koleksi ilmu hikmah, kisahsufi,tasawuf,fengshui,maulid,desain grafis,batu akik,batu obsidian, paypal pay,za,pendanaan,RENTAL MOBIL proyek,investor,funder,kredit kpr,pinjaman multi guna ,pialang,wali amanat,SEWA MOBIL CIREBONtaxi online cirebondan lain-lain
koleksi ilmu-ilmu hikmah,kisah 2 tokoh sufi.teknologi tips n trik dll
Minggu, Agustus 04, 2013
ulama-ulama guru bangsa part 2
sambungan dari kisah, ulama-ulama guru bangsa part 1
Gus Wahid, oleh ayahnya, sengaja tak dimasukkan ke sekolah Belanda, karena sang ayah khawatir hal itu akan menimbulkan kontroversi di kalangan ulama, yang ketika tengah gigih-gigihnya melawan kolonialis Belanda.
Setelah kembali ke Tebuireng, Gus Wahid mulai mengenal huruf Latin. Huruf Latin pada masa itu tidak diajarkan di pondok. Yang ingin bisa menulis Latin harus belajar sendiri. Kecerdasan dan bakat kemampuan ilmiah yang dimiliki Gus Wahid yang luar biasa membuatnya dengan mudah menguasai pelajaran apa pun. Demikian pula halnya dengan kemampuan baca-tulis Latin.
Tak mengheranka, di usia 15 tahun, walau tak pernah duduk di bangku sekolah umum, Gus Wahid sudah mahir baca-tulis huruf latin dan menguasai dua bahasa asing, Inggris dan Belanda. Kedua bahasa asing itu dipelajarinya sendiri melalui majalah dalam dan luar negeri. Dan untuk lebih menguasai lagi kedua bahasa asing itu, sang ibunda, Nyai Nafiqah, meminta kepada orang Eropa yang bekerja sebagai manajer di pabrik gula setempat untuk mengajari putranya bahasa Inggris dan Belanda. Hal itu dimaksudkan agar Gus Wahid kelak bisa masuk pergaulan elite di perkotaan.
Maka sejak saat itu, bukan hanya kitab-kitab berbahasa Arab yang dilalapnya — sering kali ia tinggal di ruang perpustakaan sang ayah berhari-hari lamanya hanya untuk membaca, apa pun yang ada di di perpustakaan mini itu dibacanya. Tetapi buku-buku yang berbahasa Inggris, Jerman, dan Belanda, serta matematika, ilmu bumi, dan pengetahuan umum, juga ia baca.
Pada tahun 1932, di usia 18 tahun, Gus Wahid pergi ke Tanah Suci Makkah, didampingi sepupunya, Muhammad Ilyas. Sembari menunaikan ibadah haji, mereka berdua diminta untuk mendalami tafsir, hadits, nahwu, sharaf, dan fiqih.
Dua tahun kemudian Gus Wahid kembali ke Jombang.
Kehadirannya di pondok membawa pencerahan. Ia mengusulkan kepada ayahnya perombakan kurikulum pendidikan pesantren, dari klasikal ke tutorial. Bukan hanya mengubah sistemnya, Gus Wahid, yang kala itu baru berusia 19 tahun, juga mengusulkan memperbanyak pendidikan non-agama. Alasannya sederhana, toh sebagian murid tidak akan menjadi ulama, lebih baik mereka dibekali keterampilan praktis. Ide semacam ini merupakan lompatan besar bagi kalangan pesantren pada saat itu.
Ide itu pada awalnya sempat ditolak, tapi kemudian bisa diterima. Maka sejak saat itu, Tebuireng merupakan pesantren pertama yang menerapkan sistem pendidikan seperti ini, dengan memadukan pendidikan agama dan pendidikan umum. Bahkan Gus Wahid pun memasukkan materi bahasa Inggris dan bahasa Jerman ke pesantren.
Kebesaran Gus Wahid tak hanya terbukti dan diakui di lingkungan pesantren. Pada usia 27 tahun, Gus Wahid sudah dipercaya menjadi pemimpin pertama Majelis Islam A‘la Indonesia (MIAI), sebagai federasi perkumpulan kelompok Islam kala itu, yang didirikan oleh K.H. Abdul Wahab, K.H. Mas Mansyur, K.H. Ahmad Dahlan, dan W. Wondoamiseno di Surabaya pada tahun 1937. MIAI merupakan perkumpulan gabungan dari 13 organisasi Islam dalam perjuangan menghadapi tekanan penjajah Belanda.
