-Asyraf Musa. Ia pindah ke Mishshibin dan wafat
di sana pada tahun 619 H.
17. Basysyar
bin Burd, ia seorang penyair masyhur. Para periwayat menilainya sebagai seorang penyair yang modern lagi
indah. Ia penyair dua zaman, Bani Umayah
dan Bani Abasiyah. Dia wafat pada tahun 167 H.
18. Al-Nabighah
Al-Dzubyani, ia adalah seorang penyair Jahiliyah. Ia dinamai Nabighah karena kejeniusannya dalam
bidang syi’ir. Ia dinilai oleh Abd al- Malik
bin Marwan sebagai seorang Arab yang paling mahir bersyi’ir. Ia adalah penyair khusus Raja Nu’man Ibn
al-Mundzir. Di zaman Jahiliyah, ia mempunyai
kemah merah khusus untuknya di pasar tahunan Ukash. Para penyair lain berdatangan kepadanya, lalu
mereka mendendangkan syi’irsyi’irnya untuk
ia nilai. Ia wafat sebelum kerasulan Muhammad saw.
19. Abu al-Hasan al-Anbari, ia seorang penyair
kondang yang hidup di Baghdad. Ia wafat pada tahun 328 H. Ia terkenal dengan
ratapannya kepada Abu Thahirbin Baqiyah, patih ‘Izz al-Daulah, ketika ia
dihukum mati dan tubuhnyadisalib. Maratsi-nya (ratapannya) itu merupakan
maratsi yang paling jarangmengenai orang yang mati disalib. Karena
ketinggiannya, Izzud Daulahsendiri memerintahkan agar dia disalib. Dan
seandainya ia sendiri yangdisalib, lalu dibuatkan maratsi tersebut
untuknya.
20. Syarif
Ridha, ia adalah Abu al-Hasan Muhammad yang nasabnya sampaikepada Husain bin
Ali as. Ia seorang yang berwibawa dan menjaga kesuciandirinya. Ia disebut
sebagai tokoh syi’ir Quraisy karena orang yang pintar di antara mereka tidak banyak karyanya, dan
orang yang banyak karyanya tidak pintar,
sedangkan ia menguasai keduanya. Ia lahir di Baghdad dan wafat di sana pada tahun 406 H.
21. Said
bin Hasyim al-Khalidi, ia seorang penyair keturunan Abdul Qais. Kekuatan hafalannya sangat mengagumkan.
Ia banyak menulis buku-buku sastra
dan syi’ir. Ia wafat pada tahun 400 H.
22. Antarah,
ia adalah seorang penyair periode pertama. Ibunya berkebangsaan Ethiopia. Ia terkenal berani dan
menonjol. Ia wafat tujuh tahun sebelum kerasulan
Muhammad. Ibnu Syuhaid
al-Andalusi, ia dari keturunan Syahid al-Asyja’i. Ia seorang pemuka Andalus dalam ilmu sastra. Ia
dapat bersyi’ir dengan indah dan karya tulisnya
bagus. Ia wafat di Kordova, tempat kelahirannya pada tahun 426 H. Al-Abyuwardi, ia adalah seorang penyair
yang fasîh, ahli riwayat, dan ahli nasab.
Karya-karyanya dalam bidang bahasa tiada duanya. Ia wafat di Ishbahan pada tahun 558 H. Abiyuwardi
adalah nama kota kecil di Khurasan.
23. Ibnu
Sinan al-Kahfaji, ia adalah seorang penyair dan sastrawan yang berpendirian syi’ah. Ia diangkat menjadi
wali pada salah satu benteng di Halab
oleh Raja Mahmud bin Saleh, tetapi ia memberontak terhadap raja. Akhirnya ia mati diracun pada tahun 466 H.
24. Ibnu Nubatah
Al-Sa’di, ia adalah Abu Nashr Abd al-Aziz, seorang penyair ulung yang sangat
lihai dalam merangkai dan memilih kata. Ia wafat pada tahun
405 H.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
stroom09@gmail.com