koleksi ilmu-ilmu hikmah,kisah 2 tokoh sufi.teknologi tips n trik dll

Minggu, Agustus 04, 2013

ulama-ulama guru bangsa part 1

Assalamualaikum wr wb.salam sejahtera buat pembaca blog stroom09 yg setia hadir membaca artikel-artikel blog stroom09.kali ini saya akan mencoba memposting sekilas ulama pendidik,pendidik ulama.yuk kita simak bareng2 artikel di bawah ini semoga ada pelajaran yang dapat kita ambil dari kisah  perjuangan ulama tersebut.biar gagh penasaran langsung saja ya.

Ahlussunnah wal Jama’ah merupakan paham keagamaan mayoritas umat Islam di Indonesia. Kehadiran As­waja di Indonesia seiring dengan kehadir­an agama Islam itu sendiri yang kemudi­an diaplikasikan lebih lanjut oleh Wali­sanga dan ulama-ulama setelahnya. Belakangan ini istilah “Ahlussunnah wal Jama’ah” kembali mencuat ke permuka­an setelah datangnya ideologi-ideologi Islam transnasionalis yang diimpor dari Timur Tengah.
Konsep Aswaja yang ditawarkan oleh kelompok-kelompok anyar ini sangat rigid dan cenderung menyalahkan kelompok lainnya yang berbeda paham dengan me­reka. Mereka ingin mengubah berbagai laku ritual dan pemahaman agama mayo­ritas umat muslim di Indonesia yang su­dah mapan dengan dalih telah menyalahi aturan yang ditetapkan oleh Al-Qur’an.
Mereka lupa, wajah Indonesia yang begitu ramah tidak lain adalah karena jasa-jasa para ulama terdahulu yang telah membentuk karakter putra-putri bangsa ini menjadi pribadi-pribadi yang sangat menjunjung tinggi toleransi dan keragam­an, sebagai ciri utama ke-Aswaja-an itu sendiri, melalui pendidikan yang mereka terapkan di Bumi Pertiwi tercinta ini.
Dalam kaitannya dengan pendidikan, setiap ulama dalam Islam adalah para pendidik, yang mata rantai keilmuannya sampai kepada Rasulullah SAW. Itulah sebabnya, Islam sebagai ajaran yang rahmatan lil ‘alamin, rahmat bagi alam semesta, dan senantiasa shalihun li fi kulli makanin wa li kulli zamanin, shalih di setiap tempat dan zaman, tak pernah putus dari melahirkan ulama-ulama yang tampil sebagai tokoh pembaharu di setiap masa dan waktu. Sehingga wajah Islam yang damai dan penuh kasih sayang akan selalu menghiasi bumi ini hingga da­tangnya hari Kiamat.
Dalam rangka menyambut datangnya tahun ajaran baru, 2012-2013, alKisah me­nampilkan kembali “tiga” guru bangsa dari tiga organisasi Islam terbesar di Indo­nesia, yang merupakan benteng utama Aswaja di negeri ini, yakni Nahdlatul Ulama (NU), Nahdlatul Wathan (NW), dan Persatuan Tarbiyah Islamiyah (Tarbiyah).
K.H. Wahid Hasyim Asy‘ari
K.H. Wahid Hasyim Asy‘ari adalah putra dan penerus pendiri NU, K.H. Hasyim Asy‘ari.
Puluhan santri dan warga Tebuireng berdesakan di masjid pondok pesantren. Mereka tengah menggelar pengajian yang rutin digelar setiap Jum‘at seusai shalat Isya. Suara mereka terdengar hing­ga ke dalam kasepuhan, yang ber­jarak sekitar 10 meter dari masjid. Ka­sepuhan adalah tempat bermukim ke­luarga besar Hadhratusy Syaikh K.H. Hasyim Asy‘ari, pendiri Nahdlatul Ulama dan sekaligus pendiri serta pengasuh Pondok Pesantren Tebuireng, Jombang, Jawa Timur.
Malam itu, 1 Juni 1914, suasana di dalam kasepuhan tak kalah ramai. Nyai Nafiqah, istri K.H. Hadhratusy Syaikh K.H. Hasyim Ash‘ari, tengah menahan rasa sakit lantaran detik-detik kelahiran bayi yang dikandungnya makin dekat. Ia di­kelilingi sejumlah kerabat dan pelayan dekat.
Menjelang malam, dari dalam kase­puh­an melengking tangis bayi. Nyai Nafi­qah melahirkan bayi laki-laki. Air mata ba­hagia pun keluar dari putri Kiai Ilyas, pengasuh Pondok Pesantren Sewulan, Madiun, itu.
Kiai Hasyim memberi nama putranya yang baru lahir itu “Muhammad Asy`ari”. Nama ini diambil dari nama ayah Kiai Hasyim sendiri. Kiai Hasyim mewariskan nama itu kepada sang bayi karena empat kakaknya semuanya perempuan.
Tapi sebulan kemudian, nama ini diganti, karena Asy‘ari kecil sering sakit hingga tubuhnya makin lama makin ku­rus. Nama itu dianggap terlalu berat di­sandang sang bayi. Kiai Hasyim kemudi­an mengganti nama putra pertamanya itu dengan “Abdul Wahid Hasyim”.
Karena ia anak lelaki pertama, hal itu merisaukan ibundanya, Nyai Nafiqah. Sang ibu pun bernazar, pada usia tiga bulan Wahid akan dibawa ke guru ayah­nya, K.H. Cholil, di Bangkalan, Madura.
Ketika waktu itu tiba, Bangkalan se­dang diguyur hujan lebat. Petir sambar-menyambar. Bukannya membukakan pintu, Kiai Cholil malah meminta tamu dan bayinya itu menunggu di halaman rumah.
