koleksi ilmu-ilmu hikmah,kisah 2 tokoh sufi.teknologi tips n trik dll

Minggu, September 08, 2013

dialog suku badui arab dan khalifah harun ar Rasyid


Kemudian perhatikan dengan seksama, Sayyidina Abu Bakar adalah imam para ulama dan beliau pulalah yang pertama-tama menjadi khalifah kaum muslimin sepeninggal Rasulullah SAW, pemegang otoritas kekuasaan tertinggi kaum muslimin.

Adapun mengenai satu kewajiban dari dua belas, itu adalah bulan Rama­dhan dari hitungan dua belas bulan. Me­ngenai satu kewajiban dari empat puluh, itu adalah zakat emas, yaitu satu dinar dari empat puluh dinar. Mengenai lima ke­wajiban dari dari dua ratus, itu adalah zakat perak, yaitu lima dirham dari dua ratus dirham.”

Badwi itu lalu berkata, “Aku sudah men­jawab pertanyaanmu, sekarang aku hendak bertanya kepadamu, maka ja­wab­lah pertanyaanku.”

Harun Ar-Rasyid pun berkata, “Berta­nyalah.”

Badwi itu lalu berkata, “Bagaimana pendapatmu tentang seorang laki-laki yang melihat seorang wanita pada waktu fajar, wanita itu haram baginya. Ketika datang waktu zhuhur, halal baginya.  Datang waktu ashar, haram baginya. Datang waktu maghrib, halal baginya. Datang waktu isya, haram baginya. Datang waktu subuh, halal baginya. Datang waktu zhuhur, haram baginya. Datang waktu ashar, halal baginya. Datang waktu maghrib, haram baginya. Dan ketika datang lagi waktu isya, halal lagi baginya?”

Harus Ar-Rasyid berkata, “Demi Allah, wahai saudaraku sebangsa Arab, sung­guh engkau telah melemparkan diri­ku ke da­lam lautan yang tidak seorang pun da­pat menyelamatkanku selain diri­mu.”

Badwi itu pun berkata, “Engkau khali­fah Allah, tidak sepatutnya engkau lemah tentang satu persoalan saja. Lalu bagai­mana engkau lemah terhadap pertanya­anku, padahal aku hanya seorang Badwi yang tidak berdaya.”

Lalu Harun Ar-Rasyid pun berkata, “Ke­dudukanmu dalam ilmu sungguh agung, maka jelaskanlah kepadaku ihwal pertanyaanmu itu.”

Badwi itu pun kemudian berkata, “Aku akan menjawab dengan syarat eng­kau akan menambal yang retak, mengasihi orang faqir, dan tidak meng­hinakan me­reka.”

Harun Ar-Rasyid pun berkata, “De­ngan senang hati dan penuh hormat.”

Badwi itu kemudian menjelaskan, “Le­laki itu melihat kepada budak perem­puan orang lain di waktu fajar, maka wanita itu haramkan baginya. Tatkala waktu zhuhur tiba, ia membeli budak perempuan itu, maka melihatnya itu halal baginya.

Ketika waktu ashar tiba, ia memer­dekakan budak itu, maka haram baginya melihat perempuan itu. Lalu ketika waktu maghrib tiba, ia menikahinya, maka tentu perempuan itu halal baginya. Lalu ketika waktu isya tiba, ia menceraikannya, maka perempuan itu diharamkan bagi­nya. Ke­tika subuh tiba, ia merujuknya, maka tentu perempuan itu kembali halal baginya.

Ketika waktu zhuhur tiba, ia melaku­kan zhihar (ucapan yang menyamakan istri dengan punggung ibunya), maka pe­rempuan itu haram baginya. Ketika tiba waktu ashar, ia menunaikan kafarat ter­hadap zhiharnya, maka perempuan itu kem­bali halal baginya. Kemudian ketika waktu maghrib tiba, laki-laki itu murtad, keluar dari Islam, maka perempuan itu ha­ram baginya. Setelah waktu isya da­tang, laki-laki itu bertaubat dan kembali memeluk Islam, maka perempuan itu dihalalkan kembali baginya.”

Mendengar penjalasan itu, Harun Ar-Rasyid pun bergembira dan segera me­merintahkan pengawalnya untuk mem­berikan 1.000 dirham kepada Badwi itu.

Ketika uang itu telah berada di ha­dapannya, Badwi itu berkata, “Tidak ada hajatku terhadap uang itu, kembali­kan­lah kepada para pemiliknya.”

