Adalah suatu kehinaan bagi siapa yang mengetahui bahwa ia
tengah berjalan meniti jalan menuju Allah SWT dan mengetahui bahwa
Allah senantiasa memandang kepada dirinya merasa gundah gulana di saat
berubahnya pandangan manusia terhadap dirinya.
Sering kali nafsu berbohong kepada pemiliknya. Karenanya, hati-hatilah
engkau diperdaya oleh nafsumu. Dia akan berkata kepadamu, “Sungguh aku
tidak mengenakan pakaian ini untuk berbangga-bangga atau untuk pamer.
Akan tetapi karena Allah menyukai untuk melihat perwujudan nikmat-Nya
pada hamba-hamba-Nya.”
Apakah ada keinginan dalam benakmu untuk meyakinkan ungkapan ini
benar demikian adanya? Bila tidak, si penyuruh kepada keburukan yang
pembohong telah berbohong kepadamu! Siapa dia, si penyuruh kepada
keburukan itu? Dia adalah nafsumu!!
Apakah engkau ingin mengetahui ungkapan itu benar atau dusta? Engkau
bisa mengetahui itu dari tanda-tandanya. Apakah tanda-tandanya?
Pada saat engkau tidak mampu memenuhi kecenderunganmu sampai pada
tingkatan yang engkau kehendaki, apakah keadaannya akan berubah?
Apakah engkau merasa ragu-ragu dan maju-mundur untuk mengenakannya?
Mengapa engkau ragu-ragu? Karena apa engkau maju-mundur? Atau bahkan
engkau merasa kurang dan malu di mata yang lain?
Ini adalah masalah. Karena nafsumu telah membuat pandanganmu tertuju
kepada bentuk dan rupa lahir serta terpenjarakan olehnya. Nilaimu telah
engkau gadaikan dengan pandangan manusia kepadamu. Bila mereka
membesarkanmu, engkau merasa menjadi besar. Dan jika mereka
mengecilkanmu, engkau pun merasa menjadi kecil. Engkau menjadi budak
siapa? Engkau telah menjadi budak pandangan manusia.
Dan seorang peniti jalan menuju Allah SWT tidak pernah rela menjadi
budak siapa pun selain menjadi hamba Tuhannya, Allah SWT. Adalah suatu
kehinaan bagi siapa yang mengetahui bahwa ia tengah berjalan meniti
jalan menuju Allah SWT dan mengetahui bahwa Allah senantiasa memandang
kepada dirinya merasa gundah gulana di saat berubahnya pandangan
manusia terhadap dirinya. Itu pun kehinaan bagi siapa yang Allah
jadikan nilai kemuliaan padanya berupa ruh yang Allah tiupkan dari
ruh-Nya (dan Aku tiupkan padanya dari ruh-Ku).
Engkau adalah manusia yang dimuliakan di sisi Allah SWT, bagaimana
mungkin engkau rela derajatmu turun dan jatuh kepada derajat yang
derajatmu jatuh dari derajat nafkhah rabbaniyah (ditiupkannya
ruh dari sisi Allah SWT) kepada derajat yang kadar nilainya berdasarkan
secarik kain fana yang engkau kenakan. Bila kain yang engkau kenakan
dengan mode ini, misalkan, engkau memiliki nilai. Tapi bila tidak
mengenakannya, engkau pun tidak memiliki nilai apa pun.
Ada kisah tentang Maula Nashruddin Juha. Bila seseorang mendengar
nama Juha, pasti ia akan tertawa, karena yang dia tahu hanyalah bahwa
Juha adalah seorang humoris. Padahal sesungguhnya ia adalah seorang
cendekiawan, pemikir, filosof, dan juga seorang dai. Akan tetapi memang
ia sangat pandai membuat lelucon dan dagelan yang mengisyaratkan
pada maksud dan makna dari pesan yang ia ingin sampaikan.
Pada suatu ketika Nashruddin diundang ke sebuah acara perjamuan. Ia
pun hadir ke pertemuan itu dengan mengenakan pakaian sederhana, ala
kadarnya. Oleh penjaga, Nashruddin didudukkan di pojok ruangan yang jauh
dari meja hidangan yang telah dipenuhi beraneka makanan dan minuman
yang lezat.
