Menurut syariat, shalat seperti itu sudah sah.
Sebab syariat hanya mengatur batal atau tidaknya berwudhu, sah atau
tidaknya pakaian yang dikenakan. Itu cukup memenuhi syariat. Sedangkan
tarekat tidak. Tarekat mengatur bagaimana hati kita pada waktu menghadap
Allah, harus bersih dari yang lain. Sehingga merasa betul-betul bersih
untuk bersembah sujud. Mampukah kita waktu sujud itu merasa sebagai
hamba yang fakir? "Tiada yang wajib aku sembah melainkan Engkau." Dan
waktu bersembah sujud kita merasakan kekurangan yang ada pada diri kita.
Nah, itulah tarekat. Itulah yang dimaksud ihsan. Sehingga Sayidina Ali
diajarkan Baginda Nabi, pada waktu menanyakan cara mendekat kepada
Allah. Rasulullah bersabda, "Pejamkan matamu, duduk yang baik dengan
bersila." Lalu ia ditalkin oleh Baginda Nabi, "La ilaha illallah, la
ilaha illallah, la ilaha illallah, Muhammadur-rasulullah." Dari situ
lahirlah ijazah zikir, seperti yang diajarkan Nabi.
Jika menjalankan ilmu syariat saja sudah dianggap cukup, mana mungkin
Rasulullah mengajarkan hal itu pada Sayidina Ali? Padahal kita tahu
siapa sebenarnya Sayidina Ali maupun sahabat yang lain. Jadi harus
dipisah, mana yang merupakan syariat dan mana yang merupakan tarekat.
Jadi berwudhu yang hanya sampai sebatas berwudhu—seperti menjaga agar
tidak keluar angin dari belakang, tidak bersentuhan selain muhrimnya—itu
baru dianggap memenuhi syarat saja.
Tarekat tidak. Anda dituntut menggunakan wudhu, bukan sekadar untuk
mendirikan shalat. Tapi bagaimanakah akhlak orang yang berwudhu. Ketika
kita sedang mengambil wudhu itu ada akhlaknya, ada adabnya. Bisakah
wudhu membuat kita malu kepada Allah bila bermaksiat. Sedangkan tidak
wudhu saja kita malu bermaksiat, apalagi menggunakan air wudhu.
Selanjutnya, yang dimaksud dengan al-Muktabarah adalah tarekat yang
asalnya dari Baginda Rasulullah (saw).
Ada jalurnya, ada sanad atau silsilahnya. Ada mata rantainya, yang
kesemua berasal dari Baginda Nabi, sahabat, lalu kepada para wali.
Untuk pertanyaan yang terkait dengan ilmu fikih, harus diketahui bahwa
ilmu fikih harus dipelajari oleh orang yang mau belajar ilmu tasawuf.
Mereka ini hendaklah belajar ilmu syariat dulu dengan matang. Setelah
itu baru melangkah ke dunia tarekat, terus tasawufnya. Tarekat tasawuf
dan tarekat zikir itu berbeda. Kita harus mencapai tarekat zikir agar
meraih ihsan. Karena tarekat tasawuf memerlukan orang yang alim betul
dan cukup ilmunya. Kalau kita tidak mampu memahami dunia tasawuf,
akibatnya bisa menyimpang. Terutama untuk memahami perkataan orang yang
dekat kepada Allah. Mereka ini kerap memakai bahasa yang tinggi, yang
sukar dicapai.
Tarekat akan menuntun kita memahami ihsan. Dari sinilah kita belajar
ilmu tarekat. Dan tidak harus mengatakan bahwa ilmu tarekat adalah ilmu
para wali. Itu tarekat tasawuf, jadi tasawufnya dahulu. Kita harus
mencapai ihsan-nya dahulu.
Agar tidak tergolong sebagai manusia yang lalai kepada Allah (Swt),
termasuk untuk menyambung hubungan antara shalat Subuh dan shalat Zuhur,
shalat Zuhur dan shalat Asar, shalat Asar dan shalat Magrib, Magrib dan
Isya, kita harus bertanya, di tengah-tengah antara shalat-shalat itu
ada apa, kita harus berbuat apa? Perbuatan kita itulah yang
mengindikasikan apakah kita tergolong lalai atau tidak. Nah, tarekat
berperan di situ. Yaitu, agar ada keterkaitan, misalnya antara Subuh dan
Zuhur, lalu menerapkannya pada realitas perbuatan kita dengan sesama.
Jangan sampai kita hanya merasa dilihat dan didengar oleh Allah saat
mengucap takbiratul ihram.
Kalau Anda bertanya apa hukum bertarekat, jawabannya ada dua. Pertama,
kalau bertarekat dengan dasar supaya banyak berzikir, itu sunnah. Tapi
kalau dasarnya untuk menjauhkan hati dari sifat yang tidak terpuji,
seperti lalai kepada Allah hingga menimbulkan takabur, sombong, hasut
dan dengki, dalam hal ini hukumnya wajib.
Yang dimaksud dengan baiat dalam tarekat adalah mengambil janji.
Sebagaimana sahabat mengambil janji terhadap Nabi (saw). Yaitu janji
meninggalkan perbuatan dosa besar, dan mengurangi dosa kecil. Mengapa
kita mengurangi dosa kecil? Karena dosa kecil bermula dari kelalaian dan
menganggap enteng. Sehingga disebut mengurangi, supaya kita betul-betul
tidak lalai, walaupun sekecil apa pun. Kedua, janji taat kepada Allah
dan Rasul-Nya, para wali dan para ulama, menaati Al-Qur'an dan Hadist,
menaati negara dan pemerintahan. Ini yang disebut baiat. Baik antara
pribadi dan Tuhannya, maupun pribadi dan Rasul-Nya.
Mengamalkan serangkaian wirid sebaiknya yang sudah diijazahkan, tidak
secara ikhbar atau pemberitaan. Apalagi tidak melalui talkin (pengajaran
langsung) dan baiat, dan tidak melalui seorang guru yang jelas.
Sedangkan suatu ijazah, doa, ataupun membaca kitab tanpa seorang guru,
terkadang akan salah memaknainya, termasuk tujuan yang ada di dalam
kitab. Karena kita hanya memahami secara otodidak, sebatas kemampuan
sendiri. Maka sebaiknya melalui seoarang guru.
Kalau dasarnya ada kemampuan, mengamalkan dua tarekat sekaligus
dipersilakan saja. Kalau tidak, sebaiknya hanya satu saja, karena itu
lebih baik. Sebab tarekat mempunyai madad (pertolongan) dan asrar
(rahasia) yang berbeda. Dikhawatirkan, dua magnet yang berbeda ini
menimbulkan ketidakstabilan. Itulah maksud para ulama melarang menduakan
tarekat. Di sinilah masalahnya. Semoga Anda puas.
koleksi ilmu hikmah, kisahsufi,tasawuf,fengshui,maulid,desain grafis,batu akik,batu obsidian, paypal pay,za,pendanaan,RENTAL MOBIL proyek,investor,funder,kredit kpr,pinjaman multi guna ,pialang,wali amanat,SEWA MOBIL CIREBONtaxi online cirebondan lain-lain
koleksi ilmu-ilmu hikmah,kisah 2 tokoh sufi.teknologi tips n trik dll
Jumat, Agustus 16, 2013
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
stroom09@gmail.com