Teringat akan sebuah wanti-wanti yang
keluar dari mulut para orang tua, yang sebagian besar kini sudah menjadi
leluhur, dan sebagian lain sudah masuk ke fase nenek moyang.
Wanti-wanti yang sangat sederhana dan sepele untuk sekedar
diingat-ingat, karena hanya terdiri dari dua kata sifat. Ojo gumunan & ojo kagetan.
Artinya hindarilah sifat mudah terheran-heran dan gampang
terkaget-kaget. Pesan singkat itu dapat dimaknai dangkal, dapat pula
dimaknai secara mendalam. Pesan itu hanya mengingatkan kita agar selalu
menanamkan sifat yang tenang ke dalam diri. Pesan yang sederhana dan
tidak berlebihan namun kegunaannya luar biasa. Pribadi yang memiliki
ketenangan sifat dapat membangun sikap yang awas dan cermat. Ini sangat
menentukan sebuah keberhasilan dan kesuksesan hidup seseorang. Mampu
menentukan pilihan secara tepat, selanjutnya menetapkan perencanaan
untuk meraih target secara akurat dan teliti. Berkat ketepatan dan
ketelitian dalam usaha meraih target, apa yang dicita-citakan akan mudah
diwujudkan sesuai harapan. Pribadi yang tidak kagetan dan gumunan,
merupakan pribadi yang memiliki kematangan mental. Untuk membangun
kematangan mental memerlukan kesadaran lahir dan batin yang memadai.
Kita dapat bercermin pada orang-orang yang memiliki sikap sumeleh, sumarah dan legowo. Mereka itulah sebenarnya orang-orang yang powerfull, sudah mumpuni, mentalitasnya telah matang, sikapnya temuwo
(lebih dari dewasa). Tenang dan menghanyutkan. Tidak mudah obral janji,
keputusannya selalu tepat, sikapnya bijaksana dan pola pikirnya
mencerminkan seseorang yang arif berilmu tinggi. Di wajahnya terpancar
getaran energi kedamaian dan ketentraman. Getaran energi yang tumbuh
dari rahsa sejati (nurani) merupakan bahasa universal yang dapat
menembus lintas batas ruang dan dimensi. Tidaklah mengherankan bila
pancaran energinya dapat menimbulkan efek ketenangan dan kenyamanan bagi
yang memandanginya dan bagi orang-orang yang berada di dekatnya.
Pancaran energi tidak hanya sebatas dapat dirasakan oleh sesama manusia,
bahkan dapat dirasakan oleh entitas gaib, binatang dan tumbuhan.
Kata-kata sederhana, ojo gumunan dan ojo kagetan, bila
kita hayati dan implementasikan ternyata mampu membimbing diri kita
untuk selalu selaras dan harmonis dengan sifat-sifat alam semesta.
Kata-kata sederhana namun sungguh mendalam dan luas maknanya. Ngelmu iku yen ginulung amung sak mrico jinumput. Yen ginelar bakal ngebaki jagad.
Tenang bukan berarti lamban. Melainkan
sikap teliti, hati-hati, cermat dan akurat dalam menentukan sikap maupun
tindakan. Tidak bertindak grusa-grusu. Dalam falsafah hidup Jawa dikenal pula prinsip alon-alon waton kelakon.