Mengalami perlakuan seperti itu, Nashruddin merangsek ke arah pintu
dan segera pergi meninggalkan ruangan kembali ke rumahnya. Ia pun
menyewa sebuah jubah yang mahal dan mewah.
Setelah kembali ke tempat perjamuan semula, orang-orang segera
menyambutnya dan sangat menghormatinya. Ia pun diantar untuk duduk di
tengah sofa-sofa tamu khusus yang dipasang berhadapan persis di depan
meja hidangan.
Nashruddin pun mengambil beberapa potong daging kambing guling yang
ada di hadapannya. Ia hanya menyantap sedikit dari daging panggang yang
ada di tangannya, sedang sisanya yang lain ia letakkan di jubah mewahnya
seraya berkata, “Makanlah! Penghormatan ini sesungguhnya untukmu,
bukan untuk diriku.”
Jangan pernah ridha kadar nilaimu terletak pada selembar kain yang
engkau kenakan. Jangan pernah ridha nilaimu terletak pada mesin tak
bernyawa yang engkau kendarai. Jangan pernah rela derajatmu berada pada
rumah, pada kayu-kayu yang engkau gunakan untuk memperindah tempat
tinggalmu. Jangan pernah ridha nilai dan derajatmu berada pada profesi
atau pada restoran yang menjadi tempatmu menyantap makanan atau
memesannya. Nilai dan derajatmu adalah bahwa engkau memiliki hati yang
Allah senantiasa memandangnya. Jangan pernah sekali-kali engkau rela
dan ridha untuk turun dan jatuh dari derajat kemuliaan itu.
Banyak di antara para pembesar arifin, mereka dalam kondisi lusuh dan
dekil, yang, bila seseorang bertemu mereka, niscaya tidak akan menoleh
ke arah mereka. Apakah kita katakan, mereka salah dengan berpenampilan
seperti itu?
Tidak! Karena demikianlah kemampuan mereka. Mereka tidak dapat
membeli pakaian layak yang semestinya. Mereka sangat mengetahui bahwa
nilai mereka terletak pada hati, dan bukan pada selembar pakaian yang
mereka kenakan.
Apakah orang-orang seperti mereka mendapatkan keistimewaan dari Allah SWT?
Benar. Tidakkah engkau mendengar Rasulullah SAW bersabda, “Berapa
banyak orang yang berambut lusuh, berpakaian usang, tidak dipedulikan
dan kehadirannya ditolak orang, bila hendak menikahi, niscaya tidak
dinikahkan, dan bila meminta bantuan, niscaya tidak dibantu, tapi,
apabila ia bersumpah kepada Allah, niscaya Allah akan melaksanakan
sumpahnya.”
Misalkan, ia berkata “Wahai Tuhanku, aku bersumpah kepada-Mu agar
Engkau membalik tanah yang subur ini menjadi tanah gersang berdebu”,
niscaya Allah akan melakukan hal itu.
Jadi, sangat mungkin bahwa orang yang berpenampilan lusuh dan dekil itu adalah dari kalangan muqarrabin.
Memang benar, sebagian orang menyikapi persoalan penampilan ini
dengan cara yang salah. Mereka mengatakan, agama kita adalah agama
kebersihan. Tidak pernah ada dalam agama ini kedekilan dan kelusuhan.
Sesungguhnya agama tidak pernah mengajarkan penghambaan kepada
hal-hal lahir dan yang dapat terlihat kasatmata. Agama telah
memerdekakan kita dari penyembahan kepada yang terlihat kepada
penyembahan Yang Maha Tersembunyi (Al-Bathin) dan Yang Maha-Nyata,
Allah SWT.
Jadi, sejauh mana kita dapat berpenampilan dengan penampilan yang
baik dan terindah, selama tidak sampai pada batas memaksakan diri, hal
itu adalah utama. Namun, bila hal itu di luar kemampuan,
berpenampilanlah sesuai kemampuan yang ada. Dan bahkan, untuk
waktu-waktu tertentu, seorang murid perlu berpenampilan yang lusuh dan
kumal untuk dapat mengalahkan nafsunya. Untuk mengobati penyakit
menoleh kepada pandangan manusia. Akan tetapi tentu hal itu dilakukan
dengan kadar yang benar dan kembali kepada bimbingan para guru mursyid.
