Muda, energik, dan berpikir positif, itulah ciri yang menonjol dari
Habib Ahmad bin Anis bin Abdul Kadir Basurrah. Ditempa di Huraidhah dan
Tarim untuk menekuni dakwah membuatnya selalu berprasangka baik dalam
menyikapi persoalan yang menimpa umat Islam.
Masa kecilnya sampai kelas dua SD dihabiskannya di Arab Saudi, lalu
ia pindah ke Indonesia dan bersekolah di Jamiat Kheir. Habib Ahmad juga
sempat mencicipi sekolah Muhammadiyah sebelum akhirnya menuntut ilmu
ke Huraidhah dan Tarim selama lima tahun lebih.
“Setamat SMA sebenarnya saya tertarik untuk melanjutkan kuliah,
namun kedatangan Habib Muhammad Shaleh Alatas ke Jakarta yang menawarkan
belajar di Huraidhah membuat saya berubah pikiran, apalagi pergaulan
saya dan juga banyak saudara adalah dengan para pendakwah,” tutur pria
berusia 25 tahun ini.
“Awalnya rencana di Hadhramaut hanya dua tahun, khawatir kalau tidak
betah. Ternyata malah keasyikan menuntut ilmu di sana sampai hampir
enam tahun. Saat kedatangan Habib Muhammad ke Jakarta, dia bilang bahwa
dia punya tempat belajar tapi belum ada pondoknya. Silakan kalau mau
belajar. Saya berangkat berempat dengan teman ke Huraidhah, ini adalah
cabang pesantren Darul Musthafa yang diasuh oleh Habib Umar Bin
Hafidz,” katanya.
Mulailah pengembaraan ilmu dan praktek dakwah yang sesungguhnya
dilakukan di negeri para wali itu. Menurutnya, bekalnya hanyalah niat
baik untuk menuntut ilmu dan sedikit bahasa Arab, karena ketika kecil
dia sudah fasih berbahasa Arab.
“Saat itu kami belajar di masjid, tinggalnya mengontrak di rumah
penduduk, setiap Kamis dan Jum’at kami dilepas untuk berdakwah masuk ke
rumah penduduk. Di sana bertahan tiga tahun lalu saya pindah ke Rubath
Tarim, asuhan Habib Salim Asy- Syathiri, sempat mengikuti pelajaran
di tempat Habib Umar Bin Hafidz selama empat puluh hari. Di rubath
Tarim dua setengah tahun, belajar fiqih, akhlaq, nahwu, lalu hafalan
Al-Qur’an, sisa hari lainnya digunakan untuk terjun ke dunia dakwah
sampai ke pelosok-pelosok Tarim,” ujar suami Zahara binti Hasan Alatas
ini.
Ketika sudah bermukim di Huraidhah selama setahun barulah berdiri
pesantren, dan santrinya mulai bertambah. Mereka yang masuk paling
awal disuruh mengajar santri baru, termasuk Habib Ahmad. Dia pun ikut
mengajarkan kitab Risalatul Jamiah, Safinatun Najah,
dan kitab-kitab dasar lainnya. Menurut Habib Ahmad, santri juga
diharuskan ikut program pesantren kilat (daurah) selama empat puluh
hari di Pesantren Darul Musthafa di bawah bimbingan Habib Umar Bin
Hafidz.
“Di Huraidhah kami hidup seperti orang zaman dahulu, hanya belajar
dan beribadah, tidak boleh menonton, tidak boleh keluar pesantren,
fasilitas modern seperti kipas angin atau AC tidak ada, padahal di sana
musim panas sangat luar biasa, musim dingin juga esktrem dingin, yang
kami dapatkan di situ adalah arti kehidupan. Kami paham, hidup itu
seperti itu, jangan asal enak saja. Keberkahan ilmu kami mengertinya
di situ,” tuturnya lagi mengisahkan pengalaman menjadi santri di
Huraidhah dan Tarim.
