ni adalah buah dari perjalanan menuju Allah SWT. Yakni
buah perjalanan yang kita harapkan akan dapat menembus batas adat
kebiasaan nafsumu, dan ini lebih penting daripada karamah-karamah,
seperti si Fulan bisa terbang atau berjalan di atas air.
Kisah Imam Malik yang telah lalu pada pelajaran
sebelumnya, kesemuanya adalah pada masalah mengalahkan nafsu dalam
meniti jalan menuju Allah SWT. Imam Malik RA telah sampai pada batas
kemampuan untuk menguasai nafsunya. Imam Malik telah keluar dari
kebiasaan dan menembus batas adat kebiasaan manusia pada umumnya.
Para ulama menyebutkan bahwa di majelisnya, di Raudhah, bila ingin
menyampaikan pelajaran tentang hari-hari Arab atau syair-syairnya, Imam
Malik mengajarkannya begitu saja. Akan tetapi apabila hendak
mengajarkan ihwal hadits Rasulullah SAW atau dimintai suatu hadits Nabi
SAW, Imam Malik RA mandi terlebih dahulu, memakai wewangian, dan
mengenakan pakaian terbaik yang ia miliki, kemudian duduk dan berkata,
“Nafi` telah menuturkan kepadaku dari Ibnu Umar dari yang bersemayam di
makam ini SAW… — hadits musalsal, yang jalur ini dikenal dengan assilsilatudz-dzahabiyyah (jalur emas), yakni riwayat Imam Malik dari Nafi` dari Ibnu Umar.”
Suatu hari Imam Malik menyampaikan hadits Nabi SAW, tiba-tiba
tampak wajahnya berubah menjadi pucat dan memerah, keringat pun
bercucuran di wajahnya. Akan tetapi Sayyidina Imam Malik tidak
menghentikan pelajarannya menyampaikan hadits Rasulullah SAW hingga
selesai.
Setelah usai menyampaikan hadits Nabi SAW, Imam Malik berkata kepada
salah satu murid yang jaraknya paling dekat dari tempatnya duduk,
“Coba lihat apa yang ada di balik bajuku ini.”
Murid itu pun dengan segera melihat punggung Imam Malik, ternyata
betapa terkejutnya si murid karena ia mendapati seekor kalajengking
telah menggigit punggung Imam Malik dengan tujuh belas gigitan di
tempat yang berbeda. Murid-murid pun terperanjat menyaksikan kejadian
itu. Mereka berkata, “Wahai Guru, mengapa engkau tidak memberi tahu kami
ketika kalajengking itu baru menggigitmu?”
Imam Malik berkata, “Sungguh aku teramat malu untuk memotong hadits Rasulullah SAW hanya karena sengatan kalajengking.”
Bila saja lalat hinggap di hidungmu di saat shalat, apakah gerangan yang akan engkau lakukan?
Sebagian orang akan berkata, “Ini sudah di luar batas kebiasaan…ini tidak mungkin!!”
Benar, sungguh aku memahami dan mengetahui mengapa akalmu tidak
dapat menerima ini semua. Karena engkau belum meniti jalan menuju Allah
SWT. Bila saja engkau sudah meniti jalan ini dan engkau telah melewati
tahapan dari dikalahkan nafsu kepada tahapan engkau yang mengalahkan
nafsumu, niscaya engkau akan sangat memahami dengan baik bagaimana
mereka dapat dan mampu menguasai nafsu-nafsu mereka.
Aku ingin kembali menyebutkan kisah berkaitan dengan pembahasan kita
kali ini. Kisah ini terjadi ketika aku berusia kurang lebih empat belas
tahun. Jangan engkau berkata, “Tentu saja Imam Malik adalah generasi
pertama kalangan salafush shalih, untuk zaman ini siapa yang mampu
berlaku seperti itu?”
Perhatikanlah, aku akan menceritakan satu kisah kepada kalian.
Ketika aku berusia empat belas atau enam belas tahun kala itu, aku ikut
serta bersama guruku, Habib Abdul Qadir Assegaf, salah seorang guru
besarku di antara guru-guruku yang aku mengambil ilmu dari mereka.
Setelah usai mengikuti salah satu majelis shalawat, kami pun keluar
dari majelis dan kembali ke mobil.
Setelah menutup pintu depan mobil, aku pun masuk ke dalam mobil dan duduk di belakang guruku, Habib Abdul Qadir.
Belum lagi berangkat, seorang muhibbin datang tergopoh-gopoh,
membuka pintu mobil dan meminta doa kepada beliau. Setelah didoakan,
muhibbin itu pun mencium tangan Guru dan menutup kembali pintu mobil.
