Assalamualaikum wr wb.salam sejahtera buat pembaca blog stroom09
yg setia hadir membaca artikel-artikel blog stroom09.kali ini saya akan
mencoba memposting sekilas ulama pendidik,pendidik ulama.yuk kita simak
bareng2 artikel di bawah ini semoga ada pelajaran yang dapat kita ambil
dari kisah perjuangan ulama tersebut.biar gagh penasaran langsung saja
ya.
T.G.K.H. Muhammad Zainuddin Abdul Madjid
Tuan Guru K.H. Muhammad Zainuddin Abdul Madjid, pendiri Nahdlatul
Wathan (NW), lahir di Desa Pancor, Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat,
pada tanggal 17 Rabi’ul Awwal 1316 H, bertepatan dengan tanggal 5
Agustus 1898 M, dari perkawinan Tuan Guru Haji Abdul Madjid, yang
termasyhur dengan panggilan “Guru Mukminah” atau “Guru Minah”, dengan
seorang wanita shalihah, Hj. Halimah As-Sa`diyah.
Nama kecilnya adalah Muhammad Saggaf, nama ini dilatarbelakangi oleh
suatu peristiwa yang sangat menarik untuk dicermati. Yakni, tiga hari
sebelum ia dilahirkan, ayahnya, T.G.H. Abdul Madjid, didatangi orang
waliyullah dari Hadhramaut dan Maghribi. Kedua waliyullah itu secara
kebetulan mempunyai nama yang sama, yakni “Saqqaf”. Kedua waliyullah
tersebut berpesan kepada T.G.H. Abdul Madjid supaya anaknya yang akan
lahir itu diberi nama “Saqqaf”.
Setelah menunaikan ibadah haji, nama kecilnya tersebut diganti dengan
“Muhammad Zainuddin”. Nama ini pun diberikan oleh ayahnya sendiri yang
diambil dari nama seorang ulama besar yang mengajar di Masjid Al-Haram.
Akhlaq dan kepribadian ulama besar itu sangat menarik hati sang ayah.
Ulama besar itu adalah Syaikh Muhammad Zainuddin Serawak, dari
Serawak, Malaysia.
Sejak kecil T.G.K.H. Muhammad Zainuddin terkenal sangat jujur dan
cerdas. Karena itu tidaklah mengherankan bila ayah-bundanya memberikan
perhatian istimewa dan menumpahkan kasih sayang begitu besar
kepadanya.
Ketika melawat ke Tanah Suci Makkah untuk melanjutkan studi, ayah-bundanya ikut mengantar ke Tanah Suci.
Ayahnya yang mencarikan guru tempat ia belajar pertama kali di
Masjidil Haram dan sempat menemaninya di Tanah Suci sampai dua kali
musim haji. Sedangkan ibunya, Hj. Halimatus Sa’diyah, ikut bermukim di
Tanah Suci mendampingi dan mengasuhnya sampai ibunda tercintanya itu
berpulang ke rahmatullah tiga setengah tahun kemudian dan dimakamkan
di Mu’alla, Makkah.
Dengan demikian, tampak jelaslah betapa besar perhatian
ayah-bundanya terhadap pendidikannya. Hal ini juga tercermin dari sikap
ibunya setiap kali ia berangkat untuk menuntut ilmu. Sambil mengulurkan
tangannya untuk dicium sang putra tercinta, ibunya selalu mendoakan
dengan ucapan, “Mudah-mudahan engkau mendapat ilmu yang barakah.” Dan
sang ibu terus memperhatikan kepergiannya sampai ia tidak terlihat lagi
oleh pandangan mata.
Pernah suatu ketika, Guru Zainuddin lupa pamit kepada ibunya. Ia
sudah jauh berjalan sampai ke pintu gerbang, baru sang ibu melihatnya
dan kemudian memanggilnya untuk kembali, “Gep, Gep, Gep (nama panggilan
masa kecilnya).... Kok lupa bersalaman?” ucap sang ibunda dengan suara
yang cukup keras.
Akhirnya, ia pun kembali menemui ibunya sembari meminta maaf dan
mencium tangannya. Lalu sang ibu pun mendoakannya, “Mudah-mudahan
anakku mendapatkan ilmu yang barakah.” Setelah itu barulah ia
berangkat ke sekolah.
