koleksi ilmu-ilmu hikmah,kisah 2 tokoh sufi.teknologi tips n trik dll

Minggu, September 08, 2013

sahabat rasullullah SAW yg utama


Mari kita perhatikan kisah Sayyidina Abu Bakar Ash-Shiddiq RA, sahabat Ra­sul­ullah SAW yang paling utama dan kha­lifah pertama dalam Islam.

Ketika Rasulullah SAW wafat, kese­dihan dan duka yang teramat mendalam menyelimuti seluruh hati kaum muslimin, bahkan banyak di antara mereka yang ti­dak menerima berita wafatnya Nabi SAW.

Orang yang paling keras menentang berita wafatnya Rasulullah SAW adalah Sayyidina Umar bin Khaththab RA. Sayyi­­dina Umar, yang sepanjang hidup­nya se­lalu berada di samping Rasulullah SAW, tidak menerima bila dikatakan bah­wa Nabi SAW telah wafat. Saat be­rita itu di dengarnya, Sayyidina Umar diam mema­tung, tak berkata sepatah kata pun. Lalu, seolah tak sadar, ia ber­diri dan berjalan menuju kerumunan kaum muslimin saat itu. Ia kemudian ber­kata dengan suara lan­tang di hadapan mereka, “Sesung­guh­nya beberapa orang munafik telah meng­anggap bahwa Muhammad telah wafat. Tidak, sesung­guhnya beliau tidak me­ninggal, tetapi per­gi ke hadapan Tuhan­nya, seperti yang dilakukan Musa, yang pergi selama empat puluh hari dari kaum­nya, lalu kem­bali lagi kepada mereka. Demi Allah, sesungguhnya Rasulullah SAW akan kembali. Barang siapa me­nga­takan be­liau sudah wafat, akan kutebas kedua kaki dan tangannya.”

Sayyidina Abu Bakar pun datang dan menyuruh Sayyidina Umar duduk, tetapi ia tidak mau duduk. Lalu Sayyidina Abu Bakar mengucapkan syahadat dengan suara yang lantang sehingga orang-orang berpaling kepadanya dan meng­abaikan Sayyidina Umar.

Sayyidina Abu Bakar kemudian me­lanjutkan khutbahnya, “Amma ba`du, ba­rang siapa menyembah Muhammad, se­sungguhnya Muhammad telah wafat. Ba­­rang siapa menyembah Allah, se­sung­­guh­nya Allah Mahahidup, tidak akan mati. Allah SWT berfirman, ‘Dan Muham­mad tidak lain hanyalah seorang rasul. Telah berlalu sebelumnya bebe­rapa ra­sul. Apa­kah jika ia wafat atau ter­bunuh, kalian ber­balik ke belakang (mur­tad)? Ba­rang siapa yang berbalik, dia ti­dak dapat mendatang­kan madharat ke­pada Allah sedikit pun juga, dan Allah akan memberi balasan ke­pada orang-orang yang bersyukur.’ (QS Ali Imran: 144).”

Sayyidina Abu Bakar berhasil mene­nangkan dan mengukuhkan kembali hati para sahabat yang berduka dan tergun­cang, dan mereka kembali kepada ke­iman yang istiqamah. Semua sahabat yang hadir pada saat itu seakan-akan baru mendengar ayat itu pada saat itu. Me­reka seakan-akan tidak pernah me­ngenal ayat itu sampai Sayyidina Abu Ba­kar membacakannya. Kemudian orang-orang membaca ayat itu hingga hampir semua orang membacanya.

Rasulullah SAW wafat pada hari Se­nin, 12 Rabi‘ul Awwal 11 H. Kepergian­nya meninggalkan kepedihan yang men­da­lam di setiap hati umat Islam. Mereka se­mua terguncang hebat. Kesedihan dan duka yang mendalam melahirkan kepa­nikan. Semua orang mencari-cari, “Siapa­kah kini yang paling layak memim­pin? Siapakah manusia terbaik yang pa­ling layak menjadi panutan dalam segala urusan, manusia utama yang mesti di­taati perintahnya?”