Di bawah kepemimpinan K.H. Wahid Hasyim, dalam waktu singkat MIAI sudah membuahkan berbagai keputusan penting. Misalnya, pembentukan Komisi Pemberantasan Penghinaan Islam, juga berhasil memulangkan lebih dari 900 orang Islam Indonesia yang telantar di Makkah. Puncaknya, saat kongres di Solo, MIAI di bawah kepemimpinan Kiai Wahid Hasyim memutuskan pelarangan bantuan milis untuk Belanda, melarang transfer darah untuk membantu peperangan Belanda. Selain itu, MIAI juga menuntut perubahan tata negara: Indonesia berparlemen berdasarkan Islam.
Di masa pendudukan Jepang, MIAI merupakan satu-satunya perkumpulan yang diperbolehkan berdiri di negeri ini. Di luar itu, Kiai Wahid adalah tokoh yang relatif lebih diterima oleh Jepang dibanding tokoh-tokoh lainnya. Terlebih lagi setelah keberhasilannya melobi dan meyakinkan pembesar Jepang untuk membebaskan K.H. Hasyim Asy‘ari, yang ditangkap mendadak oleh pemerintah Jepang dan dijebloskan ke penjara pada tahun 1942. Sejak saat itu Jepang berubah pandangan: organisasi keagamaan bukan ancaman bagi pendudukan mereka. Lobi intensif Kiai Wahid membuahkan hasil.
Kiai Wahid mendekati Jepang bukan tanpa alasan. Ia bercita-cita kelompok Islam terus eksis dan bersatu di tengah penjajahan. Kiai Wahid sadar, persatuan kelompok Islam akan membantu perjuangan mencapai kemerdekaan. Maka jadilah Kiai Wahid menerapkan politik santun kepada Jepang. Bermanis-manis di depan Jepang tapi menghimpun kekuatan di belakang.
Tahun 1941, Kiai Wahid Hasyim mengundurkan diri dari MIAI karena panggilan ayahnya untuk mengasuh pesantren.
Waktu itu, selain menjabat ketua Dewan MIAI, Kiai Wahid juga menjadi ketua Departemen Ma‘arif, atau departemen pendidikan, di NU, yang waktu itu masih berpusat di Surabaya.
Selama memimpin departemen pendidikan, Kiai Wahid melakukan reorganisasi internal. Program lainnya adalah menambah jumlah madrasah di seluruh Indonesia serta meningkatkan kualitas guru serta materi pelajarannya. Ia memasukkan materi pelajaran umum dalam kurikulum madrasah NU. Kiai Wahid berkeyakinan, ilmu pengetahuan akan menjadi senjata bagi umat Islam di masa yang akan datang.
Dalam pengembangan pendidikan, Kiai Wahid berinisiatif mengadakan pertemuan khusus yang membahas pentingnya mendirikan perguruan tinggi. Konferensi Daerah Jawa Timur II di Malang menghasilkan rancangan peraturan rumah tangga NU bagian perguruan dan pendidikan. Inilah yang menjadi cikal bakal universitas dan institut agama Islam yang tersebar di seluruh Indonesia.
Pada tahun 1946, Kiai Wahid Hasyim dipilih menjadi ketua Tanfidziyah Nahdlatul Ulama, menggantikan K.H. Machfud Shiddiq.
Untuk menggalang dukungan dari para kiai, Jepang membentuk Shumubu, kantor urusan agama. Lembaga ini awalnya dipimpin oleh Kolonel Horie, perwira Jepang yang dianggap tahu soal Islam.
Namun, di bawah kepemimpinan Kolonel Horie, Shumubu tak menghasilkan apa pun. Maka Jepang pun menggantikannya dengan Hoesein Djajaningrat.
Tapi, di bawah Hoesein, Shumubu tak juga memberikan pengaruh pada kaum Islam sebagaimana yang semestinya diharapkan oleh Jepang. Maka Jepang pun menggantikannya dengan K.H. Hasyim Asy‘ari, yang kemudian jabatan itu diserahkan kepada putranya, K.H. Wahid Hayim.