Harun Ar-Rasyid berkata, “Apakah engkau ingin agar aku menetapkan ang­garan yang dapat mencukupimu sepan­jang hidupmu.”

Badwi itu berkata, “Yang Maha Me­ne­tapkan rizqi untukmu, Dia pula Yang Me­netapkan rizqi untukku.”

Harun Ar-Rasyid berkata, “Bila eng­kau memiliki utang, biarlah kami akan membayarkannya untukmu.”

Badwi itu kembali menolaknya dan ti­dak mau menerima sesuatu pun dari Kha­lifah.

Harun Ar-Rasyid pun akhirnya berta­nya tentang siapa dia sesungguhnya dan dari mana berasal.

Badwi itu pun menjelaskan bahwa ia adalah Musa Al-Kazhim, putra Ja‘far Ash-Shadiq bin Muhammad Al-Baqir bin bin Ali Zainal Abidin bin Hu­sain bin Ali bin Abi Thalib dan Fathimah Az-Zahra binti Rasulullah SAW.

Imam Musa Al-Kazhim berpakaian se­perti seorang Badwi padang pasir ka­rena kezuhudan dan kewara’annya.

Harun Ar-Rasyid pun segera berdiri dan mencium kening Imam Musa Al-Kazhim sembari membacakan ayat, “Allah lebih mengetahui di mana Dia me­nempatkan risalah-Nya (QS Al-An`am: 124).”

Tak Luntur karena Dunia

Setelah uraian panjang lebar di atas, marilah kembali kita memperhatikan satu kisah lain yang disampaikan oleh Habib Ali Al-Jufri dalam sebuah majelis ilmunya, yang menjelaskan bahwa se­orang ulama yang sesungguhnya dalam kondisi apa pun tidak akan pernah ke­hilangan iden­titas dirinya sebagai se­orang peniti jalan menuju Allah yang paling takut kepada-Nya.

Salah seorang shalihin mempunyai mu­rid yang selalu berada di bawah pen­didikan dan bimbingannya. Murid ini ada­lah seorang pedagang yang selalu ber­niaga ke berbagai negara untuk menjual barang dagangannya. Suatu ketika ia menghadap sang guru untuk meminta restu dan doa hendak melakukan per­jalanan niaga ke negeri Fulan. Ia berkata kepada gurunya, “Wahai guru, beri­kan­lah nasihat kepada kami.”

“Baiklah. Di negeri yang hendak eng­kau tuju itu terdapat Syaikh Fulan. Beliau adalah salah seorang pembesar awliya’ shalihin. Datanglah kepadanya dan min­talah doa untukmu dan juga untukku. Sam­paikan kepadanya, ‘Wahai Syaikh, guruku, Fulan, menyampaikan salam ke­padamu dan mohon doa.’

Beberapa waktu kemudian sampai­lah murid itu ke negeri yang dituju. Ia pun se­gera bertanya kepada orang yang di­jum­painya, di mana gerangan majelis Syaikh Fulan berada. Orang yang di­tanya pun tertawa dan menjelaskan bahwa Syaikh Fulan yang dimaksud tinggal di dalam istana.

Terperanjatlah ia mendengar penje­lasan orang yang ditanyainya bahwa Syaikh Fulan yang dikatakan sebagai pem­besar para wali oleh gurunya ter­nyata tinggal di dalam istana. Namun, ti­dak ingin berlama-lama dalam keheran­annya, tanpa berpikir panjang, ia kembali menanyakan di mana istana yang di­mak­sud itu.

Ia pun diantar oleh beberapa orang me­nuju istana. Ia mengetuk pintu dan me­nyampaikan bahwa ia bermaksud untuk menjumpai Syaikh Fulan untuk menyam­paikan amanah dari sang guru.

“Syaikh sedang diundang jamuan ma­kan malam bersama Raja,” beberapa pe­layan menjelaskan.

Hatinya semakin bertanya-tanya, “Ba­gaimana mungkin? Syaikh Fulan tinggal di istana bersama Raja, sedang guruku me­nyuruhku untuk meminta doa dari­nya?”

Meski dipenuhi keheranan dan kebi­ngungan, ia tetap berusaha sabar demi menjalankan amanah dari gurunya. Ia mu­lai membayangkan apa yang ada da­lam benaknya tentang gambaran orang shalih.

“Orang shalih seharusnya adalah orang yang tidak memiliki harta, tidak memiliki tempat tinggal yang layak, tidak bercampur dengan manusia dan men­jauhi dunia…. Bila tidak demikian adanya, bukanlah ia orang shalih.”