Karena cemas melihat bayinya kehu­janan, Nyai Nafiqah menggendong sang bayi berteduh di emper sambil berdoa.
Tuan rumah tidak tampak kasihan, tapi malah memerintahkan membawa sang bayi kembali ke halaman.
Beberapa waktu kemudian, Kiai Cholil meminta bayi itu dibawa pulang.
Kisah ini menjadi isyarat, kelak sang bayi akan menjadi orang besar.
Dari sejak kecil, Wahid sudah terlihat me­miliki kemampuan yang tak sama de­ngan anak-anak lain sebayanya. Sang ayah tak menyekolahkannya ke Holandsch Indische School, layaknya putra seorang to­koh pada zaman itu. Kiai Hasyim me­mang dikenal anti sekolah yang didirikan pen­jajah. Ia memilih untuk mengajar anak­nya sendiri. Karena cerdas, Wahid cepat menyerap semua pelajaran yang diberikan.
Umur lima tahun, Wahid sudah bel­ajar membaca Al-Qur’an. Kiai Hasyim sendiri yang mengajar putranya ini setiap seusai shalat Zhuhur dan Magrhrib. Untuk pengetahuan agama lainnya, Wahid bel­ajar di Ponpes Tebuireng pada pagi hari. Karena cepatnya ia menyerap ilmu-ilmu yang diajarkan, pada umur tujuh tahun ia sudah mampu mempelajari banyak kitab yang diajarkan di pesantren, antara lain Fathul Qarib, Minhajul Qawim, Mutam­mimah.
Meskipun aktivitas belajarnya padat, Wahid pun tetap bermain-main selayak­nya anak-anak di usianya. Meskipun anak kiai,  ia tidak pernah memilih-milih teman. Wahid bermain dengan semua anak. Di antara kebiasaannya di waktu kecil, ia suka membagi-bagikan pisang goreng, makanan kesukaannya, kepada teman-temannya.
Seperti anak-anak lainnya, Wahid pun sering dimarahi oleh ayahnya jika ber­salah. Tapi jika yang memarahi ibunya, biasanya ia menangis. Di saat itulah sang ibu segera berusaha menenangkannya dan kerap berkata, “Kamu jangan suka nangis, karena nanti kalau sudah besar bakal jadi menteri.” Ucapan yang kelak memang benar nyata, terbukti.
Keistimewaan khusus yang juga su­dah terlihat sejak kecil, pernah suatu ke­tika Wahid masuk ke dalam kandang hari­mau milik ayahnya yang berada di bawah pohon besar yang terletak beberapa me­ter di samping masjid. Ternyata raja hutan yang ganas itu diam tidak melawan pada saat Wahid menungganginya.
Keistimewaan lain yang dimiliki Wahid kecil, ia mampu menyerap pelajaran di saat asyik bermain. Saat bermain Wahid gemar berlari ke sana-kemari. Ini pulalah yang dilakukannya saat ayahnya meng­ajar para santri. Dengan santainya Wahid berlari-lari dan menggelendot pada ayah­nya. Sembari bermain seperti ini, ia menguping dan menyerap pelajaran yang disampaikan ayahnya kepada para santri itu.
Karena cepatnya ia menyerap ilmu itu pulalah, pada usia 12 tahun ia sudah bisa mengajar. Murid pertamanya adalah adik­nya sendiri, Abdul Karim Hasyim. Sambil mengajar adiknya pada malam hari, biasanya ia belajar dan membaca buku-buku dalam bahasa Arab.
Di usia 12 tahun itu Gus Wahid lulus dari Madrasah Tebuireng. Di sela-sela pelajaran agama, ia menghafal syair-syair berbahasa Arab.
Setahun kemudian, ia meminta izin kepada ayahnya untuk mengembara ke sejumlah pesantren.
Dalam pengembaraan ke sejumlah pe­santren-pesantren, Wahid selalu meng­gunakan oto, sebutan mobil zaman dulu, yang disetirnya sendiri. Selain da­lam usia belasan tahun sudah mahir me­nyetir mobil, ia juga piawai mengendarai sepeda motor.
Pernah suatu ketika, karena ngebut, ia dan sepeda motornya nyemplung ke kali di depan pesantren. Lebar kali itu hampir empat meter dan arusnya deras. Tapi ia tak kesulitan saat naik ke jalan. Mesin sepeda motornya tetap menyala dan tubuh serta pakaiannya tidak basah. Menurut penuturan salah seorang abdi dalem pesantren, waktu itu Wahid meng­aku perasaannya tidak masuk ke kali, melainkan masih di jalan raya.
Wahid mulai pengembaraan dengan menyantri di Pondok Siwalan, Panji, Sido­arjo, selama 25 hari, 1-25 Ramadhan. Kemudian ia pindah ke Pondok Pesan­tren Lirboyo, Kediri, yang didirikan oleh K.H. Abdul Karim, alumnus Tebuireng dan kawan dekat ayahnya.
Dari Lirboyo, Gus Wahid meneruskan pengembaraannya ke sejumlah pondok pesantren di sekitar Jawa Timur. Selama dua tahun ia berpindah-pindah pesantren, kemudian pulang ke Tebuireng.
(Bersambung)

referensi:majalah aliksah.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

stroom09@gmail.com

KLINIK CENAYANG STROOM09

KLINIK CENAYANG STROOM09
KLINIK CENAYANG STROOM09

pengunjung

RENTAL MOBIL CIREBON

RENTAL MOBIL CIREBON
RENTAL MOBIL CIREBON,TAXI ONLINE CIREBON,SEWA MOBIL CIREBON MINAT HP/WA :089537731979

Total Tayangan Halaman