Siang itu Dora dan Sembadha, punggawa dari kerajaan Majethi di India, sedang berbincang-bincang mengenai niat tuan mereka pangeran Aji Saka yang akan pergi berpetualang. Mereka sedang mengira-ngira siapa diantara mereka yang akan diajak serta.
“Aku sih berharap aku yang akan diajak,” kata Dora.
“Lah aku juga ingin ikut berpetualang. Pasti menarik mengunjungi negeri-negeri yang belum kita kenal,” ujar Sembadha.
“Yah kita lihat saja keputusan pangeran
Aji Saka. Apapun keputusannya, pastilah hal yang terbaik karena pangeran
Aji Saka bukanlah manusia sembarangan. Ia adalah titisan sang Buddha.
Kita harus percaya pada keputusannya,” kata Dora.
Beberapa saat kemudian kedua punggawa itu dipanggil oleh pangeran Aji Saka.
“Paman-pamanku yang baik. Seperti telah
kalian ketahui, aku akan pergi mengembara dan melihat-lihat
negeri-negeri lain untuk menambah ilmu. Dan karena hanya paman berdualah
yang aku percayai maka paman berdua aku beri tugas yang berbeda. Paman
Dora aku percayai untuk menemaniku melakukan perjalanan dan paman
Sembadha aku percayai untuk menjaga Majethi selama aku pergi. Bagaimana
paman, apakah paman setuju?” kata pangeran Aji Saka.
“Kami dengan senang hati menuruti perintah pangeran,” ujar kedua punggawa serempak.
“Bagus! Paman Sembadha aku percayakan
semua harta dan pusaka kerajaan ini di tanganmu. Ingatlah. Jangan kau
berikan pusaka kerajaan kepada siapapun kecuali aku sendiri yang
mengambilnya,” kata pangeran Aji Saka.
“Titah dilaksanakan pangeran,” jawab Sembadha.
Setelah semua persiapan selesai, pangeran
Ajisaka dan punggawa Dora berangkat mengarungi samudra yang luas dan
ganas. Berhari-hari hingga berbulan-bulan mereka diterjang ombak dan
badai. Suatu pagi yang cerah seorang awak kapal mengumumkan sebuah
daratan telah terlihat di kejauhan. Mereka pun bersiap untuk mendarat.
Singkat kata tibalah mereka di daratan.
Pangeran Aji Saka memerintahkan para awak kapal untuk menunggu mereka di
kapal, sementara ia dan Dora akan menjelajahi daratan tersebut. Setelah
bertanya kepada seorang penduduk yang sedang terburu-buru, diketahuilah
bahwa daratan itu adalah milik kerajaan Medang Kamulan yang diperintah
oleh raja bernama Dewata Cengkar. Pangeran Aji Saka dan Dora meneruskan
perjalanan melewati kampung-kampung yang telah kosong ditinggalkan
penduduknya.
“Aneh, kenapa kampung-kampung ini kosong
ya? Apa di sini sedang terjadi wabah yang mematikan sehingga para
penduduknya habis?” tanya pangeran Aji Saka.
“Entahlah pangeran. Sepertinya sih
rumah-rumah ini kosong karena penghuninya pindah, lihat saja mereka juga
membawa semua perabotannya,” kata Dora.
“Hmmm…benar juga. Pasti ada sesuatu yang membuat para penduduk lari ketakutan. Kita harus mencari tahu paman,” kata pangeran.
Di sebuah kampung mereka bertemu dengan
seorang kakek yang sedang kehausan. Pangeran Aji Saka segera memberikan
bekal minumnya untuk si kakek.
“Terima kasih nak. Kamu baik sekali. Tapi kenapa kau tidak ikut mengungsi? Apa kau tidak takut mati?” tanya si kakek.
“Takut kenapa Kek? Apa sedang ada wabah
di desa ini. Saya melihat rumah-rumah di sini kosong semua. Apakah yang
sedang terjadi?” tanya pangeran Aji Saka.
“Oh kau pasti bukan orang sini ya? Para
penduduk di sini semuanya melarikan diri karena takut dimangsa oleh raja
Dewata Cengkar,” jawab Kakek.
“Lho memang raja di sini bukan manusia?” tanya Dora kaget.