Itu bukan berarti sifat bermalas-malas, lelet atau bertindak lamban dan
menjalani hidup dengan cara sekenanya saja (minimalis atau lebih dari
itu fatalis). Memaknai arti demikian itu lebih berupa stigma saja sebab
terdapat distorsi dalam memahami makna kalimat di atas. Alon-alon waton kelakon
lebih tepatnya senada dengan apa yang saya jelaskan di atas, yakni
sikap hati-hati, teliti. Sebaliknya, adalah pribadi yang bermental
kesusu yakni bersifat ingin selalu instan. Sedangkan sikap kemrungsung
adalah sikap selalu terburu-buru. Instan artinya sifat selalu ingin
segera dalam memenuhi keinginan, sesegera meraih tujuan dan harapan
tanpa melalui proses yang wajar, ilmiah dan alamiah. Instan berarti
maunya potong kompas, atau mengambil jalan pintas karena mau untungnya
sendiri dan enaknya sendiri. Dengan berbagai alasan misalnya agar tidak
ada orang lain yang dapat mendahului langkahnya. Sikap kemrungsung
bisa timbul sebagai akibat takut “ketinggalan kereta” lalu tidak
kebagian jatah. Disadari atau tidak gejala sifat-sifat yang negatif itu
telah mewabah di kalangan masyarakat hingga pejabat kita. Kesannya
mereka sedang berlomba-lomba dalam meraih prestasi atau sesuatu yang
bernilai positif. Namun apakah demikian faktanya. Coba kita lebih
mencermati apa yang sedang terjadi. Yang tampak bukan lagi
berlomba-lomba dalam berkarya mengejar prestasi melainkan sepak terjang
berebut kesempatan. Walau tidak saling menjatuhkan antar kompetitor,
namun bila dilakukan dengan cara kesusu dan kemrungsung
agar segera dapat mewujudkan keinginannya tanpa melalui proses dan
prosedur yang tepat justru akan beresiko besar. Hal itu terjadi saat
seseorang mengambil keputusan, kebijaksanaan, dan pada saat berusaha
mewujudkan keinginannya melalui proses yang disingkat-singkat. Saya
hanya akan menyampaikan bahwa sikap gumunan dan kagetan dampaknya
sangatlah buruk, baik pada saat kita berusaha mewujudkan keinginan
maupun pada saat menghadapi situasi dsn kondisi darurat. Apapun
mendesaknya sebuah keinginan, betapapun pahit situasi dan kondisinya
tetap dibutuhkan ketenangan pikir, kedewasaan sikap dan mentalitas
secara matang. Supaya tidak semakin terpuruk oleh keadaan yang kurang
menguntungkan. Terlebih lagi saat ini di mana situasi dan kondisi
perekonomian dirasakan oleh sebagian besar masyarakat sangat menghimpit.
Ciri-ciri sikap gumunan dan kagetan adalah
berlangsungnya rembugan proyek yang selalu menghitung-hitung keuntungan,
lalai menganalisa resiko, enggan memprediksi kendala dan hambatan yang
mungkin timbul. Menjadikan orang mudah kena tipu daya hanya dengan
iming-iming kata-kata manis. Belum lagi sering dihadapkan pada keadaaan
darurat karena faktor alam maupun ulah manusia lainnya. Di pihak lain,
kebijakan yang bersifat esensial seringkali diambil pemerintah secara grusa-grusu,
instan, tanpa menghiraukan bahwa semua itu butuh proses demi proses
yang tidak singkat. Lihat saja demam kenaikan BBM, demam Pertamax, demam
penggantian BBM menjadi BBG, dst. Seolah para pejabat tak ingat bahwa
semua itu butuh proses dan waktu yang panjang. Semua itu lebih terkesan
sebagai bentuk demam panggung para pejabat di negara ini. Apalagi
semenjak Jokowi berusaha membuat inovasi baru dengan mobil Esemka-nya
sepertinya telah berhasil memancing banyak orang berlomba membuat
mobnas. Di satu sisi kita bisa bangga melihat semangat dan geliat
kesadaran untuk menciptakan berbagai macam produk nasional. Tetapi
apakah hal itu sekedar “demam” megatrend atau sungguh-sungguh sebagai
usaha yang dilandasi kesadaran patriotik dan semangat nasionalisme ?
