koleksi ilmu-ilmu hikmah,kisah 2 tokoh sufi.teknologi tips n trik dll

Senin, Oktober 14, 2013

pengendalian nafsu

ni adalah buah dari perjalanan menuju Allah SWT. Yakni buah perjalanan yang kita harapkan akan dapat menembus batas adat kebiasaan nafsumu, dan ini lebih penting daripada karamah-karamah, seperti si Fulan bisa terbang atau berjalan di atas air.
Kisah Imam Malik yang telah lalu pada pelajaran sebelumnya, kesemuanya adalah pada masa­lah mengalahkan nafsu dalam meniti jalan menuju Allah SWT. Imam Malik RA telah sampai pada batas kemampuan un­tuk menguasai nafsunya. Imam Malik telah keluar dari kebiasaan dan menem­bus batas adat kebiasaan manusia pada umumnya.
Para ulama menyebutkan bahwa di ma­jelisnya, di Raudhah, bila ingin me­nyampaikan pelajaran tentang hari-hari Arab atau syair-syairnya, Imam Malik mengajarkannya begitu saja. Akan tetapi apabila hendak mengajarkan ihwal ha­dits Rasulullah SAW atau dimintai suatu hadits Nabi SAW, Imam Malik RA mandi terlebih dahulu, memakai wewangian, dan mengenakan pakaian terbaik yang ia miliki, kemudian duduk dan berkata, “Nafi` telah menuturkan kepadaku dari Ibnu Umar dari yang bersemayam di makam ini SAW… — hadits musalsal, yang jalur ini dikenal dengan assilsilatudz-dzahabiyyah (jalur emas), yakni riwayat Imam Malik dari Nafi` dari Ibnu Umar.”
Suatu hari Imam Malik menyam­pai­kan hadits Nabi SAW, tiba-tiba tampak wajahnya berubah menjadi pucat dan memerah, keringat pun bercucuran di wajahnya. Akan tetapi Sayyidina Imam Malik tidak menghentikan pelajarannya menyampaikan hadits Rasulullah SAW hingga selesai.
Setelah usai menyampaikan hadits Nabi SAW, Imam Malik berkata kepada sa­lah satu murid yang jaraknya paling de­kat dari tempatnya duduk, “Coba lihat apa yang ada di balik bajuku ini.”
Murid itu pun dengan segera melihat punggung Imam Malik, ternyata betapa terkejutnya si murid karena ia mendapati seekor kalajengking telah menggigit pung­gung Imam Malik dengan tujuh be­las gigitan di tempat yang berbeda. Mu­rid-murid pun terperanjat menyaksikan ke­jadian itu. Mereka berkata, “Wahai Guru, mengapa engkau tidak memberi tahu kami ketika kalajengking itu baru menggigitmu?”
Imam Malik berkata, “Sungguh aku teramat malu untuk memotong hadits Rasulullah SAW hanya karena sengatan kalajengking.”
Bila saja lalat hinggap di hidungmu di saat shalat, apakah gerangan yang akan engkau lakukan?
Sebagian orang akan berkata, “Ini sudah di luar batas kebiasaan…ini tidak mungkin!!”
Benar, sungguh aku memahami dan mengetahui mengapa akalmu tidak da­pat menerima ini semua. Karena engkau belum meniti jalan menuju Allah SWT. Bila saja engkau sudah meniti jalan ini dan engkau telah melewati tahapan dari dikalahkan nafsu kepada tahapan eng­kau yang mengalahkan nafsumu, nis­caya engkau akan sangat memahami de­ngan baik bagaimana mereka dapat dan mampu menguasai nafsu-nafsu me­reka.
Aku ingin kembali menyebutkan kisah berkaitan dengan pembahasan kita kali ini. Kisah ini terjadi ketika aku berusia kurang lebih empat belas tahun. Jangan engkau berkata, “Tentu saja Imam Malik adalah generasi pertama kalangan salafush shalih, untuk zaman ini siapa yang mampu berlaku seperti itu?”
Perhatikanlah, aku akan mencerita­kan satu kisah kepada kalian. Ketika aku berusia empat belas atau enam belas tahun kala itu, aku ikut serta bersama gu­ruku, Habib Abdul Qadir Assegaf, sa­lah seorang guru besarku di antara guru-guruku yang aku mengambil ilmu dari mereka. Setelah usai mengikuti salah satu majelis sha­lawat, kami pun keluar dari majelis dan kembali ke mobil.
Setelah menutup pintu depan mobil, aku pun masuk ke dalam mobil dan duduk di belakang guruku, Habib Abdul Qadir.