“Aku juga bingung dia itu termasik
manusia atau bukan,” jawab kakek. “Dulu dia adalah raja yang baik dan
bijaksana. Tapi kemudian ia berubah menjadi monster seperti sekarang.”
“Kakek, tolong ceritakan pada kami secara detail supaya kami mengerti,” pinta pangeran.
“Yah seperti yang aku bilang tadi, raja
kami asalnya baik dan kami mencintainya. Suatu hari juru masaknya tanpa
sengaja memotong jarinya hingga tercemplung ke dalam masakan yang akan
di santap oleh raja. Dan tanpa sengaja raja kami memakannya. Raja sangat
terkesan dengan rasa daging yang menurutnya sangat lezat. Ia menanyai
juru masaknya, daging apa yang ia makan. Setelah ia tahu bahwa daging
itu adalah daging manusia, ia memerintahkan patihnya untuk
mempersembahkan seorang rakyatnya untuk ia makan setiap hari.Begitulah
hari demi hari kami hidup ketakutan. Sebagian dari kami tewas
dimangsanya dan sebagian lagi melarikan diri,” kata si kakek panjang
lebar.
Pangeran Aji Saka termenung mendengar pejelasan si kakek. Hatinya tergerak untuk menghentikan kelaliman raja Dewata Cengkar.
“Paman kita harus pergi menemui raja lalim itu,” kata pangeran Aji Saka.
Keduanya segera meneruskan perjalanan
menuju istana kerajaan Medang Kamulan. Di pintu gerbang mereka disambut
dua orang penjaga yang setelah dijelaskan maksud kedatangannya, membawa
mereka menghadap patih kerajaan.
“Benarkah kau ingin menyerahkan dirimu untuk dimangsa oleh raja kami, anak muda,” tanya Patih keheranan.
“Betul paman,” jawab pangeran.
“Coba pikirkan lagi niatmu. Aku tidak
sampai hati mengorbankanmu,” kata patih yang timbul rasa sayangnya
melihat pangeran Aji Saka yang masih muda dan sangat tampan serta gagah.
“Tekadku sudah bulat paman. Asalkan raja mau memenuhi persyaratanku,” kata pangeran.
“Baiklah. Kau sampaikan saja sendiri persyaratanmu kepada raja,” kata patih.
Pangeran Aji Saka dibawa menghadap raja Dewata Cengkar. Setelah menyampaikan maksudnya ia menyatakan persyaratan yang ia minta.
“Saya ingin diberi tanah seluas sorban yang aku pakai ini,” kata pangeran.
“Ho ho ho…hanya itu? Baiklah, baiklah.
Itu sih syarat yang sangat enteng. Tapi sebenarnya sayang betul kalau
pemuda setampan kamu aku makan. Kamu lebih pantas jadi abdiku. Hmmm…aku
akan tetap memberimu hadiah yang kau minta, tapi kamu tidak akan aku
makan. Biar si patih mencarikan korban baru untukku. Pengawalmu juga
boleh hahaha…” kata raja Dewata Cengkar yang membuat tubuh Dora panas
dingin.
Raja segera bangkit dari singgasananya.
Dengan isyarat tangannya ia menyuruh pangeran Aji Saka mengikutinya.
Mereka tiba di halaman istana.
“Nah, di sini saja kita mulai mengukur. Ayo bentangkan sorbanmu!” kata raja Dewata Cengkar.
Pangeran Aji Saka membuka sorban yang melilit kepalanya. Ia menyerahkan satu ujungnya kepada raja Dewata Cengkar.
“Tuan, tolong pegang ujung sorban ini.
Aku akan memegang ujung satunya. Batas yang pertama adalah tanah yang
kuinjak dan ujungnya adalah sepanjang sorban ini. Jangan berhenti hingga
sorban ini tidak dapat lagi ditarik,” kata pangeran.
“Baik, aku akan mulai menariknya,” ujar raja.
Raja Dewata Cengkar menarik sorban
tersebut. Ia mudur, mundur dan mudur. Namun sorban itu tetap saja
kendur, seolah panjang sorban itu tidak ada habisnya. Yang tidak
diketahui oleh raja Dewata Cengkar adalah bahwa sorban itu bukan sorban
sembarangan melainkan sorban sakti yang tidak akan habis panjangnya
sebelum diperintahkan berhenti oleh pemiliknya.