Di samping itu, banyak pula orang yang berpenampilan lusuh dan dekil
itu sesungguhnya adalah para pembesar ahli dunia. Ia menduga, dirinya
adalah bagian dari orang-orang yang zuhud terhadap dunia, tapi
sesungguhnya ia adalah salah seorang pembesar ahli dunia yang hatinya
melekat padanya. Mengapa? Karena penampilannya seperti penampilan
orang-orang faqir yang zuhud sedangkan hatinya sangat dekat dan melekat
pada dunia. Ia selalu menanti dan menunggu-nunggu kapan datangnya dunia
dan kapan meraupnya.
Salah seorang shalihin mempunyai murid yang selalu berada di bawah
pendidikan dan bimbingannya. Murid ini adalah seorang pedagang yang
selalu berniaga ke berbagai negara untuk menjual barang dagangannya.
Suatu ketika ia menghadap sang guru untuk meminta restu dan doa hendak
melakukan perjalanan niaga ke negeri Fulan. Ia berkata kepada gurunya,
“Wahai Guru, berikanlah nasihat kepada kami.”
“Baiklah. Di negeri yang hendak engkau tuju itu terdapat Syaikh
Fulan. Beliau adalah salah seorang pembesar awliya shalihin. Datanglah
kepadanya dan mintalah doa untukmu dan juga untukku. Sampaikan
padanya, ‘Wahai Syaikh, guruku, Fulan, menyampaikan salam kepadamu dan
mohon doa’.”
Beberapa waktu kemudian sampailah murid itu ke negeri yang dituju.
Ia pun segera bertanya kepada orang yang dijumpainya, di mana gerangan
majelis Syaikh Fulan berada. Orang yang ditanya pun tertawa dan
menjelaskan bahwa Syaikh Fulan yang dimaksud tinggal di dalam istana.
Terperanjatlah ia mendengar penjelasan orang yang ditanyainya bahwa
Syaikh Fulan yang dikatakan sebagai pembesar para wali oleh gurunya
ternyata tinggal di dalam istana. Namun, tidak ingin berlama-lama dalam
keheranannya, tanpa berpikir panjang, ia kembali menanyakan di mana
istana yang dimaksud itu.
Ia pun diantar oleh beberapa orang menuju istana. Ia mengetuk pintu
dan menyampaikan bahwa ia bermaksud untuk menjumpai Syaikh Fulan untuk
menyampaikan amanah dari sang guru.
“Syaikh sedang diundang jamuan makan malam bersama Raja,” beberapa pelayan menjelaskan.
Hatinya semakin bertanya-tanya, “Bagaimana mungkin?? Syaikh Fulan
tinggal di istana bersama Raja, sedang guruku menyuruhku untuk meminta
doa darinya??”
Meski dipenuhi keheranan dan kebingungan, ia tetap berusaha sabar
demi menjalankan amanah gurunya. Ia mulai membayangkan apa yang ada
dalam benaknya tentang gambaran orang shalih.
“Orang shalih seharusnya adalah orang yang tidak memiliki harta,
tidak memiliki tempat tinggal yang layak, tidak bercampur dengan manusia
dan menjauhi dunia…. Bila tidak demikian adanya, bukanlah ia orang
shalih.”
Kala itu datanglah Syaikh bersama rombongan dengan para pengawal yang
berada di setiap sisinya. Ia pun meminta izin untuk masuk dan menemui
Syaikh. Di dalam hatinya sudah tidak ada lagi setitik husnuzhan kepada
sang Syaikh. Namun ia memaksakan masuk menemuinya, sekali lagi demi
melaksanakan amanah dari sang guru.
“Wahai Syaikh, guruku, Fulan, mengirim salam kepadamu dan meminta
kepadamu agar tidak lupa mendoakannya,” kata pemuda itu kepada Syaikh.
“Apakah benar gurumu Syaikh Fulan?”
