koleksi ilmu-ilmu hikmah,kisah 2 tokoh sufi.teknologi tips n trik dll

Senin, Oktober 14, 2013

sebuah pelajaran tentang penampilaan seseorang

Adalah suatu kehinaan bagi siapa yang mengetahui bahwa ia tengah  berjalan meniti jalan menuju Allah SWT dan mengetahui bahwa Allah senantiasa memandang kepada dirinya merasa gundah gulana di saat berubahnya pandangan manusia terhadap dirinya.
Sering kali nafsu berbohong kepada pemiliknya. Karenanya, hati-hatilah engkau diperdaya oleh nafsumu. Dia akan berkata kepadamu, “Sungguh aku ti­dak mengenakan pakaian ini untuk ber­bangga-bangga atau untuk pamer. Akan tetapi karena Allah menyukai untuk me­lihat perwujudan nikmat-Nya pada ham­ba-hamba-Nya.”
Apakah ada keinginan dalam benak­mu untuk meyakinkan ungkapan ini be­nar demikian adanya? Bila tidak, si pe­nyuruh kepada keburukan yang pembo­hong telah berbohong kepadamu! Siapa dia, si penyuruh kepada keburukan itu? Dia adalah nafsumu!!
Apakah engkau ingin mengetahui ungkapan itu benar atau dusta? Engkau bisa mengetahui itu dari tanda-tandanya. Apakah tanda-tandanya?
Pada saat engkau tidak mampu me­menuhi kecenderunganmu sampai pada tingkatan yang engkau kehendaki, apa­kah keadaannya akan berubah?
Apakah engkau merasa ragu-ragu dan maju-mundur untuk mengenakan­nya? Mengapa engkau ragu-ragu? Ka­rena apa engkau maju-mundur? Atau bah­kan engkau merasa kurang dan malu di mata yang lain?
Ini adalah masalah. Karena nafsumu telah membuat pandanganmu tertuju kepada bentuk dan rupa lahir serta ter­penjarakan olehnya. Nilaimu telah eng­kau gadaikan dengan pandangan manu­sia kepadamu. Bila mereka membesar­kanmu, engkau merasa menjadi besar. Dan jika mereka mengecilkanmu, eng­kau pun merasa menjadi kecil. Engkau men­jadi budak siapa? Engkau telah men­jadi budak pandangan manusia.
Dan seorang peniti jalan menuju Allah SWT tidak pernah rela menjadi bu­dak siapa pun selain menjadi hamba Tu­hannya, Allah SWT. Adalah suatu ke­hinaan bagi siapa yang mengetahui bah­wa ia tengah berjalan meniti jalan me­nuju Allah SWT dan mengetahui bahwa Allah senantiasa memandang kepada dirinya merasa gundah gulana di saat ber­ubahnya pandangan manusia terha­dap dirinya. Itu pun kehinaan bagi siapa yang Allah jadikan nilai kemuliaan pada­nya berupa ruh yang Allah tiupkan dari ruh-Nya (dan Aku tiupkan padanya dari ruh-Ku).
Engkau adalah manusia yang dimu­liakan di sisi Allah SWT, bagaimana mung­kin engkau rela derajatmu turun dan ja­tuh kepada derajat yang derajatmu jatuh dari derajat nafkhah rabbaniyah (ditiup­kannya ruh dari sisi Allah SWT) kepada derajat yang kadar nilainya berdasarkan secarik kain fana yang engkau kenakan. Bila kain yang engkau kenakan dengan mode ini, misalkan, engkau memiliki ni­lai. Tapi bila tidak mengenakannya, eng­kau pun tidak memiliki nilai apa pun.
Ada kisah tentang Maula Nashruddin Juha. Bila seseorang mendengar nama Juha, pasti ia akan tertawa, karena yang dia tahu hanyalah bahwa Juha adalah seorang humoris. Padahal sesungguh­nya ia adalah seorang cendekiawan, pe­mikir, filosof, dan juga seorang dai. Akan tetapi memang ia sangat pandai mem­buat lelucon dan dagelan yang meng­isya­rat­kan pada maksud dan makna dari pesan yang ia ingin sampaikan.