Baru pergi beberapa langkah, muhibbin itu kembali lagi dan mengetuk kaca mobil.
Sopir pun menurunkan kaca mobil.
Muhibbin itu kembali berbicara sesuatu kepada guruku dan guruku menanggapinya dengan sebaik-baiknya.
Setelah pembicaraan usai, muhibbin itu pun mohon diri dan melangkah
pergi dan tak lagi terlihat. Maka sopir sudah kembali merapatkan kaca
mobil, tapi tiba-tiba guruku berkata, “Ali!”
Aku menjawab, “Labbaik.”
“Sepertinya orang tadi menutup pintu mengenai jemariku sebelum sopir menurunkan jendela mobil.”
Aku pun segera turun dan keluar dari mobil dan membuka pintu mobil.
Ternyata darah bercucuran dari jari-jemari guruku. Aku pun berkata
kepada beliau, “Guru, mengapa engkau tidak memberitahukan kepada orang
tadi ketika baru menutup pintu, melainkan engkau membiarkannya (bahkan)
hingga orang tadi kembali datang dan usai panjang lebar berbicara
denganmu?”
“Bila aku memberitahukannya, pasti hal itu akan terasa sangat berat
baginya ketika tahu bahwa ia menutup pintu mengenai jari-jemariku.”
Apakah kita telah sampai pada makna-makna yang teramat halus dan
lembut dalam perihal muamalah seperti ini? Ini akan menjadi pembahasan
tersendiri insya Allah pada pelajaran yang akan datang.
Yang menjadi bukti dari kisah ini dalam pembahasan kita kali ini
adalah bagaimana beliau mampu menguasai dirinya bahkan sampai pada
rasa. Tabiat yang ada pada manusia pada umumnya, ketika ada sesuatu
menimpa tangannya, misalkan, ia akan berkata, “Awwh!!
Ungkapan “awwh!!” seperti ini sudah menjadi pembawaan tabiat kita
sebagai manusia. Akan tetapi, bagaimana beliau, yang juga seorang
manusia, dan bukan dari generasi awal, para sahabat, bukan pula dari
generasi kedua, para tabi`in, bukan pula dari generasi ketiga, para
tabi`it tabi`in, serta bukan pula dari generasi keempat, tidak pula
kelima atau keenam, melainkan dari generasi kita, yang kita hadir dan
duduk bersamanya? Bagaimana beliau mampu mengalahkan nafsunya?
Ini adalah buah dari perjalanan menuju Allah SWT. Yakni buah
perjalanan yang kita harapkan akan dapat menembus batas adat kebiasaan
nafsumu, yang lebih penting daripada karamah-karamah, seperti si Fulan
bisa terbang atau berjalan di atas air.
Kita mengimani bahwa yang demikian itu benar adanya dan bahwa Allah
menganugerahkan itu semua kepada para shalihin. Akan tetapi hal-hal
semacam itu bukanlah hakikat karamah, melainkan gambaran dari karamah.
Hakikat karamah yang sesungguhnya adalah bahwa engkau mampu menembus
batas adat kebiasaan nafsumu sehingga engkau dapat menguasai dan
mengendalikan nafsumu karena Allah SWT.
Bila hidup seperti ini, niscaya engkau akan dapat menjadi seorang salik, peniti jalan menuju Allah SWT.
Apa kaitannya persoalan ini dengan pembahasan yang sedang kita bicarakan?
Di awal pelajaran ini, kita telah berbicara tentang pakaian dan
mendawamkan wudhu, ini berarti kita sedang masuk kepada pembasan
penguasaan nafsu. Dan itu merupakan permulaan dari perkara-perkara
sederhana yang berkaitan dengan suluk menuju Allah SWT namun terasa
berat bagi nafsu untuk menjalaninya.
Malas? Berdiri, dan ambillah wudhu. Ngantuk? Berdiri dan ambillah
wudhu. Berhadats? Di hadapanmu tersedia tempat wudhu. Alhamdulillah,
engkau tidak dituntut untuk menimba air dari sumur agar dapat berwudhu
seperti halnya orang-orang dahulu. Engkau hanya cukup menggerakkan
keran. Seberat apakah hal itu untuk engkau lakukan?
Lantas apa yang menyebabkan berat di saat engkau mengambil air wudhu?
Penyebabnya adalah keengganan nafsu yang ada dalam dirimu.
Karenanya, lawan, perangi, dan kekang nafsumu pada segala apa yang
berat bagi nafsumu dari perkara-perkara yang sederhaa seperti itu.