Tak ada seorang pun yang tahu. Tak ada seorang pun yang merasa yakin, ka­rena Nabi SAW pergi tanpa meninggal­kan pesan. Beliau meninggalkan umat tanpa mengabarka wasiat tentang siapa yang layak menjadi pengganti.

Pendapat umat terbagi ke dalam dua arus utama, pandangan kaum Muhajirin dan Anshar. Masing-masing berpan­dang­an, kelompok merekalah yang pa­ling la­yak memimpin seluruh umat. Tak ada yang memungkiri, kedua golongan itu sama-sama memiliki kemuliaan dan keistimewaan. Mereka semua adalah sahabat-sahabat terbaik Rasulullah SAW. Kalangan Muhajirin adalah orang-orang yang paling awal mengikuti Rasul­ullah SAW.  Mereka beriman ketika ma­nu­sia lain tetap terlelap dalam kesesat­an. Mereka tunduk dan patuh kepada Rasul­ullah SAW saat semua orang teng­gelam dalam pengingkaran. Mereka ber­juang mendampingi Rasulullah SAW me­negak­kan kebenaran. Mereka ber­hijrah me­ning­galkan harta dan sanak keluarga demi tegaknya keagungan Islam.

Tak seorang pun layak meremehkan peran kaum Anshar. Merekalah peno­long sejati. Mereka korbankan harta, jiwa, dan raga mereka demi kelangsung­an dakwah Islam. Mereka tak pantang ber­bagi de­ngan saudara yang baru me­reka kenal. Mereka berikan segala yang mereka mi­liki berupa harta, kebun, ru­mah, bahkan istri, untuk saudara yang baru mereka temui, tanpa rasa segan dan penyesalan. Sungguh, berkat ke­tulusan dan per­juangan mereka, dakwah Islam menye­bar ke seantero jazirah.

Karena itulah, Muhajirin maupun An­shar merasa bahwa kelompok me­re­kalah yang paling layak melanjutkan ke­pemimipinan.

Beberapa saat setelah Rasulullah wa­fat, kaum Anshar bekumpul di Aula (Sa­qifah) Bani Saidah. Mereka meng­hen­daki, kepemimpinan umat dibagi dua, untuk Muhajirin dan Anshar.

Langkah pertama mereka memilih Sa’ad bin Ubadah, pemimpin suku Khaz­raj, sebagai pemimipin Anshar. Kemu­dian mereka mengabarkan kepada kaum Mu­hajirin agar menunjuk salah seorang di antara mereka sebagai pe­mimpin Muha­jirin.

Ketika kabar mengenai berkumpul­nya kaum Anshar itu di dengar kaum Mu­hajirin, mereka berkata, “Ayo, temui sau­dara-saudara kita kaum Anshar.”

Beberapa orang dari kaum Muhajirin ber­gegas pergi ke tempat perkumpulan kaum Anshar. Di tengah perjalanan me­reka bertemu dua orang shalih dari go­longan Anshar. Keduanya mengetahui apa yang baru saja diputuskan kaum Anshar sehingga mereka bertannya, “Wahai kaum Muhajirin, ke mana kalian hendak pergi?”

Rombongan Muhajirin menjawab, “Kami hendak menemui saudara-sau­dara kami, kaum Anshar.”

“Tidak, sebaiknya kalian tidak pergi ke sana. Lebih baik kalian menyelesai­kan urusan kalian sendiri.”

Umar RA berkata, “Demi Allah, aku akan menemui mereka.”

Rombongan Muhajirin meneruskan langkah mereka  hingga akhirnya tiba di Saqifah Bani Saidah.

Di tengah-tengah kaum Anshar ber­diri seorang laki-laki.

Sayyidina Umar RA bertanya, “Siapakah laki-laki itu?”

Mereka menjawab, “Sa’ad bin Uba­dah.”

“Sedang apa dia?”

