Imam Malik RA makan hanya sekali dalam sehari, ia pun
buang hajat sekali dalam sehari. Imam Malik RA juga tidak pernah buang
hajat di Madinah, karena menjaga adab kepada Rasulullah SAW. Ia berkata,
“Sungguh aku malu untuk membuang kotoranku di tempat yang mungkin
Rasulullah SAW pernah menapakkan kaki di atasnya atau duduk padanya.”
Setelah menjelaskan panjang lebar ihwal makna-makna yang
terdapat dalam penampilan, sebagai kilas balik sekaligus pendalaman
terhadap makna-makna dalam pelajaran tentang kebersihan lahir dan
kaitannya dengan makna-makna bathin, pengasuh melanjutkan penuturannya
tentang menjaga diri dari banyak makan sebagai bentuk kemestian untuk
dapat melazimkan diri bagi seorang salik di atas kebersihan lahir.
Pembicaraan kita masih seputar masalah kesucian dan kebersihan
lahir. Kaitannya dengan hal ini, sebagaimana telah kita singgung pada
awal pelajaran ini (edisi yang lalu), untuk dapat senantiasa menjaga
kesucian lahir, adalah menjadi kemestian bahwa kita hendaknya
meminimalkan makan, minum, tidur, dan bicara, sehingga sedikit pula
kebutuhan kita untuk mendatangi kamar peturasan.
Agar jarang berhadats, kita harus makan sebatas kebutuhan kita saja.
Rasulullah SAW bersabda, “Cukuplah bagi anak Adam beberapa suap yang
dapat menguatkan tulang punggungnya.”
Inilah kebutuhan dasar itu. Yakni yang dapat menguatkan tulang
punggung, yang dengannya engkau dapat melakukan aktivitas sehari-hari
dengan baik. Pada awalnya, ketika para ulama menjelaskan hal ini,
dikatakan kepada mereka, “Mengapa kalian melarang manusia dari menikmati
semua yang halal. Ini semua adalah nikmat Allah SWT!” Sampai kemudian
para tabib menjelaskan bahaya lemak, makanan yang berkolesterol, dan
makanan yang memabukkan.
Setelah itu datang pula penyakit gula, obesitas, penyakit lambung,
dan sebagainya, sehingga manusia sibuk mencari sebabnya dan mereka
mulai menerapkan tata cara pencegahan dini agar terhindar dari semua
penyakit itu. Padahal, sesungguhnya pencegahan semacam itu sudah lebih
dahulu disampaikan oleh Rasulullah SAW dan dilanjutkan oleh para ulama
sepeninggal beliau SAW. Rasulullah SAW bersabda, “Cukuplah bagi anak
Adam beberapa suap yang dapat menguatkan tulang punggungnya.” Nabi SAW
juga bersabda, “Dan jika ia harus memenuhi lambungnya, hendaklah
sepertiga untuk makanan, sepertiga untuk minuman, dan sepertiga untuk
napasnya.”
Apakah kalian ingin mengetahui hakikat sesungguhnya dari apa yang
disampaikan oleh Rasulullah SAW ini? Ketentuan sepertiga ini
diperuntukkan bagi umumnya kaum muslimin. Adapun bagi seorang salik,
peniti jalan menuju Allah SWT, secara khusus ketentuannya berbeda.
Seorang peniti jalan menuju Allah adalah bagian dari orang-orang yang
mengonsumsi makanan hanya beberapa suap. Inilah kebutuhan dasar itu,
sebagaimana dijelaskan oleh hadits Nabi SAW.
Seorang salik hendaklah meninggalkan makanannya di saat ia masih
berselera terhadap makanan yang diinginkannya. Ia meninggalkannya
karena Allah SWT. Ia meninggalkan makanannya di saat nafsunya masih
sangat berselera terhadapnya. Tapi, bukan berarti ia meninggalkan
makanannya itu di atas piring lalu kemudian dibuang sia-sia. Tidak
demikian. Melainkan ia tinggalkan dari asalnya, yakni dengan cara
mengambil makanan hanya sebatas kebutuhannya.
Ketahuilah, sesungguhnya nafsu itu, bila sudah terbiasa engkau
tundukkan sebelum ia puas melampiaskan keinginannya, niscaya ia akan
mudah tunduk kepadamu dan tidak sukar untuk engkau kendalikan. Akan
tetapi apabila engkau selalu membiarkannya sampai puas dalam
melampiaskan keinginan dan seleranya, niscaya akan terbuka lebar
berbagai keinginan dalam nafsumu yang akan sulit untuk engkau
kendalikan. Ibarat banjir bandang yang datang menerjang dan akan merusak
segalanya.
