koleksi ilmu-ilmu hikmah,kisah 2 tokoh sufi.teknologi tips n trik dll

Minggu, September 08, 2013

keadilan islam


Mengenai Imam Ali bin Abi Thalib RA, ada satu kisah, di antara ribuan ki­sah ke­teladanan beliau yang tiada ban­dingnya sepanjang masa, yang menun­jukkan be­tapa siapa pun, terutama ten­tunya para ulama dalam hal ini, bila benar dalam lang­kahnya semata-mata karena Allah SWT, niscaya keadilan menjadi pertaruh­an hidupnya, meskipun itu teramat pahit dan getir rasanya.

Dikisahkan bahwa, setelah menjabat khalifah, suatu ketika Imam Ali bin Abi Thalib RA melihat baju zirah (baju besi) miliknya yang telah lama hilang ada pada seorang Nasrani. Ia tidak tahu, bagai­mana bisa baju zirah itu berada di tangan Nasrani itu. Ia pun kemudian ber­usaha meminta baju Zirah itu dan men­jelaskan bahwa baju zirah itu miliknya. Naum, Nas­rani itu enggan memberikan zirahnya dan tetap bersikeras untuk mengakui bahwa baju itu miliknya.

Imam Ali pun lalu mengajak laki-laki itu ke pengadilan untuk mengadukan per­selisihan yang terjadi antara mereka ber­dua. Kala itu, yang menjabat hakim ada­lah Qadhi Syarih.

Qadhi Syarih berkata kepada lelaki Nasrani itu, “Apa pembelaanmu terha­dap apa yang dikatakan oleh Amirul Mu’min­in?”

Nasrani itu berkata, “Baju zirah ini mi­likku. Amirul Mu’minin tidak berhak me­nuduhku.”

Qadhi Syarih berpaling kepada Imam Ali dan berkata, “Wahai Amirul Mu’minin, apa­kah engkau punya bukti?”

Imam Ali tertawa lalu berkata, “Eng­kau benar, wahai Syarih, aku tidak me­mi­liki bukti apa pun.”

“Atau adakah saksi yang mendukung tuduhanmu?”

“Ada, anakku Hasan.”

“Ia tidak dapat menjadi saksi bagi­mu?”

“Ia tidak dapat menjadi saksi bagimu.”

“Bukankah engkau pernah mende­ngar sabda Rasulullah SAW bahwa Ha­san dan Husain adalah dua pemimpin ahli surga?”

“Meski begitu, tetap saja ia tidak ber­hak menjadi saksi untukmu.”

Akhirnya Qadhi Syarih memutuskan bahwa baju zirah itu milik Nasrani.

Laki-laki Nasrani itu pun mengambil baju zirah itu, lalu berjalan pulang me­nuju rumahnya.

Namun, belum lagi jauh, ia kembali menemui keduanya dan berkata, “Aku bersaksi bahwa hukum seperti ini adalah hukum para nabi. Amirul Mu’minin mem­bawaku kepada hakim yang diangkat olehnya dan ternyata hakimnya itu me­ne­tapkan keputusan yang justru membe­rat­kan Amirul Mu’minin sendiri. Aku bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah dan bahwa Muhammad adalah ham­ba dan rasul-Nya. Baju zirah ini, demi Allah, ada­lah baju zirahmu, wahai Amirul Mu’minin. Aku mengikuti pasukan dan saat itu eng­kau pergi ke Shiffin, dan aku mengambil beberapa barang dari tungganganmu.”

Imam Ali berkata, “Karena kau telah berislam, baju zirah ini untukmu.”

Laki-laki itu pun sangat bersenang hati menerimanya.

Imam Ali mengalah meskipun dia tahu benar bahwa baju zirah itu miliknya, tidak lain karena yang beliau junjung ting­gi adalah makna penegakan keadil­an dan tunduk pada kebenaran. Karena bila ke­dua makna ini telah hilang dari pri­badi se­orang ulama, dan tentunya siapa pun, su­dah barang tentu tidak ada lagi sesuatu pun yang bernilai dari dirinya.

Makna-makna ini pun akan kembali pada makna khalifah yang sesungguh­nya. Seorang yang berada di puncak ke­kuasaan, selama ia menjalankan tugas­nya sebagaimana yang diperintahkan oleh Allah dan Rasul-Nya, ia adalah se­orang khalifah.

Kesejatian Khalifah

Habib Umar Bin Hafidz berkata, “Da­lam kitab Al-Mustadrak terdapat riwayat yang dinyatakan shahih oleh Adz-Dza­habi, ’Setelah Imam Hasan bin Ali bin Abi Thalib RA mundur dari khilafah (dan me­nyerahkannya kepada Sayyidina Mu`­awi­yah), ada orang berkata kepada­nya: Orang-orang berkata bahwa Anda meng­inginkan khilafah.

