Nashruddin menghadiri sebuah pesta pernikahan. Dilihatnya seorang sahabatnya sedang asyik makan. Namun, si sahabat tampak rakus. Di samping makan sebanyak-banyaknya, dia sibuk pula mengisi kantung bajunya dengan makanan.
Melihat kerakusan sahabatnya, Nashruddin mengambil teko berisi air. Diam-diam, diisinya kantung baju sahabatnya dengan air itu.
Tentu saja sahabatnya terkejut, dan berteriak, “Hai Nashrudin, gilakah kau? Masa, kantungku kau tuangi air!”
“Maaf, aku tidak bermaksud buruk, Sahabat. Karena tadi kulihat betapa banyak makanan ditelan oleh kantungmu, aku khawatir dia akan haus. Karena itu kuberi minum secukupnya,” jawab Nashruddin.
Salah satu ibrah yang kita petik dari kisah di atas, kita harus mengingatkan jika sahabat kita terjerumus dan dikendalikan sifat-sifat buruk, dalam kisah ini adalah sifat rakus.
Islam mengajarkan, makan dan minum adalah sekadar kebutuhan, bukan keinginan. Rasulullah SAW bersabda, yang artinya, “Tidak ada bejana yang diisi oleh manusia yang lebih buruk dari perutnya, cukuplah baginya memakan beberapa suapan sekadar dapat menegakkan tulang punggungnya (memberikan tenaga). Jika tidak mau, ia dapat memenuhi perutnya dengan sepertiga makanan, sepertiga minuman, dan sepertiga lagi untuk bernapasnya.” (HR Ahmad, Ibnu Majah).
Ketika makan dan minum adalah kebutuhan, saat kebutuhan itu sudah terpenuhi, kegiatan makan dan minum tentu akan kita hentikan. Lain halnya jika makan dan minum adalah keinginan, bukan sekadar kebutuhan, walau kebutuhan itu sudah terpenuhi, karena keinginan mulut terus menuntut, kegiatan makan dan minum akan berlanjut. Sehingga, tidak jarang, kita akan kekenyangan dan bahkan muntah.
Apa yang dilakukan sahabat Nashrudin itu adalah perwujudan sifat rakus.
Rakus atau tamak, keinginan untuk memperoleh sesuatu melebihi yang dibutuhkan, akan membawa seseorang pada dua perilaku negatif yang sangat dilarang dalam Islam.
Pertama, menghalalkan segala cara. Perilaku korupsi, yang di era reformasi ini alhamdulillah semakin banyak yang terungkap, misalnya, salah satunya karena sifat rakus ini.
Kedua, pelit atau bakhil. Karena sifat pelit ini, seseorang tidak pernah berpikir untuk berbagi kepada orang lain. Padahal Islam mengajarkan, pada sebagian harta kita ada hak faqir miskin. Dan karena itu adalah hak mereka, kita berkewajiban untuk memberikannya kepada mereka. Misalnya dalam bentuk zakat.
Juga ada hadits yang menyebutkan, “Bukanlah termasuk ke dalam golongan kami, mereka yang dalam keadaan kenyang sedangkan tetangganya kelaparan.” (HR Al-Bukhari).
Banyak yang meyakini, jika seluruh umat Islam Indonesia benar-benar melaksanakan ajaran “Pada sebagian harta kita ada hak faqir miskin” dan “Bukanlah termasuk ke dalam golongan kami, mereka yang dalam keadaan kenyang sedangkan tetangganya kelaparan”, tidak ada orang Indonesia yang hidup di bawah garis kemiskinan.
Pada dasarnya, Islam tidak melarang kita untuk mendahulukan kepentingan kita. Yang dilarang adalah apabila dalam upaya mendahulukan kepentingan kita itu kita merugikan orang lain. Apa yang dilakukan sahabat Nashrudin itu telah sampai pada tahap ini. Dia telah mengambil hak orang lain, dengan menumpuk makanan dalam kantung bajunya.
Seorang muslim harus menjauhi sifat rakus. Dan sesungguhnya ini tidak sulit. Caranya? Buang jauh-jauh keinginan untuk hidup mewah. Jadikan hidup sederhana sebagai gaya hidup.
Caranya harus Bijak
Di atas dikatakan, ketika sahabat kita terjerumus dan dikendalikan sifat-sifat buruk, dalam kisah ini sifat rakus, kita harus mengingatkannya. Namun, yang juga perlu diperhatikan, cara mengingatkannya pun harus baik. Bila perlu, tidak secara langsung, sebagaimana yang dilakukan Nashruddin terhadap sahabatnya itu.
Nashruddin, yang melihat fakta bahwa sahabatnya itu rakus, tidak secara langsung menasihati atau mengingatkan dia. Nashruddin hanya mengatakan, “Maaf, aku tidak bermaksud buruk, Sahabat. Karena tadi kulihat betapa banyak makanan ditelan oleh kantungmu, aku khawatir dia akan haus. Karena itu kuberi minum secukupnya.”
Sebagai seorang wali, apalagi didukung wawasan dan pergaulan yang luas, Nashruddin tentu memahami tingkat pemahaman sahabatnya itu. Dengan sindirannya tersebut, diharapkan si sahabat akan sadar dengan sifat buruknya itu.
Lain halnya jika yang kita hadapi adalah mereka yang tingkat pemahaman dalam berkomunikasinya kurang. Kita perlu menggunakan bahasa yang lebih berterus terang. Tapi, sekali lagi, tetap dengan cara yang baik.
koleksi ilmu hikmah, kisahsufi,tasawuf,fengshui,maulid,desain grafis,batu akik,batu obsidian, paypal pay,za,pendanaan,RENTAL MOBIL proyek,investor,funder,kredit kpr,pinjaman multi guna ,pialang,wali amanat,SEWA MOBIL CIREBONtaxi online cirebondan lain-lain
koleksi ilmu-ilmu hikmah,kisah 2 tokoh sufi.teknologi tips n trik dll
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
stroom09@gmail.com