Ini merupakan pertanda, betapa besar kesadaran ibunya akan penting
dan mustajabnya doa seorang ibu untuk sang anak, sebagaimana dituntunkan
dan diajarkan oleh Rasulullah SAW.
Pengembaraan T.G.K.H. Muhammad Zainuddin menuntut ilmu pengetahuan
berawal dari pendidikan dalam keluarga, yakni dengan belajar mengaji
(membaca Al-Qur’an) dan berbagai ilmu agama lainnya, yang diajarkan
langsung oleh ayahnya, yang dimulai sejak ia berusia lima tahun.
Setelah berusia sembilan tahun, ia memasuki pendidikan formal, yang disebut Sekolah Rakyat Negara, hingga tahun 1919 M.
Setelah menamatkan pendidikan formalnya, ia diserahkan oleh ayahnya
untuk menuntut ilmu agama yang lebih luas dari beberapa tuan guru
termasyhur di daerahnya saat itu, antara lain T.G.H. Syarafudin dan
T.G.H. Muhammad Sa’id dari Pancor serta Tuan Guru Abdullah bin Amaq
Dulaji dari Desa Kelayu, Lombok Timur.
Di samping didampingi kedua orangtuanya, ketika belajar di Makkah
Muhammad Zainuddin remaja juga diantar kemenakan dan beberapa anggota
keluarga, termasuk T.G.H. Syarafuddin. Pada saat itu, yaitu menjelang
musim haji tahun 1341 H/1923 M, ia berusia 15 tahun.
Guru pertama yang ditemuinya di Makkah adalah Syaikh Marzuki, seorang
keturunan Arab kelahiran Palembang yang sudah lama mengajar mengaji di
Masjid Haram. Di samping itu ia juga belajar ilmu sastra kepada ahli
syair terkenal di Makkah, yakni Syaikh Muhammad Amin Al-Kutbi.
Ketika ayah T.G.K.H. Muhammad Zainuddin Abdul Madjid pulang ke
Lombok, ia berhenti belajar mengaji kepada Syaikh Marzuki, dan
melanjutkan mencari guru yang lain. Namun, belum sempat ia mendapatkan
guru, sudah terjadi perang saudara antara kekuasaan Syarif Husein dan
golongan Wahabi.
Dua tahun setelah terjadinya huru-hara tersebut, Muhammad Zainuddin
muda berkenalan dengan Haji Mawardi dari Jakarta. Dari perkenalannya itu
ia diajak masuk belajar di Madrasah Shaulatiyah, yang saat itu
dipimpin oleh Syaikh Salim Rahmatullah.
Madrasah Shaulatiyah adalah madrasah pertama sebagai permulaan
sejarah baru dalam pendidikan di Arab Saudi. Madrasah ini sangat
legendaris, gaungnya telah menggema di seluruh dunia dan telah
menghasilkan banyak ulama besar dunia.
Sudah menjadi tradisi bahwa setiap santri yang hendak masuk di
Madrasah Shaulatiyah harus mengikuti tes masuk untuk menentukan kelas
yang cocok bagi kemampuannya. Demikian pula dengan T.G.K.H. Muhammad
Zainuddin, ia juga dites terlebih dahulu. Secara kebetulan ia diuji
langsung oleh Direktur Shaulatiyah sendiri, Syaikh Salim Rahmatullah
dan Syaikh Hasan Muhammad Al-Masysyath. Hasil tes menentukan, ia berada
di kelas 3.
Mendengar keputusan itu, T.G.K.H. Muhammad Zainuddin minta
diperkenankan masuk kelas 2, dengan alasan ingin mendalami mata
pelajaran ilmu nahwu dan sharaf.
Semula Syaikh Hasan bersikeras agar T.G.K.H. Muhammad Zainuddin
masuk kelas 3, tetapi pada akhirnya beliau melunak dan mengabulkan
permohonan itu. Dan sejak itu T.G.K.H. Muhammad Zainuddin secara resmi
masuk Madrasah Shaulatiyah mulai dari kelas 2.
Prestasi akademisnya sangat istimewa. Ia berhasil meraih peringkat
pertama dan juara umum. Dengan kecerdasan yang luar biasa, T.G.K.H.