Pada suatu ketika Nashruddin diun­dang ke sebuah acara perjamuan. Ia pun hadir ke pertemuan itu dengan menge­nakan pakaian sederhana, ala kadarnya. Oleh penjaga, Nashruddin didudukkan di pojok ruangan yang jauh dari meja hi­dangan yang telah dipenuhi beraneka makanan dan minuman yang lezat.
Mengalami perlakuan seperti itu, Nashruddin merangsek ke arah pintu dan segera pergi meninggalkan ruangan kembali ke rumahnya. Ia pun menyewa se­buah jubah yang mahal dan mewah.
Setelah kembali ke tempat perjamu­an semula, orang-orang segera me­nyam­butnya dan sangat menghormatinya. Ia pun diantar untuk duduk di tengah sofa-sofa tamu khusus yang dipasang berha­dapan persis di depan meja hidangan.
Nashruddin pun mengambil bebe­rapa potong daging kambing guling yang ada di hadapannya. Ia hanya menyantap sedikit dari daging panggang yang ada di tangannya, sedang sisanya yang lain ia letakkan di jubah mewahnya seraya ber­kata, “Makanlah! Penghormatan ini se­sungguhnya untukmu, bukan untuk diriku.”
Jangan pernah ridha kadar nilaimu terletak pada selembar kain yang eng­kau kenakan. Jangan pernah ridha nilai­mu terletak pada mesin tak bernyawa yang engkau kendarai. Jangan pernah rela derajatmu berada pada rumah, pada kayu-kayu yang engkau gunakan untuk mem­perindah tempat tinggalmu. Jangan pernah ridha nilai dan derajatmu berada pada profesi atau pada restoran yang men­jadi tempatmu menyantap makanan atau memesannya. Nilai dan derajatmu adalah bahwa engkau memiliki hati yang Allah senantiasa memandangnya. Ja­ngan pernah sekali-kali engkau rela dan ridha untuk turun dan jatuh dari derajat kemuliaan itu.
Banyak di antara para pembesar arifin, mereka dalam kondisi lusuh dan dekil, yang, bila seseorang bertemu me­reka, niscaya tidak akan menoleh ke arah mereka. Apakah kita katakan, me­reka salah dengan berpenampilan se­perti itu?
Tidak! Karena demikianlah kemam­puan mereka. Mereka tidak dapat mem­beli pakaian layak yang semestinya. Me­reka sangat mengetahui bahwa nilai me­reka terletak pada hati, dan bukan pada selembar pakaian yang mereka ke­nakan.
Apakah orang-orang seperti mereka mendapatkan keistimewaan dari Allah SWT?
Benar. Tidakkah engkau mendengar Rasulullah SAW bersabda, “Berapa ba­nyak orang yang berambut lusuh, ber­pakaian usang, tidak dipedulikan dan kehadirannya ditolak orang, bila hendak menikahi, niscaya tidak dinikahkan, dan bila meminta bantuan, niscaya tidak di­bantu, tapi, apabila ia bersumpah ke­pada Allah, niscaya Allah akan melak­sanakan sumpahnya.”
Misalkan, ia berkata “Wahai Tuhan­ku, aku bersumpah kepada-Mu agar Eng­kau membalik tanah yang subur ini menjadi tanah gersang berdebu”, nis­caya Allah akan melakukan hal itu.
Jadi, sangat mungkin bahwa orang yang berpenampilan lusuh dan dekil itu adalah dari kalangan muqarrabin.
Memang benar, sebagian orang me­nyikapi persoalan penampilan ini dengan cara yang salah. Mereka mengatakan, agama kita adalah agama kebersihan. Tidak pernah ada dalam agama ini ke­dekilan dan kelusuhan.
Sesungguhnya agama tidak pernah mengajarkan penghambaan kepada hal-hal lahir dan yang dapat terlihat kasat­mata. Agama telah memerdekakan kita dari penyembahan kepada yang terlihat kepada penyembahan Yang Maha Ter­sembunyi (Al-Bathin) dan Yang Maha-Nyata, Allah SWT.