“Kita lihat saja apa yang akan terjadi.”

Para Muhajirin itu duduk untuk me­nyaksikan.

Juru bicara Anshar berdiri, memuji Allah, kemudian bekata, “Kita adalah para penolong (Anshar) Allah dan peme­lihara Islam, dan kalian kaum Muhajirin adalah kaum yang besar, namun sebagi­an kaum kalian telah menyimpang, me­reka ingin mengucilkan kami dari asal kami dan me­nyingkirkan kami dari hak kekhalifahan.”

Mendengar ucapan kaum Anshar itu, Sayyidina Umar telihat gelisah. Ia meli­hat kesalahan besar pada orang itu. Ia ingin berbicara membantah pandangan mere­ka tentang kaum Muhajirin. Pikir­annya ber­kecamuk. Ia ingin memajukan Sayyi­dina Abu Bakar di hadapan mere­ka. Ia ingin menegaskan bahwa saha­bat yang paling mulia setelah wafatnya Rasulullah SAW adalah Ash-Shiddiq, mer­tua sekali­gus sahabat beliau yang paling dekat.

Namun saat hasratnya itu tak terta­hankan lagi dan hendak maju ke depan, Say­yidina Abu Bakar memegang bahu­nya dan berkata, “Diam saja dan jangan bicara apa-apa?”

Sayyidina Umar tak dapat berbuat apa-apa. Ia tak ingin membuat kesal sa­habatnya. Ia biarkan saja Sayyidina Abu Bakar bangkit dan bicara. Sayyidina Abu Bakar pun bangkit dan berbicara di ha­dapan kaum Anshar.

Semua orang terdiam saat Sayyidina Abu Bakar berbicara. Ia mengawali kata-katanya  dengan pujian dan sanjungan kepada kaum Anshar.

“Kebaikan yang kalian sebutkan tentang Anshar sama sekali tidak salah. Namun ketahuilah, sesungguhnya kekhi­lafahan yang paling layak memegang­nya adalah seorang Quraisy yang mulia. Orang-orang Quraisy adalah orang-orang  Arab yang mulia dari sisi keturun­an dan keluarga. Sungguh aku ridha jika kekhi­lafahan dipegang oleh seorang dari dua orang yang mulia ini. Berbai’atlah kepada salah seorang di antara kedua­nya sesuai dengan keinginan kalian,” ujar Sayyidina Abu Bakar sambil meme­gang tangan Sayyidina Umar bin Khath­ttab dan Abu Ubaidah bin Jarrah, yang duduk di sisinya.

Keduanya pun bangkit berdiri untuk di­bai’at. Namun dengan serta merta Say­yidina Umar RA berkata, menang­gapi ucapan Sayyidina Abu Bakar, “Sung­guh aku menyukai ucapan Abu Bakar, kecuali bagian tentang diriku. Demi Allah, se­andainya saat ini aku di­bunuh, dan mati itu lebih aku sukai di­banding harus me­mimpin suatu kaum yang di dalamnya ada Abu Bakar.”

Sa’ad bin Ubadah dari kalangan Anshar pun turut bekata, “Aku menye­tu­jui ucapannya. Namun lebih baik jika ma­sing-masing kita memilih seorang pemim­pin. Dari kami seorang pemimpin dan dari Muhajirin seorang pemimpin.”

Namun usulannya itu di sambut suara riuh hadirin. Tak semua orang se­pakat pada usulannya. Semua orang meng­gu­mamkan kata-kata, baik yang bersepakat maupun yang menentang. Suara mereka semakin keras bersahut­an sehingga aroma perselisihan tercium semakin tajam.

Di tengah keramaian itu, tiba-tiba Sayyidian Umar bin Khaththab berteriak lantang, “Hai Abu Bakar, bentangkan tanganmu.”

Saat Sayyidina Abu Bakar memben­tangkan tangannya, Sayyidina Umar langsung memba’aitnya.