Kala itu datanglah Syaikh bersama rombongan dengan para pengawal yang berada di setiap sisinya. Ia pun meminta izin untuk masuk dan menemui Syaikh. Di dalam hatinya sudah tidak ada lagi setitik husnuzhan kepada sang Syaikh. Namun ia memaksakan masuk mene­muinya demi  melaksanakan amanah dari sang guru.

“Wahai Syaikh, guruku, Fulan, me­ngi­rim salam kepadamu dan meminta ke­padamu agar tidak lupa untuk men­doa­kannya,” kata pemuda itu kepada Syaikh.

“Apakah benar gurumu Syaikh Fu­lan?”

“Benar, Tuan Syaikh.”

“Kalau begitu, sampaikan kepada­nya bahwa saudaranya, Fulan, menyam­pai­kan salam dan katakan kepadanya, ‘Sam­pai kapan hatimu bergantung ke­pada dunia? Belumkah datang waktunya untuk memutuskan kebergantungan hati­mu dari dunia?’.”

Alangkah terkejutnya pemuda tadi men­dengar apa yang diucapkan oleh Syaikh, bahkan terlintas dalam hatinya untuk mengangkat tangan dan memukul wajah sang Syaikh kalau saja tidak meng­ingat pesan gurunya agar menjaga adab terhadap sang Syaikh karena beliau adalah seorang shalihin.

“Guruku yang hidup apa adanya, ma­kan hanya sekali dalam sehari, senan­tiasa berpuasa, dan tidak memiliki apa pun dari harta benda dunia, lalu dia yang ting­gal di istana, diiringi para pengawal, ingin mengajari guruku?”

Tak ada sesuatu yang mencegahnya untuk berbuat yang tidak patut dilakukan terhadap Syaikh kecuali adab terhadap pesan sang guru bahwa yang di hadap­annya saat itu adalah salah seorang sha­lihin.

Setelah selesai urusannya di negeri itu, si pemuda pun kembali ke negerinya dan segera mengunjungi sang guru.

Di hadapan sang guru ia langsung mengadukan apa yang dipesankan oleh Syaikh untuk disampaikan kepadanya.

“Wahai guru, bagaimana mungkin Syaikh Fulan adalah seorang arif billah, seorang waliyullah, sedangkan dia ting­gal di dalam istana, makan malam ber­sama Raja, sedang dia berkata kepada­ku, ‘Sam­paikan salamku kepada sau­daraku, Fulan, dan katakan padanya: Sampai kapan hatimu selalu bergantung kepada dunia?’.”

Mendengar hal itu sang guru pun me­nangis sejadi-jadinya.

“Apa benar ia mengatakan itu ke­pada­mu untukku?”

“Benar, wahai guru.”

Mendadak sang guru pun pingsan tak sadarkan diri.

Setelah siuman, sang guru pun me­nangis sepanjang hari.

Keesokannya si pemuda kembali mengunjungi gurunya. Ia pun bertanya kepada sang guru, “Wahai guru, jelas­kanlah kepadaku apa yang sesungguh­nya terjadi?”

“Baiklah. Ketahuilah, Syaikh Fulan yang engkau lihat bergelimang dunia itu sesungguhnya tidak ada sedikit pun di hatinya tolehan kepada dunia. Tak ada dunia sedikit pun di dalam hatinya. Se­dangkan diriku, terkadang datang lintas­an-lintasan ke dalam hatiku kapan aku memiliki sesuatu dari dunia. Saudaraku, Syaikh Fulan, yang arif billah, yang me­ngirim pesan ini untukku, telah diberi fira­sat oleh Allah SWT untuk mengingat­kan­ku terhadap adanya aib yang ada di da­lam diriku.”

Perhatikan, seorang ulama, meski­pun ia duduk di samping raja, berada di te­ngah gemerlapnya kekuasaan, ia tetap se­orang peniti jalan menuju Allah SWT. Bah­kan sebagian mereka adalah para pem­besar shalihin.


sumber: majalah alkisah

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

stroom09@gmail.com

KLINIK CENAYANG STROOM09

KLINIK CENAYANG STROOM09
KLINIK CENAYANG STROOM09

pengunjung

RENTAL MOBIL CIREBON

RENTAL MOBIL CIREBON
RENTAL MOBIL CIREBON,TAXI ONLINE CIREBON,SEWA MOBIL CIREBON MINAT HP/WA :089537731979

Total Tayangan Halaman