Muhammad Zainuddin berhasil menyelesaikan studi dalam waktu hanya enam
tahun, padahal normalnya adalah sembilan tahun. Dari kelas 2, ia
diloncatkan ke kelas 4, kemudian loncat kelas lagi dari kelas 4 ke kelas
6, kemudian pada tahun-tahun berikutnya naik kelas 7, 8, dan 9.
Setelah menyelesaikan studi di Madrasah Shaulatiyah pada tanggal 22
Dzulhijjah 1353 H/27 Maret 1935 M, dengan predikat “mumtaz” (summa cum laude),
ia tidak langsung pulang ke Lombok, melainkan bermukim lagi di Makkah
selama dua tahun sambil menunggu adiknya yang masih belajar, yaitu
Haji Muhammad Faisal. Waktu dua tahun itu ia manfaatkan untuk belajar
lagi, antara lain belajar ilmu fiqih kepada Syaikh Abdul Hamid
Abdullah Al-Yamani. Dengan demikian T.G.K.H. Muhammad Zainuddin
menuntut ilmu di Makkah selama 12 tahun dan ia telah menunaikan haji
sebanyak 13 kali haji.
Setelah selesai menuntut ilmu di Makkah dan kembali ke tanah air,
T.G.K.H. Muhammad Zainuddin langsung melakukan safari dakwah ke
berbagai tempat di Pulau Lombok, sehingga dikenal secara luas oleh
masyarakat. Pada waktu itu masyarakat menyebutnya “Tuan Guru Bajang”.
Semula, pada tahun 1934, ia mendirikan Pesantren Al-Mujahidin
sebagai tempat pemuda-pemuda Sasak mempelajari agama. Selanjutnya pada
tanggal 15 Jumadil Akhirah 1356 H/22 Agustus 1937 ia mendirikan
Nahdlatul Wathan Diniyah Islamiyah (NWDI) dan menamatkan santri (murid)
pertama kali pada tahun ajaran 1940 H/1941 M.
Penghargaan kepada mahaguru yang paling dicintai dan disayangi,
Maulana Syaikh Hasan Muhammad Al-Masysyath, ia wujudkan dalam bentuk
pendirian Pondok Pesantren Hasaniyah NW di Jenggik, Lombok Timur.
Demikian pula penghargaan kepada mahaguru Maulana Syaikh Sayyid Muhammad
Amin Al-Kutbi, diwujudkannya dalam bentuk pendirian Pondok Pesantren
Aminiyah NW di Bonjeruk, Lombok Tengah.
Kepemimpinan yang ia contohkan di atas hanya dapat dilakukan oleh
orang-orang yang memiliki wawasan ilmu yang dalam serta pemimpin yang
memiliki kearifan dan kebijaksanaan.
Demikian pula tentang pendekatan yang ia lakukan, selalu mengandung
nilai-nilai pendidikan. Ia tidak mau bahkan tidak pernah bersikap
sebagai pembesar yang disegani. Ia selalu bertindak sebagai pengayom
yang berada di tengah-tengah jama’ah dan senantiasa menempatkan diri
sesuai dengan keberadaan dan kemampuan mereka. Demikian juga halnya di
kala ia memberikan fatwanya, selalu disesuaikan dengan kondisi dan
jangkauan alam pikiran murid dan santrinya.
Pembawaan dan sikap hidupnya selalu menunjukkan kesederhanaan.
Inilah yang membuatnya selalu dekat dengan para warganya dan
murid-muridnya, dengan tidak berkurang kewibawaan dan kharismanya.
Keluhan yang disampaikan para warga dan muridnya ditampung, didengar,
dan dicarikan jalan penyelesaiannya dengan penuh kearifan dan
kebijaksanaan, tanpa merugikan salah satu pihak.
Untuk melanjutkan dan mengembangkan perjuangan Nahdlatul Wathan di
masa datang, ia sangat mendambakan munculnya kader-kader yang memiliki
potensi, militansi, serta loyalitas yang tinggi, baik dari segi
semangat, wawasan, maupun bobot keilmuan. Dalam banyak kesempatan ia
sering menyampaikan keinginannya agar murid dan santrinya memiliki ilmu
pengetahuan sepuluh bahkan seratus kali lipat lebih tinggi daripada
ilmu pengetahuan yang ia miliki. Demikian motivasi yang selalu ia
kumandangkan supaya murid dan santrinya lebih tekun dan berpacu dalam
menuntut ilmu pengetahuan, baik di dalam maupun di luar negeri.