Belum lagi berangkat, seorang mu­hibbin datang tergopoh-gopoh, mem­buka pintu mobil dan meminta doa ke­pada beliau. Setelah didoakan, muhibbin itu pun mencium tangan Guru dan menu­tup kembali pintu mobil.
Baru pergi beberapa langkah, muhib­bin itu kembali lagi dan mengetuk kaca mobil.
Sopir pun menurunkan kaca mobil.
Muhibbin itu kembali berbicara se­suatu kepada guruku dan guruku me­nanggapinya dengan sebaik-baiknya.
Setelah pembicaraan usai, muhibbin itu pun mohon diri dan melangkah pergi dan tak lagi terlihat. Maka sopir sudah kembali merapatkan kaca mobil, tapi tiba-tiba guruku berkata, “Ali!”
Aku menjawab, “Labbaik.”
“Sepertinya orang tadi menutup pintu mengenai jemariku sebelum sopir me­nurunkan jendela mobil.”
Aku pun segera turun dan keluar dari mobil dan membuka pintu mobil. Ter­nyata darah bercucuran dari jari-jemari guruku. Aku pun berkata kepada beliau, “Guru, mengapa engkau tidak memberi­tahukan kepada orang tadi ketika baru menutup pintu, melainkan engkau mem­biarkannya (bahkan) hingga orang tadi kembali datang dan usai panjang lebar berbicara denganmu?”
“Bila aku memberitahukannya, pasti hal itu akan terasa sangat berat baginya ke­tika tahu bahwa ia menutup pintu mengenai jari-jemariku.”
Apakah kita telah sampai pada mak­na-makna yang teramat halus dan lem­but dalam perihal muamalah seperti ini? Ini akan menjadi pembahasan tersendiri insya Allah pada pelajaran yang akan datang.
Yang menjadi bukti dari kisah ini da­lam pembahasan kita kali ini adalah ba­gaimana beliau mampu menguasai diri­nya bahkan sampai pada rasa. Tabiat yang ada pada manusia pada umumnya, ketika ada sesuatu menimpa tangannya, misalkan, ia akan berkata, “Awwh!!
Ungkapan “awwh!!” seperti ini sudah menjadi pembawaan tabiat kita sebagai manusia. Akan tetapi, bagaimana beliau, yang juga seorang manusia, dan bukan dari generasi awal, para sahabat, bukan pula dari generasi kedua, para tabi`in, bukan pula dari generasi ketiga, para tabi`it tabi`in, serta bukan pula dari gene­rasi keempat, tidak pula kelima atau ke­enam, melainkan dari generasi kita, yang kita hadir dan duduk bersamanya? Ba­gaimana beliau mampu mengalahkan nafsunya?
Ini adalah buah dari perjalanan me­nu­ju Allah SWT. Yakni buah perjalanan yang kita harapkan akan dapat menem­bus batas adat kebiasaan nafsumu, yang lebih penting daripada karamah-karamah, seperti si Fulan bisa terbang atau berjalan di atas air.
Kita mengimani bahwa yang demiki­an itu benar adanya dan bahwa Allah menganugerahkan itu semua kepada para shalihin. Akan tetapi hal-hal sema­cam itu bukanlah hakikat karamah, me­lainkan gambaran dari karamah. Hakikat karamah yang sesungguhnya adalah bah­wa engkau mampu menembus batas adat kebiasaan nafsumu sehingga eng­kau dapat menguasai dan mengendali­kan nafsumu karena Allah SWT.
Bila hidup seperti ini, niscaya engkau akan dapat menjadi seorang salik, peniti jalan menuju Allah SWT.
Apa kaitannya persoalan ini dengan pembahasan yang sedang kita bicara­kan?
Di awal pelajaran ini, kita telah ber­bi­cara tentang pakaian dan mendawam­kan wudhu, ini berarti kita sedang masuk ke­pada pembasan penguasaan nafsu. Dan itu merupakan permulaan dari per­kara-per­kara sederhana yang berkaitan de­ngan suluk menuju Allah SWT namun te­rasa berat bagi nafsu untuk menjalani­nya.
Malas? Berdiri, dan ambillah wudhu. Ngantuk? Berdiri dan ambillah wudhu. Ber­hadats? Di hadapanmu tersedia tem­pat wudhu. Alhamdulillah, engkau tidak dituntut untuk menimba air dari sumur agar dapat berwudhu seperti halnya orang-orang dahulu. Engkau hanya cu­kup menggerakkan keran. Seberat apa­kah hal itu untuk engkau lakukan?
Lantas apa yang menyebabkan berat di saat engkau mengambil air wudhu?
Penyebabnya adalah keengganan naf­su yang ada dalam dirimu. Karena­nya, lawan, perangi, dan kekang nafsu­mu pada segala apa yang berat bagi nafsumu dari perkara-perkara yang se­derhaa seperti itu.