Maka, sejak saat itu Kiai Wahid Hasyim menjadi pemimpin Shumubu, yang sesungguhnya adalah embrio kementerian agama di kemudian hari. Oleh Kiai Wahid, Shumubu dijadikan sebagai jembatan untuk mengatasi perbedaan antar-umat, agar tidak terpecah.
Hubungan Kiai Wahid dengan Jepang menjadikannya sibuk di Jakarta sebagai “kepanjangan tangan” Negeri Matahari Terbit dengan para tokoh pergerakan ke arah kemerdekaan dan untuk urusan yang berhubungan dengan agama Islam.
Kiai Wahid memiliki kedudukan yang terhormat menjadi anggota Chuo Sangi In, biasa dibaca Chusang In, Dewan Penasihat Pusat Pemerintah Militer Jepang, yang dipimpin oleh Soekarno, juga penasihat Kantor Urusan Agama Jepang.
Pada tahun 1943, Kiai Wahid Hasyim ditunjuk menjadi salah seorang pemimpin Majelis Syura Muslimin Indonesia (Masyumi), pengganti MIAI.
Saat menjadi wakil ketua Masyumi, Kiai Wahid merintis pembentukan Barisan Hizbullah, yang membantu perjuangan umat Islam mewujudkan kemerdekaan.
Menjelang kemerdekaan, Kiai Wahid menjadi anggota Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI), yang dibentuk Jepang pada 29 April 1945. Dalam rapat perumusan yang teramat alot mengenai dasar negara, Kiai Wahid diakui oleh para pakar sejarah tampil sebagai sosok yang terdepan untuk menyuarakan syari’at Islam agar menjadi bagian mutlak dalam undang-undang dasar, dan bahkan mengusulkan agar tercantum di dalam undang-undang dasar ketentuan bahwa yang boleh menjadi presiden dan wakil presiden hanya orang Indonesia asli yang beragama Islam.
Pada usia 35 tahun, Kiai Wahid menduduki posisi penting sebagai menteri agama. Dalam periode yang singkat (1949-1950), sejumlah gagasan tentang pendidikan agama yang selama ini tertahan dalam benaknya lantas mengucur deras. Saat menjadi menteri agama itulah, Kiai Wahid menelurkan kebijakan-kebijakan yang mempengaruhi sistem pendidikan Indonesia hingga saat ini. Di antaranya, pada tanggal 20 Januari 1950, ia mengeluarkan peraturan pemerintah yang mewajibkan pendidikan dan pengajaran agama di lingkungan sekolah umum sebagai bagian dari kurikulum pendidikan nasional, baik negeri maupun swasta.
Sebelum menjadi menteri agama, Kiai Wahid mendirikan Sekolah Tinggi Islam di Gondangdia, Jakarta, pada tahun 1944. Dari sekolah inilah bermacam perguruan tinggi Islam yang ada di negeri ini berhulu. Dan sekolah ini pula yang menjadi cikal bakal berdirinya Universitas Islam Indonesia dan Universitas Islam Negeri (UIN), yang dahulu Institut Agama Islam Negeri (IAIN), di kemudian hari.
Pada hari Sabtu, 18 April 1953, Kiai Wahid Hasyim berangkat dari Jakarta menuju Sumedang, Jawa Barat, untuk menghadiri rapat NU. Di Kampung Cimindi, di antara Bandung dan Cimahi, hujan lebat mengguyur jalanan yang dilalui oleh kendaraan yang ditunggangi oleh Kiai Wahid dan rombongan. Ban Chevrolet, yang ditunggangi Kiai Wahid, selip dan sang sopir tak mampu mengendalikannya. Mobil pun melaju zig-zag. Di depan, sebuah truk mengerem. Bagian belakang mobil Kiai Wahid membentur truk itu dengan keras. Tubuh Kiai Wahid terlempar ke luar dan terlindas truk. Keesokan harinya, 19 April 1953, guru bangsa, ulama pendidik, dan pendidik ulama itu wafat di rumah sakit Borromeus, Bandung, dalam usia 39 tahun. Bangsa Indonesia pun di hari itu dipenuhi air mata kesedihan yang teramat mendalam. Bumi Pertiwi ditinggalkan salah satu putra terbaiknya.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
stroom09@gmail.com