Keringat mulai membasahi tubuh raja
Dewata Cengkar. Kini ia telah jauh dari istananya tapi sorban yang
ditariknya tetap kendur. Ia mulai murka. Sebagai orang sakti ia mengerti
bahwa ia telah dibodohi. Tapi sebagai raja ia juga pantang melanggar
janji. Hingga akhirnya ia tiba di pinggir tebing. Di bawahnya ombak laut
pantai selatan menggelegak. Saat itu pula pangeran Aji Saka
menghentakkan sorbannya membuat tubuh raja lalim itu terpelanting dan
tercebur ke dalam samudera. Tubuhnya berubah menjadi buaya putih.
Patih Medang Kamulan bersuka cita karena
terbebas dari tugas yang membebani jiwanya. Segera ia mengutus
prajurit-prajurit kerajaan untuk mengumumkan kematian raja Dewata
Cengkar dan mengangkat pangeran Aji Saka menjadi raja Medang Kamulan.
Keputusan itu disambut rakyat dengan suka cita.
Pangeran Aji saka memerintah kerajaan
Medang Kamulan dengan arif dan bijaksana sehingga kerajaan itu kembali
aman dan makmur. Setelah beberapa waktu lamanya ia teringat akan
pusakanya yang ia tinggal di Majethi dan dijaga oleh Sembadha. Maka ia
memanggil Dora untuk menghadapnya.
“Paman Dora, aku meminta kesediaan paman
untuk menjemput paman Sembadha dan membawa pusakaku yang dijaganya
kemari,” titah pangeran Aji Saka.
Dora tanpa membuang waktu segera berlayar
menuju Majethi. Singkatnya kedua teman yang sudah lama tidak berjumpa
itu saling berpelukan melepaskan rindu.
“Wah. Apa kabar sahabatku Dora? Aku sudah khawatir kalian melupakanku,” kata Sembadha.
“Tentu saja kami tidak melupakanmu!
Justru aku diutus untuk menjemputmu sekaligus membawa pusakanya untuk
dibawa ke pulau Jawa, karena pangeran kini sudah menjadi raja di sana,”
kata Dora.
“Tunggu! Pangeran menyuruhku meninggalkan Majethi dan menyerahkan pusaka kerajaan kepadamu?” tanya Sembadha.
“Ya betul. Itu perintah pangeran,” kata Dora mantap.
“Maaf aku tidak bisa melaksanakannya.
Pangeran Aji Saka sendiri yang memerintahkanku menjaga kerajaan Majethi
dan aku tidak boleh menyerahkan pusaka ini kepada siapapun kecuali
pangeran sendiri yang mengambilnya,” tolak Sembadha.
“Lho aku juga diperintah kok! Atau
jangan-jangan kamu sudah merasa menjadi raja di sini hingga tidak mau
menemui tuanmu,” kata Dora emosi.
“Enak saja kalau bicara! Mungkin justru
kamu yang ingin mengkhianati tuanmu. Mana buktinya kalau kau benar-benar
diperintah oleh pangeran Aji Saka. Siapa tahu kau hendak mencuri pusaka
kerajaan,” balas Sembadha tak kalah emosi.
“Sembarangan ya! Kamu memang harus diberi pelajaran,” teriak Dora sambil menghunus kerisnya.
Ujung keris itu menghujam perut Sembadha
yang terkejut dengan serangan mendadak tersebut. Tapi ia masih sempat
menghujamkan senjatanya juga ke ulu hati Dora. Mereka berdua mata
mempertahankan keyakinannya masing-masing.
Berita kematian mereka sampai juga di
telinga pangeran Aji Saka. Ia sangat sedih. Untuk mengenang kesetiaan
mereka berdua ia mengukir beberapa kalimat di sebuah batu. Bunyi kalimat
itu adalah:
Ha Na Ca Ra Ka - Ada utusan
Da Ta Sa Wa La - Saling bertengkar
Pa Dha Ja Ya Nya - Sama saktinya
Ma Ga Ba Ta Nga - Sama-sama menjadi mayat.
Da Ta Sa Wa La - Saling bertengkar
Pa Dha Ja Ya Nya - Sama saktinya
Ma Ga Ba Ta Nga - Sama-sama menjadi mayat.
Huruf-huruf yang diukir oleh pangeran Aji Saka ini menjadi asal-usul huruf Jawa.
About these ads
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
stroom09@gmail.com