Lihatlah, ini semua adalah permula­an-(bidayah)-nya. Jalani semua ini agar kelak engkau dapat sampai kepada ujung (nihayah)-nya, sebagaimana kisah Imam Malik dan Habib Abdul Qadir Assegaf tersebut. Aku telah menyebut­kan permulaannya dan juga ujungnya, agar engkau dapat mengetahui ke ma­na­kah sesungguhnya engkau berjalan. Apakah engkau sudah mengendalikan naf­sumu agar dapat menjaga wudhu, men­jaga thaharah, menjaga kebersihan, dan menjaga hatimu dalam penampilan­mu sehingga sedapat mungkin berpa­kaian hanya sebatas kemampuanmu?
Perhatikanlah perkara ini dan tang­gunglah beban dan kesulitan sederhana ini, agar engkau dapat menanggung be­ban dan kesulitan yang besar nantinya. Setelah itu, tanpa beban dan kesulitan, se­muanya akan menjadi kenikmatan. Se­suatu yang kita pandang di luar adat kebiasaan dalam menanggung beban, rasa sakit, dan perih, seperti yang mere­ka rasakan, sesungguhnya bagi mereka itu adalah kenikmatan mendapatkan ridha Allah SWT. Cari dan gapailah se­mua itu. Sesungguhnya semua itu, demi Allah, dan aku tidak ingin banyak ber­sumpah, akan tetapi di sini aku bersum­pah, sungguh diciptakan untukmu. Ini se­mua tidaklah diciptakan untuk para sadat kita semua dari kalangan malaikat —‘alaihimus-salam, karena sesungguhnya mereka telah diciptakan dengan sifat taat kepada Allah SWT. Mereka tidak memi­liki nafsu. Ini semuanya tercipta untuk­mu, semua derajat-derajat ini pun dicip­takan untukmu. Dan semua karunia agung ini, kalianlah yang dimaksudkan untuk mendapatkan dan meraihnya.
Engkaulah dzat sesungguhnya yang ditiupkan kepadanya dari ruh Allah SWT. Pada dirimu terdapat hati yang padanya terdapat nur-nur La ilaha illallah.
Tahukah engkau nilai dari semua ini?
Engkau berjalan di atas bumi dengan jasad yang kecil, yang jasad itu bukanlah sesuatu apa pun di hadapan alam se­mes­ta. Wahai yang teramat kecil, wahai titik yang ada di alam se­mesta, atau lebih kecil lagi dari titik, ke­tahuilah bahwa pada dirimu terdapat se­suatu yang sendainya semua lapis langit dan bumi ini diletakkan di telapak tangan yang satu, dan sesuatu yang ada pada dirimu itu diletakkan pada telapak tangan yang lain, niscaya sesuatu yang diletakkan pada telapak tangan lainnya itu akan lebih berat dibandingkan semua lapis langit dan bumi. Sesuatu itu adalah La ilaha illallah.
Wahai yang di hatinya terdapat ca­haya-cahaya La ilaha illallah, jangan anggap remeh anugerah ini. Dan makna “jangan menganggap re­meh anu­gerah ini” adalah jangan meng­anggap perjalan­an menuju Allah se­bagai beban sehingga engkau ber­kata, “Tidak!”
Sesungguhnya makna suluk menuju Allah SWT ini untukmu, diciptakan untuk dirimu, dan ia pun berada dalam kesang­gupan serta kemampuanmu.
Pahamilah dengan pemahaman yang benar firman Allah SWT, “Tidaklah Allah memberikan taklif  (beban syari’at) kepada suatu jiwa kecuali sekadar ke­mampuannya.” – QS Al-Baqarah: 286. Sebagian orang memahami firman Allah ini dengan kebalikannya. Ia berkata, “Allah tidak mem­berikan taklif kepada suatu jiwa ke­cuali sekadar kemampuan­nya”, karena­nya aku tidak melakukan, ka­rena aku ti­dak mampu melakukannya.
Ketahuilah, sesungguhnya Allah te­lah memberimu taklif, dan tidaklah Allah memberikan taklif kepadamu kecuali taklif itu dalam batas kemampuanmu. Jadi pe­mahaman ayat ini sebagaimana ungkap­annya, yakni, “Tidaklah Allah memberi­kan taklif kepada suatu jiwa kecuali de­ngan kadar kemampuannya.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

stroom09@gmail.com

KLINIK CENAYANG STROOM09

KLINIK CENAYANG STROOM09
KLINIK CENAYANG STROOM09

pengunjung

RENTAL MOBIL CIREBON

RENTAL MOBIL CIREBON
RENTAL MOBIL CIREBON,TAXI ONLINE CIREBON,SEWA MOBIL CIREBON MINAT HP/WA :089537731979

Total Tayangan Halaman