Imam Hasan menoleh kepada orang itu. Ia berkata: Aku meninggalkan jabat­an khilafah pada saat orang-orang kuat ber­ada di tanganku. Mereka mengikuti pe­­rintahku, siap memerangi orang yang aku perangi dan berdamai dengan orang yang berdamai denganku. (Aku mening­galkan khilafah) Karena untuk mencari ridha Tuhanku dan menghindarkan per­tum­pahan darah sesama muslimin. Lalu, apakah aku akan berupaya mendapat­kan khilafah dengan keputusasaan orang-orang Hijaz. Pergilah, aku tidak meng­inginkan khilafah itu’.”

Kisah ini memiliki sanad riwayat yang shahih melalui mata rantai para perawi yang dipercaya oleh Al-Bukhari dan Muslim.

Dalam kisah ini terdapat sebuah pen­jelasan bahwa mundur dari khilafah pada saat terjadinya perpecahan adalah khi­lafah sejati. Khilafah hakiki yang diajar­kan Nabi ini bersemayam dengan sem­purna dalam diri Al-Hasan bin Ali. De­ngan me­nyerahkan kekuasaan lahiriah, tidak ber­arti warisan Nabi menjadi ber­kurang pada dirinya, tidak berarti ada ke­kurangan pada posisinya sebagai peng­ganti kakek­nya, Muhammad SAW. Jus­tru dengan demikian, Al-Hasan menam­pakkan ciri khas yang paling agung dari kekhilafahan Rasulullah SAW, yaitu dalam wilayah ilmu, taqwa, pekerti, belas kasih, dan per­hatian terhadap umat.

Karena itu, sangatlah layak apa yang di­sabdakan Rasulullah SAW mengenai Sayyidina Hasan, ”Sungguh anakku (cu­cuku) ini adalah seorang pemimpin. Allah akan mendamaikan dua kubu be­sar kaum muslimin dengan perantara­nya.” (HR Al-Bukhari).”

Penjelasan ini kembali memberikan mak­na bahwa mundur dari kekuasaan demi kebaikan umat dan maslahat kaum muslimin yang lebih besar, yakni meng­hindarkan fitnah dari tengah-tengah me­reka, dengan semata-mata mengharap­kan ridha Allah SWT, juga merupakan mak­na kesejatian sebagai khalifah Allah SWT.

Setelah mendapatkan makna-makna dari kisah-kisah di atas tentang para ulama yang menjadi pemegang kekua­sa­an, selanjutnya kita perhatikan kisah berikut untuk mendapatkan makna lain bagaimana semestinya sikap ulama yang jauh dari wilayah kekuasaan na­mun tetap menjadi sosok pengayom umat.

Musa Al-Kazhim

Diceritakan, Harun Ar-Rasyid ber­mak­sud thawaf sendirian di Baitullah dan melarang semua orang untuk thawaf saat itu.

Lalu seorang Badwi mendahului Kha­­lifah, maka pengawal Harun Ar-Ra­syid berkata, “Janganlah engkau thawaf hing­ga Amirul Mu’minin selesai melaku­kan thawafnya.”

Badwi itu berkata, “Sesungguhnya Allah telah menyetarakan pemimpin dan rakyat. Allah SWT berfirman, ‘Baik yang bermukim di situ maupun di padang pasir dan siapa yang bermaksud di dalamnya melakukan kejahatan secara zhalim, nis­caya Kami akan rasakan kepadanya se­bahagian siksa yang pedih.’ (QS Al-Hajj: 25).”

Ketika Harun Ar-Rasyid mendengar­nya, ia pun melarang pengawalnya un­tuk mencegah Badwi itu melakukan tha­wah. Kemudian Harun Ar-Rasyid men­datangi Hajar Aswad untuk mencium­nya, namun Badwi itu telah mendahu­luinya ke tempat Hajar Aswad. Harun Ar-Rasyid pun men­datangi Hijr Ismail untuk melakukan sha­lat di sana, namun Badwi itu pun menda­huluinya dan shalat di sana.

Maka setelah Harun Ar-Rasyid me­nye­lesaikan shalatnya, ia memerintah­kan pengawalnya untuk mendatangkan Bad­wi itu. Lalu para pengawal pun men­da­tangkan sang Badwi untuk membawa­nya kepada Harun Ar-Rasyid. Pengawal itu berkata, “Penuhilah undangan Amirul Mu’minin.”

Badwi itu berkata, “Aku tidak berke­pentingan kepadanya. Jika dia mempu­nyai keperluan, dia yang lebih pantas untuk beranjak dan datang kepadaku.”

Maka Harun Ar-Rasyid pun menda­tangi Badwi itu dan mengucapkan salam kepadanya dan Badwi itu pun menjawab salamnya. Kemudian Harun Ar-Rasyid berkata, “Wahai saudaraku, aku duduk di sini karena perintahmu.”

Orang Badwi itu berkata, “Rumah ini bukanlah rumahku dan bukanlah (tanah) haram ini haramku. Semua kita sama di dalamnya. Maka bila engkau ingin duduk, duduklah. Dan bila engkau ingin pergi, pergilah.”

Harun Ar-Rasyid pun lalu duduk dan berkata, “Wahai Badwi, aku ingin mena­nyakan kepadamu ihwal kewajiban. Jika engkau mampu menjawabnya, engkau le­bih mampu untuk menjawab yang lain­nya. Namun jika engkau tidak dapat men­jawabnya, engkau pasti lebih tidak mam­pu lagi terhadap yang lainnya.”