Engkau berikan terhadap nafsumu semua yang diinginkannya dari
berupa-rupa macam makanan, misalnya, dengan jumlah yang dikehendakinya,
niscaya engkau akan terkena sakit pencernaan. Engkau pun akan sering
didatangi rasa ngantuk, sehingga dengan mudahnya engkau tertidur. Di
saat datang waktu untuk qiyamul lail, engkau tak mampu bangun
malam, demikian pula shalat Subuh, mungkin engkau akan sangat
kesulitan untuk dapat bangun di waktu subuh.
Selanjutnya engkau pun akan kesusahan untuk mengisi waktu-waktumu
dengan hal-hal yang bermanfaat. Banyak makan dan banyak minum akan
membentuk tabiat-tabiat berikutnya, yakni gemar bicara yang tidak ada
ujung pangkalnya. Bermula dari setengah jam, satu jam, dua jam, hingga
berjam-jam ia habiskan untuk membicarakan hal-hal yang tidak ada ujung
pangkalnya. Lalu apa yang tersisa darinya dari perjalanan menuju Allah
SWT apabila waktunya dihabiskan untuk makan, minum, tidur, dan obrolan
yang tidak ada ujung pangkalnya.
Semuanya kesia-siaan. Semuanya tak bermanfaat. Bagaimana ia akan meniti jalan menuju Allah SWT?
Berkaitan dengan masalah ini, ketahuilah, Imam Malik bin Anas RA
hanya makan satu kali dalam sehari, ia juga hanya sekali masuk ke
kamar peturasan dalam sehari.
Kisah Imam Malik ini terkait dengan pembahasan penitian jalan menuju
Allah SWT dan berkaitan pula dengan makna yang dalam yang dituju oleh
para ahli dzauq (pemilik rasa yang teramat tinggi) dalam meniti jalan menuju Allah SWT, yang merupakan makna paling dalam pada pembahasan ini.
Negeri apakah yang di dalamnya Sayyidina Imam Malik tinggal? Negeri
itu tidak lain adalah Madinah Al-Munawwarah – semoga Allah SWT
melimpahkan shalawat dan salam atas paling mulianya penghuninya dan
mengaruniai kita semua ziarah kepada beliau, kebersamaan bersama
beliau, dan semoga Allah menjadikan tempat peristirahatan terakhir kita
di Baqi‘.
Imam Malik RA makan hanya sekali dalam sehari dan ia pun hanya buang
hajat sekali dalam sehari. Dan ia tak pernah buang hajat di Madinah,
karena menjaga adab kepada Rasulullah SAW. Ia berkata, “Sungguh aku
malu untuk membuang kotoranku di tempat yang mungkin Rasulullah SAW
pernah menapakkan kaki di atasnya atau duduk padanya.”
Imam Malik pun tak pernah menggunakan alas kaki di Madinah dan tidak
pernah pula mengendarai hewan tunggangannya di sekitarnya, untuk
menjaga adab kepada Rasulullah SAW. Ia hanya sekali berada di atas hewan
tunggangan di Madinah pada saat ditangkap untuk dipenjarakan secara
zhalim oleh penguasa kala itu. Imam Malik RA dinaikkan di atas hewan
tunggangan dengan kondisi badan terbalik, tak beralas kaki, dan kepala
terbuka, untuk dipermalukan di sepanjang jalan kota Madinah.
Bila datang waktu untuk buang hajat, Imam Malik RA senantiasa keluar
dari Madinah atau akhir dari batas Masjid Nabawi saat ini, karena Masjid
Nabawi saat ini telah meluas dan hampir meliputi keseluruhan kota
Madinah tempo dulu.
Demikianlah Imam Malik, begitu kuat ia menjaga nafsu makan dan ia pun tak tidur kecuali sekadarnya.
koleksi ilmu hikmah, kisahsufi,tasawuf,fengshui,maulid,desain grafis,batu akik,batu obsidian, paypal pay,za,pendanaan,RENTAL MOBIL proyek,investor,funder,kredit kpr,pinjaman multi guna ,pialang,wali amanat,SEWA MOBIL CIREBONtaxi online cirebondan lain-lain
koleksi ilmu-ilmu hikmah,kisah 2 tokoh sufi.teknologi tips n trik dll
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
stroom09@gmail.com