Assalamualaikum wr wb.salam sejahtera buat pembaca blog stroom09
yg setia hadir membaca artikel-artikel blog stroom09.kali ini saya akan
mencoba memposting sekilas ulama pendidik,pendidik ulama.yuk kita simak
bareng2 artikel di bawah ini semoga ada pelajaran yang dapat kita ambil
dari kisah perjuangan ulama tersebut.biar gagh penasaran langsung saja
ya.
Ahlussunnah wal Jama’ah merupakan paham keagamaan mayoritas umat Islam
di Indonesia. Kehadiran Aswaja di Indonesia seiring dengan kehadiran
agama Islam itu sendiri yang kemudian diaplikasikan lebih lanjut oleh
Walisanga dan ulama-ulama setelahnya. Belakangan ini istilah
“Ahlussunnah wal Jama’ah” kembali mencuat ke permukaan setelah
datangnya ideologi-ideologi Islam transnasionalis yang diimpor dari
Timur Tengah.
Konsep Aswaja yang ditawarkan oleh kelompok-kelompok anyar ini sangat
rigid dan cenderung menyalahkan kelompok lainnya yang berbeda paham
dengan mereka. Mereka ingin mengubah berbagai laku ritual dan pemahaman
agama mayoritas umat muslim di Indonesia yang sudah mapan dengan
dalih telah menyalahi aturan yang ditetapkan oleh Al-Qur’an.
Mereka lupa, wajah Indonesia yang begitu ramah tidak lain adalah
karena jasa-jasa para ulama terdahulu yang telah membentuk karakter
putra-putri bangsa ini menjadi pribadi-pribadi yang sangat menjunjung
tinggi toleransi dan keragaman, sebagai ciri utama ke-Aswaja-an itu
sendiri, melalui pendidikan yang mereka terapkan di Bumi Pertiwi
tercinta ini.
Dalam kaitannya dengan pendidikan, setiap ulama dalam Islam adalah
para pendidik, yang mata rantai keilmuannya sampai kepada Rasulullah
SAW. Itulah sebabnya, Islam sebagai ajaran yang rahmatan lil ‘alamin, rahmat bagi alam semesta, dan senantiasa shalihun li fi kulli makanin wa li kulli zamanin,
shalih di setiap tempat dan zaman, tak pernah putus dari melahirkan
ulama-ulama yang tampil sebagai tokoh pembaharu di setiap masa dan
waktu. Sehingga wajah Islam yang damai dan penuh kasih sayang akan
selalu menghiasi bumi ini hingga datangnya hari Kiamat.
Dalam rangka menyambut datangnya tahun ajaran baru, 2012-2013, alKisah
menampilkan kembali “tiga” guru bangsa dari tiga organisasi Islam
terbesar di Indonesia, yang merupakan benteng utama Aswaja di negeri
ini, yakni Nahdlatul Ulama (NU), Nahdlatul Wathan (NW), dan Persatuan
Tarbiyah Islamiyah (Tarbiyah).
K.H. Wahid Hasyim Asy‘ari
K.H. Wahid Hasyim Asy‘ari adalah putra dan penerus pendiri NU, K.H. Hasyim Asy‘ari.
Puluhan santri dan warga Tebuireng berdesakan di masjid pondok
pesantren. Mereka tengah menggelar pengajian yang rutin digelar setiap
Jum‘at seusai shalat Isya. Suara mereka terdengar hingga ke dalam
kasepuhan, yang berjarak sekitar 10 meter dari masjid. Kasepuhan
adalah tempat bermukim keluarga besar Hadhratusy Syaikh K.H. Hasyim
Asy‘ari, pendiri Nahdlatul Ulama dan sekaligus pendiri serta pengasuh
Pondok Pesantren Tebuireng, Jombang, Jawa Timur.
Malam itu, 1 Juni 1914, suasana di dalam kasepuhan tak kalah ramai.
Nyai Nafiqah, istri K.H. Hadhratusy Syaikh K.H. Hasyim Ash‘ari, tengah
menahan rasa sakit lantaran detik-detik kelahiran bayi yang dikandungnya
makin dekat. Ia dikelilingi sejumlah kerabat dan pelayan dekat.
Menjelang malam, dari dalam kasepuhan melengking tangis bayi. Nyai
Nafiqah melahirkan bayi laki-laki. Air mata bahagia pun keluar dari
putri Kiai Ilyas, pengasuh Pondok Pesantren Sewulan, Madiun, itu.
Kiai Hasyim memberi nama putranya yang baru lahir itu “Muhammad
Asy`ari”. Nama ini diambil dari nama ayah Kiai Hasyim sendiri. Kiai
Hasyim mewariskan nama itu kepada sang bayi karena empat kakaknya
semuanya perempuan.
Tapi sebulan kemudian, nama ini diganti, karena Asy‘ari kecil sering
sakit hingga tubuhnya makin lama makin kurus. Nama itu dianggap terlalu
berat disandang sang bayi. Kiai Hasyim kemudian mengganti nama putra
pertamanya itu dengan “Abdul Wahid Hasyim”.
Karena ia anak lelaki pertama, hal itu merisaukan ibundanya, Nyai
Nafiqah. Sang ibu pun bernazar, pada usia tiga bulan Wahid akan dibawa
ke guru ayahnya, K.H. Cholil, di Bangkalan, Madura.
Ketika waktu itu tiba, Bangkalan sedang diguyur hujan lebat. Petir
sambar-menyambar. Bukannya membukakan pintu, Kiai Cholil malah meminta
tamu dan bayinya itu menunggu di halaman rumah.
Karena cemas melihat bayinya kehujanan, Nyai Nafiqah menggendong sang bayi berteduh di emper sambil berdoa.