Jadi, sejauh mana kita dapat berpe­nampilan dengan penampilan yang baik dan terindah, selama tidak sampai pada batas memaksakan diri, hal itu adalah utama. Namun, bila hal itu di luar ke­mampuan, berpenampilanlah sesuai ke­mampuan yang ada. Dan bahkan, untuk waktu-waktu tertentu, seorang murid per­lu berpenampilan yang lusuh dan kumal untuk dapat mengalahkan nafsu­nya. Untuk mengobati penyakit menoleh kepada pandangan manusia. Akan te­tapi tentu hal itu dilakukan dengan kadar yang benar dan kembali kepada bim­bingan para guru mursyid.
Di samping itu, banyak pula orang yang berpenampilan lusuh dan dekil itu sesungguhnya adalah para pembesar ahli dunia. Ia menduga, dirinya adalah bagian dari orang-orang yang zuhud ter­hadap dunia, tapi sesungguhnya ia ada­lah salah seorang pembesar ahli dunia yang hatinya melekat padanya. Menga­pa? Karena penampilannya seperti pe­nampilan orang-orang faqir yang zuhud sedangkan hatinya sangat dekat dan melekat pada dunia. Ia selalu menanti dan menunggu-nunggu kapan datang­nya dunia dan kapan meraupnya.
Salah seorang shalihin mempunyai murid yang selalu berada di bawah pen­didikan dan bimbingannya. Murid ini ada­lah seorang pedagang yang selalu ber­niaga ke berbagai negara untuk menjual barang dagangannya. Suatu ketika ia menghadap sang guru untuk meminta restu dan doa hendak melakukan per­jalanan niaga ke negeri Fulan. Ia berkata kepada gurunya, “Wahai Guru, berikan­lah nasihat kepada kami.”
“Baiklah. Di negeri yang hendak eng­kau tuju itu terdapat Syaikh Fulan. Beliau adalah salah seorang pembesar awliya shalihin. Datanglah kepadanya dan min­talah doa untukmu dan juga untukku. Sam­paikan padanya, ‘Wahai Syaikh, guruku, Fulan, menyampaikan salam ke­padamu dan mohon doa’.”
Beberapa waktu kemudian sampai­lah murid itu ke negeri yang dituju. Ia pun se­gera bertanya kepada orang yang di­jumpainya, di mana gerangan majelis Syaikh Fulan berada. Orang yang di­tanya pun tertawa dan menjelaskan bah­wa Syaikh Fulan yang dimaksud tinggal di dalam istana.
Terperanjatlah ia mendengar penje­lasan orang yang ditanyainya bahwa Syaikh Fulan yang dikatakan sebagai pem­besar para wali oleh gurunya ter­nyata tinggal di dalam istana. Namun, tidak ingin berlama-lama dalam keheran­annya, tanpa berpikir panjang, ia kembali menanyakan di mana istana yang di­mak­sud itu.
Ia pun diantar oleh beberapa orang menuju istana. Ia mengetuk pintu dan menyampaikan bahwa ia bermaksud untuk menjumpai Syaikh Fulan untuk menyampaikan amanah dari sang guru.
“Syaikh sedang diundang jamuan makan malam bersama Raja,” beberapa pelayan menjelaskan.
Hatinya semakin bertanya-tanya, “Ba­gaimana mungkin?? Syaikh Fulan tinggal di istana bersama Raja, sedang guruku menyuruhku untuk meminta doa darinya??”
Meski dipenuhi keheranan dan ke­bingungan, ia tetap berusaha sabar demi menjalankan amanah  gurunya. Ia mulai membayangkan apa yang ada dalam be­naknya tentang gambaran orang shalih.
“Orang shalih seharusnya adalah orang yang tidak memiliki harta, tidak memiliki tempat tinggal yang layak, tidak bercampur dengan manusia dan men­jauhi dunia…. Bila tidak demikian ada­nya, bukanlah ia orang shalih.”
Kala itu datanglah Syaikh bersama rombongan dengan para pengawal yang berada di setiap sisinya. Ia pun meminta izin untuk masuk dan menemui Syaikh. Di dalam hatinya sudah tidak ada lagi setitik husnuzhan kepada sang Syaikh. Namun ia memaksakan masuk mene­muinya, sekali lagi demi melaksanakan amanah dari sang guru.