Atau hanya sekedar sikap reaksioner gumunan dan kagetan ? Monggo
dianalisa secara jernih dan cermat. Pada kenyataannya sikap kagetan dan
gumunan ternyata telah menjangkitkan penyakit demam di kalangan
masyarakat maupun pejabat di negeri ini. Termasuk demam akan mimpi-mimpi
yang indah. Awalnya saya turut bangga beberapa putra bangsa mampu
berkarya membuat mobil nasional. Sayangnya Pemerintah terkesan setengah
hati merespon geliat semangat membangun yang dilakukan oleh para putra
bangsa termasuk generasi muda yang berprestasi dalam bidang ilmu
pengetahuan dan teknologi. Ternyata “perlombaan” menciptakan mobnas pada
akhirnya terkesan seolah untuk menunjukkan bahwa yang bisa berbuat
begitu tidak cuma kamu. Aku juga bisa. Ini bukan kalimat antipati
sebaliknya mengajak untuk selalu instropkesi diri, hendaknya dalam
membuat menetapkan kebijakan disertai kematangan sikap agar tidak
sekedar karena sikap kagetan dan gumunan. Kita semua
rakyat Indonesia yang jelata dan yang berkuasa hendaknya membiasakan
diri agar membuat suatu rencana dan target pencapaian tujuan dilakukan
secara matang, tepat, dan akurat. Idealnya tidak membiasakan diri untuk
bersikap ela-elu, ikut-ikutan, tetapi hendaknya melakukan suatu rencana dan pekerjaan atas dasar kematangan sikap dan mental. Ojo kagetan dan ojo gumunan. Coba saja kita amati orang seringkali membuka suatu usaha hanya karena anut grubyuk atau sekedar ikuti trend setelah melihat tetangga dan teman yang laris manis ketika membuka suatu usaha. Sikap mental kagetan
hanya melihat sisi manisnya saja, asik menghitung laba ketimbang
menganalisa dan memahami menejemen bisnis dan apa saja resikonya. Di
satu sisi bisa saja dimaklumi karena kurangnya pengetahuan ekonomi dan
minimnya pengalaman. Namun kendala itu tak perlu menjadi alasan karena
siapapun bisa belajar, minimal mau bertanya dan minta saran kepada
orang-orang yang tepat dan yang sudah kapabel, punya banyak pengalaman
di bidangnya.
Sikap kagetan dan gumunan cenderung membuat diri kita lengah. Menjadi pribadi yang kurang waspada dan kurang eling (silahkan baca posting saya tentang: Makna eling dan wasapada). Suka bertindak gegabah dan ela-elu,
ikut-ikutan sana-sini tak jelas manfaat dan tujuannya. Sempat beberapa
waktu lalu, mungkin juga sampai saat ini masih banyak orang yang ingin
mengejar harta karun. Dalam arti harta karun entah milik siapa, yang
tersimpan di suatu tempat tersembunyi dan dianggap sudah tak bertuan.
Bukan harta karun yang didapat, sebaliknya jusru banyak kehilangan beaya
operasional dan membuatnya benar-benar bangkrut. Karena urusan harta
karun sudah dijadikan orang sebagai alasan untuk melakukan tipu daya.
Sasarannya adalah orang-orang yang mudah kagetan dan gumunan
terlebih lagi yang sedang mengalami kejatuhan ekonomi, namun masih
punya sisa duit. Akan menjadi sasaran empuk sindikat harta karun.
Satu kalimat singkat dan sederhana berisi pesan turun-temurun dari para pendahulu kita ; ojo kagetan lan ojo gumunan, tetapi sungguh telah mengajarkan kepada kita terutama generasi muda agar kalis ing rubedo, nir ing sambekala,
aman sejahtera dalam menjalani kehidupan ini. Menuntun kita untuk hidup
secara teliti, hati-hati, tidak ceroboh dan gegabah. Sinambung dengan
pesan lainnya ; tansah eling lan waspada. Dapat menjadikan diri kita sebagai pribadi yang memiliki kematangan lahir dan batin, tangguh, tatas titis tetes dalam meraih kesuksesan hidup.
Salam Karaharjan
Salam Karaharjan
referensi:sabdalangit.wordpress.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
stroom09@gmail.com