Dengan suasana yang fokus seperti itu, menurutnya ilmu cepat masuk,
para santri tidak tercemar dengan hal-hal yang membuat hilangnya
keberkahan ilmu, seperti maksiat atau melihat hal-hal yang dilarang
agama. “Tidak ada radio dan televisi, selama saya di pesantren tidak
pernah melihat wanita, kecuali kalau terjun ke masyarakat,” ujarnya. Dia
bersyukur bisa menuntut ilmu di dua kota ilmu itu, yaitu Huraidhah dan
Tarim, karena menurutnya dua tempat itu sumber ilmu dan semua orang
ingin ke sana untuk menuntut ilmu.
Ceramah Dadakan
Kesiapan mental adalah salah satu fokus yang sangat diperhatikan
ketika menuntut ilmu di Huraidhah. Menurut Habib Ahmad, jadwal para
santri diatur dengan ketat dan disiplin, mulai dari bangun sebelum
subuh sampai nanti tidur lagi jam sebelas malam.
“Satu jam sebelum subuh para santri dibangunkan, lalu kami membaca adzkar
(dzikir-dzikir), sampai adzan subuh. Sebelum shalat, menunggu iqamah,
adzkar lagi. Setelah shalat Subuh, adzkar lagi, lalu membaca Wirdul
Lathif dan wirid Habib Abubakar bin Salim.
Setelah itu kami belajar ilmu nahwu, balaghah, sampai makan pagi
sekitar jam 09.00. Setelah makan pagi, kami rehat sejenak lalu nanti
dibangunkan sekitar jam 10.30. Kemudian ada dars (pelajaran), yang materinya bergantian, tentang hadits, sirah, aqidah.
Setelah shalat Zhuhur, kami setor hafalan kepada guru dan pembimbing,
lalu acara makan siang, dan dilanjutkan dengan istirahat,” ujar Habib
Ahmad.
“Sebelum adzan ashar, kami sudah ada di masjid, menunggu imam datang,
lalu berdzikir, membaca Wirdul Lathif, surah Al-Waqi’ah, kemudian
rauhah, membahas kitab-kitab aqidah, tasawuf, akhlaq, yang berhubungan
dengan kebersihan hati.
Jam lima sore ada waktu kosong. Biasanya santri memanfaatkan untuk main bola.
Sebelum maghrib, kami sudah ada di masjid lagi, bedzikir, shalat
berjama’ah. Setelah itu kami membaca Al-Qur’an, tiap kelompok lima
orang, satu hari satu juz. Targetnya setiap hari Kamis khatam
Al-Qur’an.
Menunggu adzan isya, kami membaca Ratib Alatas, setelah itu membaca fiqih, sampai waktu iqamah.
Setelah shalat Isya berjama’ah, kami membaca hadits, sampai setengah sepuluh malam. Setelah itu muraja’ah, menyiapkan dan membaca apa yang akan dipelajari besok paginya.
Jam sebelas malam lampu dimatikan. Tidurnya ada yang menjaga secara
bergiliran. Jadi dua jam lalu bangun, menjaga yang tidur, begitu terus
sampai menjelang subuh. Jadi dalam pesantren kami tidak pernah berhenti
dari dzikir dan orang yang beraktivitas menuntut ilmu.”
Tidak hanya di pesantren, para santri juga disuruh terjun ke
masyarakat. Agar mental mereka terlatih dengan baik dan siap dengan
segala kondisi apa pun. Habib Ahmad pernah kaget ketika baru empat bulan
dia di sana langsung oleh Habib Muhammad diminta untuk memberikan
mauizhah. Dia ingin memberikan alasan bahwa bahasa Arab-nya masih
terpatah-patah, tapi belum sempat berbicara sudah ditinggal oleh
gurunya itu.
Ketika saatnya datang, Habib Ahmad pun menyampaikan kepada hadirin
yang memenuhi masjid bahwa ia mempunyai keterbatasan, jadi dia hanya
berpidato sebentar.
Tapi ketika pulang, Habib Muhammad malah memuji ceramahnya. “Itu
motivasi agar santri tidak patah semangat, walau saya tahu apa yang
saya lakukan jauh dari harapan,” tutur Habib Ahmad sambil tertawa.
Itulah yang membuatnya sampai sekarang tidak pernah takut menyampaikan
amar ma’ruf nahi munkar, karena mentalnya sudah dilatih dengan baik.