“Benar, Tuan Syaikh.”
“Kalau begitu, sampaikan kepadanya bahwa saudaranya, Fulan,
menyampaikan salam dan katakan kepadanya, ‘Sampai kapan hatimu
bergantung kepada dunia? Belumkah datang waktunya untuk memutuskan
kebergantungan hatimu dari dunia?.”
Alangkah terkejutnya pemuda tadi mendengar apa yang diucapkan oleh
Syaikh, bahkan terlintas dalam hatinya untuk mengangkat tangan dan
memukul wajah sang Syaikh, kalau saja tidak mengingat pesan gurunya agar
menjaga adab terhadapnya, karena beliau adalah seorang shalihin.
“Guruku yang hidup apa adanya, makan hanya sekali dalam sehari,
senantiasa berpuasa, dan tidak memiliki apa pun dari harta benda dunia,
lalu dia yang tinggal di istana, diiringi para pengawal, ingin
mengajari guruku??”
Tak ada sesuatu yang mencegahnya untuk berbuat yang tidak patut
dilakukan terhadap Syaikh, kecuali adab terhadap pesan sang guru bahwa
yang dihadapannya saat itu adalah salah seorang shalihin.
Setelah selesai urusannya di negeri itu, sang pemuda pun kembali ke
negerinya dan segera mengunjungi sang guru. Di hadapan sang guru ia
langsung mengadukan apa yang dipesankan oleh Syaikh untuk disampaikan
kepadanya.
“Wahai Guru, bagaimana mungkin Syaikh Fulan adalah seorang arif
billah, seorang waliyullah, sedangkan dia tinggal di dalam istana,
makan malam bersama Raja, sedang dia berkata kepadaku, ‘Sampaikan
salamku kepada saudaraku, Fulan, dan katakan padanya, ‘Sampai kapan
hatimu selalu bergantung kepada dunia??’.”
Mendengar hal itu sang guru pun menangis sejadi-jadinya.
“Apa benar ia mengatakan itu kepadamu untukku?”
“Benar, wahai Guru.”
Mendadak sang guru pun pingsan, tak sadarkan diri.
Setelah siuman, sang guru menangis lagi sepanjang hari.
Keesokannya si pemuda kembali mengunjungi gurunya. Ia pun bertanya
kepada sang guru, “Wahai Guru, jelaskanlah kepadaku apa yang
sesungguhnya terjadi?”
“Baiklah. Ketahuilah, Syaikh Fulan yang engkau lihat bergelimang
dunia itu sesungguhnya tidak ada sedikit pun di hatinya tolehan kepada
dunia. Tak ada dunia sedikit pun di dalam hatinya. Sedangkan diriku,
terkadang datang lintasan-lintasan ke dalam hatiku, kapan aku memiliki
sesuatu dari dunia. Saudaraku, Syaikh Fulan, yang arif billah, yang
mengirim pesan ini untukku, telah diberi firasat oleh Allah SWT untuk
mengingatkanku terhadap adanya aib yang ada di dalam diriku.”
Dari pelajaran ini kita dapat mengetahui bahwa persoalan
sesungguhnya bukanlah terletak pada bentuk dan penampilan, dan jangan
sampai kita diperdaya oleh nafsu kita karenanya. Karena sesungguhnya
nafsu itu selalu menyuruh kepada keburukan.
Jangan pernah engkau katakan, “Penampilanku baik, tapi sungguh hatiku tidak bergantung kepadanya.”
Ketahuilah, awal mula pengakuan yang engkau nyatakan itu menunjukkan
bahwa engkau tidaklah demikian adanya. Karena mengaku-ngaku bukanlah
tanda kebenaran.
koleksi ilmu hikmah, kisahsufi,tasawuf,fengshui,maulid,desain grafis,batu akik,batu obsidian, paypal pay,za,pendanaan,RENTAL MOBIL proyek,investor,funder,kredit kpr,pinjaman multi guna ,pialang,wali amanat,SEWA MOBIL CIREBONtaxi online cirebondan lain-lain
koleksi ilmu-ilmu hikmah,kisah 2 tokoh sufi.teknologi tips n trik dll
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
stroom09@gmail.com