Dalam menerima dan menghadapi para murid dan santri serta warga
Nahdlatul Wathan, ia tidak pernah membedakan yang satu dan yang lain.
Semua murid dan santri serta warga Nahdlatul Wathan diberi perhatian dan
kasih sayang yang sama besarnya, bagaikan cinta dan kasih sayang
seorang ayah kepada anak-anaknya.
Untuk membina dan memonitor kualitas kader-kader Nahdlatul Wathan, ia mengeluarkan wasiat dalam bahasa Arab, yang artinya:
“Dengan menyebut nama Allah dan dengan memuji-Nya, semoga
keselamatan tetap tercurah padamu, demikian pula rahmat Allah,
keberkatan, ampunan, dan ridha-Nya.
Anak-anak yang setia dan murid-muridku yang berakal, sesungguhnya
semulia-mulia kamu di sisiku ialah yang paling banyak bermanfaat untuk
perjuangan Nahdlatul Wathan, dan sejahat-jahat kamu di sisiku ialah
yang paling banyak merugikan perjuangan Nahdlatul Wathan.
Karena itu, kuatkanlah kesabaranmu, tetaplah bersiap siaga, kemudian
berjuanglah di jalan Nahdlatul Wathan untuk mempertinggi citra agama
dan negara. Niscaya kamu dengan kekuasaan Allah SWT tergolong pejuang
agama, orang shalih dan mukhlish, baik pada waktu sendirian maupun pada
waktu bersama orang lain.
Semoga Allah membukakan pintu rahmat untuk kami dan kamu, dan
semoga Dia menganugerahi kami dan kamu serta para simpatisan Nahdlatul
Wathan masuk surga dan nikmat tambahan yang tiada taranya, yaitu
melihat Dzat-Nya dari dalam surga.”
Pada tahun 1952, madrasah-madrasah cabang NWDI (Nahdlatul Wathan
Diniyah Islamiyah)-NBDI (Nahdlatul Banat Diniyah Islamiyah) yang
didirikan oleh para alumnus di berbagai daerah telah berjumlah 66 buah.
Maka untuk mengkoordinir, membina, dan mengembangkan
madrasah-madrasah cabang tersebut beserta seluruh amal usahanya,
T.G.K.H. Muhammad Zainuddin Abdul Madjid mendirikan organisasi Nahdlatul
Wathan yang bergerak di dalam bidang pendidikan, sosial, dan dakwah
Islamiyah pada tanggal 15 Jumadil Akhirah 1372 H/1 Maret 1953 M.
Sampai dengan tahun 1997 lembaga-lembaga pendidikan yang dikelola
oleh organisasi Nahdlatul Wathan telah berjumlah lebih dari 747 buah
dari tingkat taman kanak-kanak sampai dengan perguruan tinggi. Begitu
juga lembaga sosial dan dakwah Islamiyah Nahdlatul Wathan berkembang
dengan pesat bukan hanya di NTB, melainkan juga di berbagai daerah di
Indonesia, seperti NTT, Bali, Jawa Timur, Jawa Barat, DKI Jakarta, Riau,
Sulawesi, Kalimantan, bahkan sampai ke mancanegara, seperti Malaysia,
Singapura, Brunei Darussalam.
Pada zaman penjajahan, T.G.K.H. Muhammad Zainuddin Abdul Madjid juga
menjadikan madrasah NWDI dan NBDI sebagai pusat pergerakan kemerdekaan,
tempat menggembleng patriot-patriot bangsa, yang siap bertempur melawan
dan mengusir penjajah. Bahkan secara khusus T.G.K.H. Muhammad Zainuddin
Abdul Madjid bersama guru-guru Madrasah NWDI-NBDI membentuk suatu
gerakan yang diberi nama “Gerakan Al-Mujahidin”. Gerakan Al-Mujahidin
ini bergabung dengan gerakan-gerakan rakyat lainnya di Pulau Lombok
untuk bersama-sama membela dan mempertahankan kemerdekaan dan keutuhan
bangsa Indonesia.