Orang-orang diam terkesima. Na­mun hanya sekejap. Tindakan Umar itu lang­­sung diikuti oleh kaum Muhajirin. Kemu­dian, tanpa keraguan, kaum An­shar pun ikut membai’at Sayyidina Abu Bakar Ash-Shiddiq RA.

Setelah itu Sayyidina Abu Bakar me­nunduk dan berkata menghibur Sa’ad bin Ubadah. Ia berbicara dengan jelas dan lantang memuji kaum Anshar. Tak satu pun ayat Al-Qur’an yang diturunkan ten­tang keutamaan kaum Anshar yang luput dibaca oleh Sayyidina Abu Bakar. Ia juga menyebutkan ucapan-ucapan Ra­sulullah SAW, di antaranya beliau ber­sabda, “Se­andainya manusia me­nempuh suatu ja­lan yang lain, tentu aku akan menempuh jalan Anshar.”

Kemudian Sayyidina Abu Bakar me­lan­jutkan, “Engkau juga tahu, wahai Sa’ad bin Ubadah, bahwa Rasulullah SAW bersabda, dan ketika itu engkau duduk di hadapan beliau, ‘Quraisy adalah pemimpin kaum ini. Orang yang baik ada­lah yang mengikuti yang terbaik di antara mereka dan orang yang jahat adalah yang mengikuti yang terjahat di antara mereka.”

Sa’ad pun lalu berkata, “Engkau be­nar. Kami adalah penolong, sedangkan kalian adalah pemimpin.”

Sa’ad akhirnya meridhai Sayyidina Abu Bakar, menyepakatinya, mengikuti­nya, dan membai’atnya. Dengan begitu sahabat seluruhnya sepakat membai’at Sayyidina Abu Bakar RA.

Mari kita perhatikan kisah ini. Sayyi­dina Abu Bakar Ash-Shiddiq RA adalah pembesar ulama di kalangan para saha­bat. Banyak pelajaran yang bisa kita ambil dari kisah ini. Di sini tugas ulama sebagai pengayom umat dalam segala situasi dan kondisi sangat terlihat jelas dari sikap yang ditunjukkan oleh Sayyi­dina Abu Ba­kar. Meskipun tentu hal itu berda­sar­kan kapasitas keulamaannya masing-masing. Dalam konteks ini, Say­yidina Abu Bakar adalah sosok imam para ulama di kalang­an sahabat. Se­hingga, sekalipun pada saat itu banyak ulama di kalangan saha­bat, termasuk Sayyidina Umar bin Khath­thab RA, Say­yidina Abu Bakar-lah yang saat itu mam­pu mengendalikan keadaan genting.

Kemudian perhatikan dengan sek­sama, Sayyidina Abu Bakar adalah imam para ulama dan beliau pulalah yang per­tama-tama menjadi khalifah kaum mus­limin sepeninggal Rasulullah SAW, pe­me­gang otoritas kekuasaan tertinggi kaum muslimin. Sehingga bagi orang-orang yang memiliki kejernihan dalam berpikir dan keinsafan yang murni dalam bersikap, cukuplah kisah ini men­jadi da­sar bahwa bukanlah kesalahan apabila seorang ulama duduk sebagai penguasa.

Setelah Sayyidina Abu Bakar Ash-Shiddiq RA, Sayyidina Umar bin Khath­thab RA, Sayyidina Utsman bin Affan RA, dan Sayyidina Ali bin Abi Thalib RA adalah bukti selanjutnya sebagai sosok-sosok ulama umat yang bertindak se­bagai pe­megang kekuasaan.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

stroom09@gmail.com

KLINIK CENAYANG STROOM09

KLINIK CENAYANG STROOM09
KLINIK CENAYANG STROOM09

pengunjung

RENTAL MOBIL CIREBON

RENTAL MOBIL CIREBON
RENTAL MOBIL CIREBON,TAXI ONLINE CIREBON,SEWA MOBIL CIREBON MINAT HP/WA :089537731979

Total Tayangan Halaman