Lihatlah, ini semua adalah permulaan-(bidayah)-nya. Jalani semua ini agar kelak engkau dapat sampai kepada ujung (nihayah)-nya,
sebagaimana kisah Imam Malik dan Habib Abdul Qadir Assegaf tersebut.
Aku telah menyebutkan permulaannya dan juga ujungnya, agar engkau dapat
mengetahui ke manakah sesungguhnya engkau berjalan. Apakah engkau
sudah mengendalikan nafsumu agar dapat menjaga wudhu, menjaga
thaharah, menjaga kebersihan, dan menjaga hatimu dalam penampilanmu
sehingga sedapat mungkin berpakaian hanya sebatas kemampuanmu?
Perhatikanlah perkara ini dan tanggunglah beban dan kesulitan
sederhana ini, agar engkau dapat menanggung beban dan kesulitan yang
besar nantinya. Setelah itu, tanpa beban dan kesulitan, semuanya akan
menjadi kenikmatan. Sesuatu yang kita pandang di luar adat kebiasaan
dalam menanggung beban, rasa sakit, dan perih, seperti yang mereka
rasakan, sesungguhnya bagi mereka itu adalah kenikmatan mendapatkan
ridha Allah SWT. Cari dan gapailah semua itu. Sesungguhnya semua itu,
demi Allah, dan aku tidak ingin banyak bersumpah, akan tetapi di sini
aku bersumpah, sungguh diciptakan untukmu. Ini semua tidaklah
diciptakan untuk para sadat kita semua dari kalangan malaikat —‘alaihimus-salam,
karena sesungguhnya mereka telah diciptakan dengan sifat taat kepada
Allah SWT. Mereka tidak memiliki nafsu. Ini semuanya tercipta untukmu,
semua derajat-derajat ini pun diciptakan untukmu. Dan semua karunia
agung ini, kalianlah yang dimaksudkan untuk mendapatkan dan meraihnya.
Engkaulah dzat sesungguhnya yang ditiupkan kepadanya dari ruh Allah
SWT. Pada dirimu terdapat hati yang padanya terdapat nur-nur La ilaha illallah.
Tahukah engkau nilai dari semua ini?
Engkau berjalan di atas bumi dengan jasad yang kecil, yang jasad itu
bukanlah sesuatu apa pun di hadapan alam semesta. Wahai yang teramat
kecil, wahai titik yang ada di alam semesta, atau lebih kecil lagi dari
titik, ketahuilah bahwa pada dirimu terdapat sesuatu yang sendainya
semua lapis langit dan bumi ini diletakkan di telapak tangan yang satu,
dan sesuatu yang ada pada dirimu itu diletakkan pada telapak tangan yang
lain, niscaya sesuatu yang diletakkan pada telapak tangan lainnya itu
akan lebih berat dibandingkan semua lapis langit dan bumi. Sesuatu itu
adalah La ilaha illallah.
Wahai yang di hatinya terdapat cahaya-cahaya La ilaha illallah,
jangan anggap remeh anugerah ini. Dan makna “jangan menganggap remeh
anugerah ini” adalah jangan menganggap perjalanan menuju Allah
sebagai beban sehingga engkau berkata, “Tidak!”
Sesungguhnya makna suluk menuju Allah SWT ini untukmu, diciptakan
untuk dirimu, dan ia pun berada dalam kesanggupan serta kemampuanmu.
Pahamilah dengan pemahaman yang benar firman Allah SWT, “Tidaklah
Allah memberikan taklif (beban syari’at) kepada suatu jiwa kecuali
sekadar kemampuannya.” – QS Al-Baqarah: 286. Sebagian orang memahami
firman Allah ini dengan kebalikannya. Ia berkata, “Allah tidak
memberikan taklif kepada suatu jiwa kecuali sekadar kemampuannya”,
karenanya aku tidak melakukan, karena aku tidak mampu melakukannya.
Ketahuilah, sesungguhnya Allah telah memberimu taklif, dan tidaklah
Allah memberikan taklif kepadamu kecuali taklif itu dalam batas
kemampuanmu. Jadi pemahaman ayat ini sebagaimana ungkapannya, yakni,
“Tidaklah Allah memberikan taklif kepada suatu jiwa kecuali dengan
kadar kemampuannya.”
koleksi ilmu hikmah, kisahsufi,tasawuf,fengshui,maulid,desain grafis,batu akik,batu obsidian, paypal pay,za,pendanaan,RENTAL MOBIL proyek,investor,funder,kredit kpr,pinjaman multi guna ,pialang,wali amanat,SEWA MOBIL CIREBONtaxi online cirebondan lain-lain
koleksi ilmu-ilmu hikmah,kisah 2 tokoh sufi.teknologi tips n trik dll
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
stroom09@gmail.com