“Wahai Syaikh, guruku, Fulan, mengi­rim salam kepadamu dan meminta ke­padamu agar tidak lupa mendoakan­nya,” kata pemuda itu kepada Syaikh.
“Apakah benar gurumu Syaikh Fulan?”
“Benar, Tuan Syaikh.”
“Kalau begitu, sampaikan kepada­nya bahwa saudaranya, Fulan, menyam­paikan salam dan katakan kepadanya, ‘Sampai kapan hatimu bergantung kepa­da dunia? Belumkah datang waktunya un­tuk memutuskan kebergantungan hati­mu dari dunia?.”
Alangkah terkejutnya pemuda tadi mendengar apa yang diucapkan oleh Syaikh, bahkan terlintas dalam hatinya untuk mengangkat tangan dan memukul wajah sang Syaikh, kalau saja tidak mengingat pesan gurunya agar menjaga adab terhadapnya, karena beliau adalah seorang shalihin.
“Guruku yang hidup apa adanya, ma­kan hanya sekali dalam sehari, senan­tiasa berpuasa, dan tidak memiliki apa pun dari harta benda dunia, lalu dia yang tinggal di istana, diiringi para pengawal, ingin mengajari guruku??”
Tak ada sesuatu yang mencegahnya untuk berbuat yang tidak patut dilakukan ter­hadap Syaikh, kecuali adab terhadap pe­san sang guru bahwa yang dihadap­annya saat itu adalah salah seorang shalihin.
Setelah selesai urusannya di negeri itu, sang pemuda pun kembali ke negeri­nya dan segera mengunjungi sang guru. Di hadapan sang guru ia langsung me­ngadukan apa yang dipesankan oleh Syaikh untuk disampaikan kepadanya.
“Wahai Guru, bagaimana mungkin Syaikh Fulan adalah seorang arif billah, se­orang waliyullah, sedangkan dia ting­gal di dalam istana, makan malam ber­sama Raja, sedang dia berkata kepada­ku, ‘Sampaikan salamku kepada sau­daraku, Fulan, dan katakan padanya, ‘Sampai kapan hatimu selalu bergantung kepada dunia??’.”
Mendengar hal itu sang guru pun me­nangis sejadi-jadinya.
“Apa benar ia mengatakan itu kepa­damu untukku?”
“Benar, wahai Guru.”
Mendadak sang guru pun pingsan, tak sadarkan diri.
Setelah siuman, sang guru menangis lagi sepanjang hari.
Keesokannya si pemuda kembali mengunjungi gurunya. Ia pun bertanya kepada sang guru, “Wahai Guru, jelas­kanlah kepadaku apa yang sesung­guh­nya terjadi?”
“Baiklah. Ketahuilah, Syaikh Fulan yang engkau lihat bergelimang dunia itu sesungguhnya tidak ada sedikit pun di hatinya tolehan kepada dunia. Tak ada dunia sedikit pun di dalam hatinya. Se­dangkan diriku, terkadang datang lintas­an-lintasan ke dalam hatiku, kapan aku memiliki sesuatu dari dunia. Saudaraku, Syaikh Fulan, yang arif billah, yang me­ngi­rim pesan ini untukku, telah diberi fi­rasat oleh Allah SWT untuk mengingat­kanku terhadap adanya aib yang ada di dalam diriku.”
Dari pelajaran ini kita dapat menge­tahui bahwa persoalan sesungguhnya bu­kanlah terletak pada bentuk dan pe­nampilan, dan jangan sampai kita diper­daya oleh nafsu kita karenanya. Karena sesungguhnya nafsu itu selalu menyu­ruh kepada keburukan.
Jangan pernah engkau katakan, “Pe­nampilanku baik, tapi sungguh hatiku tidak bergantung kepadanya.”
Ketahuilah, awal mula pengakuan yang engkau nyatakan itu menunjukkan bahwa engkau tidaklah demikian ada­nya. Karena mengaku-ngaku bukanlah tanda kebenaran.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

stroom09@gmail.com

KLINIK CENAYANG STROOM09

KLINIK CENAYANG STROOM09
KLINIK CENAYANG STROOM09

pengunjung

RENTAL MOBIL CIREBON

RENTAL MOBIL CIREBON
RENTAL MOBIL CIREBON,TAXI ONLINE CIREBON,SEWA MOBIL CIREBON MINAT HP/WA :089537731979

Total Tayangan Halaman