Pada tanggal 7 Juli 1946, T.G.H. Muhammad Faizal Abdul Majid, adik
kandung T.G.K.H. Muhammad Zainuddin Abdul Madjid, memimpin penyerbuan
tanksi militer NICA di Selong. Namun, dalam penyerbuan itu gugurlah
T.G.H. Muhammad Faisal Abdul Madjid bersama dua orang santri NWDI
sebagai syuhada.
T.G.K.H. Muhammad Zainuddin Abdul Madjid, sebagai ulama, pendidik,
dan pemimpin umat, telah menorehkan berbagai jasa, antara laian
mendirikan Pesantren Al-Mujahidin (1934), mendirikan Madrasah NWDI
(1937), mendirikan Madrasah NBDI (1943), menjadi pelopor kemerdekaan RI
untuk daerah Lombok (1945), pelopor penggempuran NICA di Selong Lombok
Timur (1946), menjadi amirul haj dari Negara Indonesia Timur
(1947/1948), menjadi anggota Delegasi Negara Indonesia Timur ke Arab
Saudi (1948/1949), konsulat NU Sunda Kecil (1950), ketua Badan Penasihat
Masyumi Daerah Lombok (1952), mendirikan Organisasi Nahdlatul Wathan
(1953), ketua umum PBNW Pertama (1953), merestui terbentuknya partai NU
dan PSII di Lombok (1953), merestui terbentuknya Perti (Persatuan
Tarbiyah Islamiyah) Cabang Lombok (1954), menjadi anggota Konstituante
RI hasil Pemilu I 1955 (1955), mendirikan Akademi Pedagogik NW (1964),
menjadi peserta KIAA (Konferensi Islam Asia Afrika) di Bandung (1964),
mendirikan Ma’had Dar Al-Qur’an wa Al-Hadits Al-Majidiyah
Asy-Syafi’iyah Nahdlatul Wathan (1965), anggota MPR RI hasil pemilu II
dan III 1972-1982, penasihat Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat
(1971-1982), mendirikan Ma’had li Al-Banat (1974), ketua Penasihat
Bidang Syara’ Rumah Sakit Islam Siti Hajar Mataram (1975-1997),
mendirikan Universitas Hamzanwadi (1977), menjadi rektor Universitas
Hamzanwadi (1977), mendirikan Fakultas Tarbiyah Universitas Hamzanwadi
(1977), mendirikan STKIP Hamzanwadi (1978), mendirikan Sekolah Tinggi
Ilmu Syari’ah Hamzanwadi (1978), mendirikan Yayasan Pendidikan
Hamzanwadi (1982), mendirikan Universitas Nahdlatul Wathan Mataram
(1987), mendirikan Sekolah Tinggi Ilmu Hukum Hamzanwadi (1987),
mendirikan Sekolah Tinggi Ilmu Dakwah Hamzanwadi (1990), mendirikan
Madrasah Aliyah Keagamaan putra-putri (1994), mendirikan Institut Agama
Islam Hamzanwadi (1996).
Oleh karena jasa-jasanya itulah, pada tahun 1995 ia dianugerahi
Piagam Penghargaan dan medali Pejuang Pembangunan oleh pemerintah.
Tarikh akhir 1997 menjadi masa kelabu Nusa Tenggara Barat. Betapa
tidak, hari Selasa, 21 Oktober 1997 M/20 Jumadil Akhirah 1418 H, dalam
usia 99 tahun menurut kalender Masehi, atau usia 102 tahun menurut
Hijriyyah, ulama karismatis, Tuan Guru Haji Muhammad Zainuddin Abdul
Madjid, berpulang ke rahmatullah sekitar pukul 19.53 WITA di
kediamannya di Desa Pancor, Lombok Timur. Tiga warisan besar yang ia
tinggalkan adalah ribuan ulama, puluhan ribu santri, dan sekitar seribu
lebih kelembagaan Nahdlatul Wathan yang tersebar di seluruh Indonesia
dan mancanegara.
koleksi ilmu hikmah, kisahsufi,tasawuf,fengshui,maulid,desain grafis,batu akik,batu obsidian, paypal pay,za,pendanaan,RENTAL MOBIL proyek,investor,funder,kredit kpr,pinjaman multi guna ,pialang,wali amanat,SEWA MOBIL CIREBONtaxi online cirebondan lain-lain
koleksi ilmu-ilmu hikmah,kisah 2 tokoh sufi.teknologi tips n trik dll
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
stroom09@gmail.com