Nafkah anak adalah tanggungan seorang ayah, baik ibunya masih istri dari ayahnya itu maupun telah diceraikan, hingga anak-anak tersebut dewasa dan dapat mandiri, barulah terlepas kewajiban ayah tersebut dari memberi nafkah kepada anak-anaknya. Jadi, Ibu boleh meminta kepada ayahnya biaya nafkah anak-anak Ibu, sebab itu memang masih tanggungan si ayah.
Adapun tentang masa ‘iddah bagi wanita yang sudah menopause, atau wanita yang sudah berhenti kebiasaan haidhnya, adalah sebagai berikut:
1. Jika ditinggal mati suaminya, ‘iddahnya adalah empat bulan sepuluh hari; dan jika tidak ditinggal mati oleh suaminya, ‘iddahnya tiga bulan qamariyah (hitungan bulan pada tahun Hijriyah).
2. Jika wanita yang tidak mengalami haidh menjalankan ‘iddahnya dengan hitungan tiga bulan, tiba-tiba ia mengalami haidh sebelum masa ‘iddahnya selesai, ia berpindah dari ‘iddahnya ke ‘iddah wanita yang mengalami haidh. Jadi, ia harus menunggu tiga kali suci dari haidhnya, dan yang lalu tidak dianggap sebagian dari masa ‘iddahnya.
3. Begitu pula jika seorang istri menjalankan ‘iddah raj’iyah (’iddah karena ditinggal mati suami), ternyata kemudian suaminya meninggal sebelum selesai ‘iddahnya, ia berpindah dari ‘iddahnya ke ‘iddah istri yang ditinggal mati suaminya, yaitu empat bulan sepuluh hari.
Tanggungan Siapa?
Mengenai tanggungan suami atas istri yang telah dicerai, karena terkadang seorang istri menjalankan ‘iddah raj’iyah, ‘iddah karena ditinggal mati suami, atau ‘iddah mabtutah (istri yang di-thalaq ba’in), hukumnya diperinci sebagai berikut (Thalaq ba’in adalah thalaq yang dijatuhkan suami dan mantan suami tidak boleh merujuk kecuali dengan pembaruan akad nikah dengan seluruh syarat dan rukunnya. Thalaq ba’in ada dua macam. Yakni, pertama, ba’in shughra, menghilangkan pemilikan mantan suami terhadap mantan istrinya tetapi tidak menghilangkan bolehnya mantan suami untuk rujuk dengan memperbaharui akad nikah. Kedua, ba’in kubra, atau thalaq tiga, mantan suami tak boleh rujuk kembali kecuali jika mantan istrinya pernah menikah lagi):
1. Mu’taddah raj’iyah (istri yang telah dithalaq dan suaminya masih dapat rujuk). Wajib atas suami menanggung hal-hal yang ditanggung oleh suami atas istri, seperti nafkah, pakaian, dan lain-lain, kecuali alat kecantikan, semasa ‘iddah istri.
2. Mu’taddah yang ditinggal mati suami. Istri yang ditinggal mati suaminya diwajibkan untuknya hanya tempat tinggal selama ia menjalankan ‘iddah hingga rampung. Adapun nafkah dan lain-lain dari uangnya sendiri, yang akan didapat dari harta waris suaminya.
3. Mabtutah, baik yang dithalaq ba’in shughra maupun kubra. Adapun bagi mabtutah, jika ia sedang hamil, wajib atas suami menanggung hal-hal yang ditanggung oleh suami atas istri; dan jika tidak sedang hamil, suami hanya wajib menyediakan tempat tinggal sampai selesai ‘iddahnya
Di manakah seorang istri tinggal selama masa ‘iddahnya? Jawabannya, di mana seorang istri dicerai, di sana pula ia harus tinggal. Sebagaimana firman Allah SWT:
Janganlah kamu keluarkan mereka dari rumah mereka dan janganlah mereka diizinkan keluar, kecuali kalau mereka mengerjakan perbuatan keji yang terang – QS Ath-Thalaq: 1.
Jika rumah itu tidak layak baginya, ia boleh minta pindah ke tempat tinggal yang layak. Jika tempat itu layak, ia tidak boleh keluar dari rumah itu, baik rumah itu milik suami maupun miliknya sendiri. Jika rumah itu milik sang istri, ia boleh minta uang sewa dari suami.
Apabila ketika jatuh thalaq padanya ia berada di rumah orang lain, jika orang tersebut bersedia menyewakannya, wajib atas suami menyewa untuknya sampai selesai ’iddahnya. Jika ia tidak bersedia, ia boleh pindah ke rumahnya atau rumah suami, karena wanita yang menjalankan ’iddah tidak boleh keluar dari rumah tempat ia berada di dalamnya ketika jatuh thalaq padanya, kecuali istri yang tidak ditanggung nafkahnya oleh suami, seperti mabtutah, boleh keluar untuk mencari nafkah selama tidak ada yang dapat menggantikannya untuk itu, dan juga boleh keluar di dalam masalah-masalah berikut:
1. Boleh keluar ke rumah tetangga untuk mencari hiburan jika di rumah ia merasa sumpek, dengan syarat ia menginap di rumahnya.
2. Boleh keluar jika ia merasa terusik oleh tetangganya.
3. Boleh keluar jika ia takut dirinya akan diperkosa atau khawatir pada bahaya-bahaya yang mengancam jiwa lainnya.
4. Boleh keluar jika rumah itu akan roboh.
Jadi kalau Ibu tidak ditanggung nafkahnya oleh mantan suami, Ibu boleh keluar untuk bekerja sekadarnya, yaitu untuk memenuhi kebutuhan hidup.
Demikian, semoga hal ini dapat dipahami oleh Ibu dan semua pembaca alKisah.
===
Fiqhun-Nissa’
Diasuh oleh: Ustadz Segaf bin Hasan Baharun, M.H.I.
Pengasuh Pondok Puteri Pesantren Darul Lughah wad Da’wah, Bangil, Jawa Timur
referensi :majalah alkisah.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
stroom09@gmail.com