Tuan rumah tidak tampak kasihan, tapi malah memerintahkan membawa sang bayi kembali ke halaman.
Beberapa waktu kemudian, Kiai Cholil meminta bayi itu dibawa pulang.
Kisah ini menjadi isyarat, kelak sang bayi akan menjadi orang besar.
Dari sejak kecil, Wahid sudah terlihat memiliki kemampuan yang tak
sama dengan anak-anak lain sebayanya. Sang ayah tak menyekolahkannya ke
Holandsch Indische School, layaknya putra seorang tokoh pada zaman
itu. Kiai Hasyim memang dikenal anti sekolah yang didirikan penjajah.
Ia memilih untuk mengajar anaknya sendiri. Karena cerdas, Wahid cepat
menyerap semua pelajaran yang diberikan.
Umur lima tahun, Wahid sudah belajar membaca Al-Qur’an. Kiai Hasyim
sendiri yang mengajar putranya ini setiap seusai shalat Zhuhur dan
Magrhrib. Untuk pengetahuan agama lainnya, Wahid belajar di Ponpes
Tebuireng pada pagi hari. Karena cepatnya ia menyerap ilmu-ilmu yang
diajarkan, pada umur tujuh tahun ia sudah mampu mempelajari banyak kitab
yang diajarkan di pesantren, antara lain Fathul Qarib, Minhajul Qawim, Mutammimah.
Meskipun aktivitas belajarnya padat, Wahid pun tetap bermain-main
selayaknya anak-anak di usianya. Meskipun anak kiai, ia tidak pernah
memilih-milih teman. Wahid bermain dengan semua anak. Di antara
kebiasaannya di waktu kecil, ia suka membagi-bagikan pisang goreng,
makanan kesukaannya, kepada teman-temannya.
Seperti anak-anak lainnya, Wahid pun sering dimarahi oleh ayahnya
jika bersalah. Tapi jika yang memarahi ibunya, biasanya ia menangis. Di
saat itulah sang ibu segera berusaha menenangkannya dan kerap berkata,
“Kamu jangan suka nangis, karena nanti kalau sudah besar bakal jadi
menteri.” Ucapan yang kelak memang benar nyata, terbukti.
Keistimewaan khusus yang juga sudah terlihat sejak kecil, pernah
suatu ketika Wahid masuk ke dalam kandang harimau milik ayahnya yang
berada di bawah pohon besar yang terletak beberapa meter di samping
masjid. Ternyata raja hutan yang ganas itu diam tidak melawan pada saat
Wahid menungganginya.
Keistimewaan lain yang dimiliki Wahid kecil, ia mampu menyerap
pelajaran di saat asyik bermain. Saat bermain Wahid gemar berlari ke
sana-kemari. Ini pulalah yang dilakukannya saat ayahnya mengajar para
santri. Dengan santainya Wahid berlari-lari dan menggelendot pada
ayahnya. Sembari bermain seperti ini, ia menguping dan menyerap
pelajaran yang disampaikan ayahnya kepada para santri itu.
Karena cepatnya ia menyerap ilmu itu pulalah, pada usia 12 tahun ia
sudah bisa mengajar. Murid pertamanya adalah adiknya sendiri, Abdul
Karim Hasyim. Sambil mengajar adiknya pada malam hari, biasanya ia
belajar dan membaca buku-buku dalam bahasa Arab.
Di usia 12 tahun itu Gus Wahid lulus dari Madrasah Tebuireng. Di
sela-sela pelajaran agama, ia menghafal syair-syair berbahasa Arab.
Setahun kemudian, ia meminta izin kepada ayahnya untuk mengembara ke sejumlah pesantren.
Dalam pengembaraan ke sejumlah pesantren-pesantren, Wahid selalu
menggunakan oto, sebutan mobil zaman dulu, yang disetirnya sendiri.
Selain dalam usia belasan tahun sudah mahir menyetir mobil, ia juga
piawai mengendarai sepeda motor.
Pernah suatu ketika, karena ngebut, ia dan sepeda motornya nyemplung
ke kali di depan pesantren. Lebar kali itu hampir empat meter dan
arusnya deras. Tapi ia tak kesulitan saat naik ke jalan. Mesin sepeda
motornya tetap menyala dan tubuh serta pakaiannya tidak basah. Menurut
penuturan salah seorang abdi dalem pesantren, waktu itu Wahid mengaku
perasaannya tidak masuk ke kali, melainkan masih di jalan raya.
Wahid mulai pengembaraan dengan menyantri di Pondok Siwalan, Panji,
Sidoarjo, selama 25 hari, 1-25 Ramadhan. Kemudian ia pindah ke Pondok
Pesantren Lirboyo, Kediri, yang didirikan oleh K.H. Abdul Karim,
alumnus Tebuireng dan kawan dekat ayahnya.
Dari Lirboyo, Gus Wahid meneruskan pengembaraannya ke sejumlah pondok
pesantren di sekitar Jawa Timur. Selama dua tahun ia berpindah-pindah
pesantren, kemudian pulang ke Tebuireng.
(Bersambung)
referensi:majalah aliksah.com
koleksi ilmu hikmah, kisahsufi,tasawuf,fengshui,maulid,desain grafis,batu akik,batu obsidian, paypal pay,za,pendanaan,RENTAL MOBIL proyek,investor,funder,kredit kpr,pinjaman multi guna ,pialang,wali amanat,SEWA MOBIL CIREBONtaxi online cirebondan lain-lain
koleksi ilmu-ilmu hikmah,kisah 2 tokoh sufi.teknologi tips n trik dll
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
stroom09@gmail.com