“Wasiat dari guru, kita tidak ada waktu berhenti untuk berdakwah dan
menuntut ilmu. Jadi kalau pulang jangan sampai berhenti belajar.
Bisnis tidak apa tapi jangan sampai melupakan dakwah,” ujarnya
menirukan gurunya, dan itu yang dipegangnya sebagai bekal berdakwah.
Dakwah Penuh Tanggung Jawab
Sepulang dari Hadhramaut, Habib Ahmad mulai berdakwah dengan lebih
menonjolkan akhlaqul karimah. Dia berdakwah dengan tutur bahasa yang
lemah lembut dan penuh kesabaran. Dia ingin mencontoh kesabaran
Rasulullah SAW. Awalnya dia hanya mengisi ta’lim yang ustadznya
berhalangan, namun setelah itu jama’ah makin banyak yang menyukai gaya
berdakwahnya, terutama anak muda. Maka dibentuklah Majelis Ta’lim
Ar-Ridwan, yang bermarkas di masjid dekat rumahnya di Cililitan Kecil,
Jakarta Timur. Jadwal ta’limnya sehabis maghrib tiap Jum’at, dan yang
dibahas masalah fiqih, lalu membaca Maulid Simthud Durar.
Selanjutnya di Gandaria, itu dua kali sebulan, yang dibahas aqidah, menggunakan kitab Aqidatul Awwam.
Sedangkan di Condet di Majelis Ta’lim Muassasatul Bagir jadwalnya
minggu pertama dan ketiga tiap bulan. Di samping itu dia juga mengisi
manasik haji dan umrah di sebuah perusahaan travel dua kali sebulan, lalu sisanya mungkin ada undangan dari berbagai tempat.
Menurutnya, dakwah itu penuh tanggung jawab. “Masalah-masalah
faktual kadang kita tahu jawabnya tapi takut mengutarakannya. Kalau Imam
Syafi’i jika ditanya beliau diam lebih dulu. Lama sekali diam. ‘Kenapa
tiap ditanya antum diam, ya Imam?’
Dia menjawab, ‘Kalau saya buru-buru menjawab, takut salah. Dia ingin memastikan bahwa jawaban itu tepat’,” kata Habib Ahmad.
Dia melanjutkan, dakwah saat ini adalah hasil dari perjuangan
ulama-ulama dan habaib zaman dulu, yang penuh rintangan. Kita sekarang
tinggal meneruskan. Ibarat kopi, memasak dan mengaduknya sudah dilakukan
para pendahulu kita, yang sekarang tinggal meminumnya.
Dakwah yang dilakukannya terutama adalah kepada para pemuda,
khususnya pemuda yang rusak, suka mabuk, dan sejenisnya. “Dakwah harus
disampaikan dengan cara yang baik, jangan membuat orang antipati. Ada
akhlaqnya dalam menegur orang, jangan sampai dia malu. Kita harus selalu
berbaik sangka. Kalau ada yang masih suka mabuk, dia minum tiga botol
sehari, misalnya, nasihati agar bisa mengurangi, doakan agar dia cepat
sadar,” ujarnya.
“Nahi munkar dalam agama, kalau kita tidak bisa mengubah dengan
tangan, dengan cara mengingatkan secara lembut. Seperti Allah SWT
memerintahkan kepada Nabi Musa AS agar mendakwahi Fir’aun dengan
perkataan yang lembut, padahal Allah SWT Mahatahu bahwa Fir’aun akan
mati dalam keadaan kafir....”
Di samping itu menurutnya penting juga terapi seperti yang dilakukan
Habib Rizieq dengan FPI-nya. Kalau tidak, kemunkaran akan semakin
leluasa. Jadi perlu sinergi. Melihat situasi dan kondisi sangat perlu
dalam berdakwah. Ada saat tertentu diperlukan ketegasan.
Menurutnya, dakwah itu perlu kesabaran. Hanya itu tantangannya.