Badwi berkata, “Pertanyaanmu ini, apakah pertanyaan untuk belajar atau pertanyaan untuk pengingkaran?”

Harun Ar-Rasyid pun menjawab, “Me­lainkan pertanyaan untuk belajar.”

Maka Badwi itu pun berkata, “Jika demikian, berdirilah, kemudian duduklah seperti duduknya seorang yang hendak bertanya kepada orang yang ditanyai­nya.”

Harun Ar-Rasyid pun berdiri dan ke­mudian duduk di atas kedua lututnya di hadapan Badwi dan berkata, “Aku sudah duduk sebagaimana yang engkau kehen­daki.”

Badwi itu berkata, “Tanyakanlah apa yang hendak engkau tanyakan.”

Harun Ar-Rasyid berkata, “Ajarkan ke­padaku apa saja yang Allah fardhukan kepadamu.”

Badwi itu berkata, “Engkau bertanya kepadaku mengenai kewajiban yang mana? Apakah mengenai satu kewajib­an, atau mengenai lima kewajiban, atau mengenai tujuh belas kewajiban, atau tentang tiga puluh empat kewajiban, atau sembilan puluh empat kewajiban, atau tentang satu kewajiban di sepanjang usia­ku, atau tentang satu kewajiban dari dua belas bulan, atau mengenai satu ke­wajiban dari empat puluh, atau menge­nai lima kewajiban dari dua ratus?”

Lalu Harun Ar-Rasyid tertawa sambil ber­baring di atas kedua pundaknya, me­remehkan Badwi itu dan berkata, “Aku bertanya kepadamu mengenai kewajib­anmu, lalu kenapa engkau menyebutkan kepadaku hitungan-hitungan waktu?”

Badwi itu berkata, “Wahai Harun, se­sungguhnya jika agama itu tidak dengan hitungan, niscaya Allah tidak akan me­lakukan hisab terhadap hamba-hamba-Nya pada hari Kiamat. Allah SWT berfir­man, ‘Dan kami memasang timbangan yang tepat pada hari Kiamat, maka tiada­lah dirugikan seseorang barang sedikit pun. Dan jika (amalan itu) hanya seberat biji sawi pun pasti Kami mendatangkan (pahala)-nya. Dan cukuplah Kami seba­gai pembuat perhitungan.’ (QS Al-Anbiya: 47).”

Maka Harun Ar-Rasyid menjadi ma­rah sebab ucapan orang Badwi itu, “Wa­hai Harun”, dan tidak memanggilnya “Wa­­hai Amirul Mu’minin.” Harun Ar-Ra­syid pun berkata, “Wahai Badwi, jika eng­kau mam­pu menjelaskan apa yang telah eng­kau ucapkan, engkau selamat. Namun, jika tidak, aku akan perintahkan untuk memenggal lehermu di antara Shafa dan Marwa.”

Seorang sahabat Harun Ar-Rasyid berkata, “Wahai Amirul Mu’minin, maaf­kanlah dia dan bebaskanlah dia karena Allah dan demi tempat yang mulia ini.”

Mendengar ucapan kedua orang tua itu, tertawalah Badwi itu sampai mene­len­­tangkan tubuhnya di atas kedua pun­daknya.

Harun Ar-Rasyid pun berkata, “Apa yang membuatmu tertawa?”

Badwi itu menjawab, “Karena aneh me­lihat kalian berdua, karena aku tidak tahu mana di antara kalian yang lebih bodoh. Yang menghadiahkan ajal yang su­dah ada, ataukah yang hendak men­da­­hulukan ajal yang belum datang?”

Badwi itu melanjutkan, “Adapun me­ngenai pertanyaanmu mengenai sesua­tu yang Allah telah wajibkan kepadaku, sungguh Allah telah mewajibkan kepa­da­­ku kewajiban-kewajiban yang bayak. Ada­pun ucapanku tentang satu kewajib­an, itu adalah beragama Islam. Menge­nai lima kewajiban, itu adalah shalat lima waktu. Mengenai tujuh belas kewajiban, itu adalah tujuh belas rakaat shalat far­dhu. Mengenai tiga puluh empat kewajib­­an, itu adalah sujud-sujud dalam shalat far­dhu. Mengenai sembilan puluh empat ke­­wajiban, itu adalah beberapa takbir, bila ia berpendapat takbir-takbir itu wajib atau ia menghendaki dengan kefardhu­an­nya itu sebagai sunnah yang sangat dianjur­kan. Mengenai satu kewajiban di sepan­jang umurku, itu adalah haji dalam Islam.

(Bersambung)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

stroom09@gmail.com

KLINIK CENAYANG STROOM09

KLINIK CENAYANG STROOM09
KLINIK CENAYANG STROOM09

pengunjung

RENTAL MOBIL CIREBON

RENTAL MOBIL CIREBON
RENTAL MOBIL CIREBON,TAXI ONLINE CIREBON,SEWA MOBIL CIREBON MINAT HP/WA :089537731979

Total Tayangan Halaman