Kalau ancaman fisik, tidak ada yang berarti. Tidak seperti di negara
lain. “Kita harus mencontoh Rasulullah SAW. Pernah suatu ketika beliau
mendapatkan seorang ibu tua yang sedang membawa barangnya setelah dari
pasar, Rasulullah SAW kasihan melihat barang yang dibawanya tampak
begitu berat, beliau lalu menawarkan diri untuk membawanya. Sampai ke
tujuan rumahnya, si ibu tadi belum pernah melihat dan mengenal
Rasulullah SAW, sampai di rumahnya dia berkata, ‘Wahai anak muda, aku
ingin memberi nasihat kepadamu yang berguna untukmu dunia dan akhirat.
Kalau suatu waktu nanti kamu berjumpa dengan seorang pemuda yang
bernama Muhammad, jangan pernah sekali-kali kamu percaya, karena dia
adalah pembohong besar.’ Padahal yang dihadapinya adalah Muhammad.
Kalau kita mungkin sudah naik pitam mendengar omongan orang tua itu.
Sudah dibantu malah berkata seperti itu. Tapi dakwah itu adalah akhlaq,
itu yang menarik orang. Akhlaq itu lebih fasih dari mulut. Lalu
Rasulullah SAW dengan tenang mengatakan, ‘Bagaimana kalau anak muda itu
adalah aku?’
Perempuan tua itu kaget dan memandang Rasulullah, tidak percaya.
Setelah itu ia menangis, dan akhirnya wanita itu masuk Islam karena
agungnya akhlaq Rasulullah SAW. Itulah Islam.
Kalau ada orang yang membenci dakwah kita, kita temui mereka seraya
minta maaf. Hal itu akan membuat mereka malu dan nanti akan penasaran.
Islam itu awalnya akhlaq, pertengahan akhlaq, dan akhirnya akhlaq.
Ada ulama yang mengarang buku dan bertanya, ‘Kenapa umat Islam tersingkir dari percaturan dunia?’
Salah satu jawabannya adalah karena orang kafir zaman sekarang
menggunakan akhlaqnya orang Islam, dan sebaliknya orang Islam
menggunakan akhlaq orang kafir. Coba perhatikan bagaimana perilaku
orang di jalan raya, bagaimana akhlaq mereka,” kata Habib Ahmad.
Menurutnya, dakwah itu harus bersatu dari semua pihak, baik itu
donatur, media, kekuasaan, semuanya harus bersatu. Media jangan hanya
diisi oleh hal-hal yang dangkal, karena pengaruh media sangat luar
biasa. Banyak masyarakat yang tidak tahu hal-hal elementer dalam agama,
orang sekarang kan hanya ingin tahu yang populer, misalnya seperti
perbedaan pendapat kelompok-kelompok. Bagaimana urusan akan beres kalau
hal yang mendasar mereka tidak lakukan, ingin rizqi lancar dan berkah
tapi shalat tidak pernah. Kita butuh kesabaran dan kebersamaan dalam
dakwah.
Berbicara tentang kesabaran, manusia yang paling sabar adalah
Rasulullah SAW. “Kunci kesabaran itu ingat kesabaran Rasulullah SAW
saat berdakwah, diapakan saja beliau sabar. Jangan hanya karena
diomongin lalu ada yang berhenti berdakwah.
Kita harus sadar, Islam itu satu. Kalau Islam bentrok, pasti ada
munafik atau kafir yang melakukan adu domba. Tujuannya, tidak ingin
Islam damai, ingin agar Islam hancur.
Kita harus introspeksi, mari kita pikirkan diri kita, mari belajar
dari ulama-ulama terdahulu dalam menghormati ulama yang berbeda
pendapat, bagaimana akhlaq mereka menghormati yang berbeda pendapat.
sumber: majalah alkisah
koleksi ilmu hikmah, kisahsufi,tasawuf,fengshui,maulid,desain grafis,batu akik,batu obsidian, paypal pay,za,pendanaan,RENTAL MOBIL proyek,investor,funder,kredit kpr,pinjaman multi guna ,pialang,wali amanat,SEWA MOBIL CIREBONtaxi online cirebondan lain-lain
koleksi ilmu-ilmu hikmah,kisah 2 tokoh sufi.teknologi tips n trik dll
Jumat, September 06, 2013
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
stroom09@gmail.com